17.

14.7K 736 24
                                    

versi sudah di revisi ✅

Rumah dengan pagar hitam itu semakin lama semakin terlihat suram rasanya. Alisha memegangi pagar rumahnya sebelum membuka pagar tersebut, entahlah ia merasa sedih melihat suasana rumahnya yang semakin sepi.

Namun tak dapat dipungkiri hari ini ia juga merasa sangat senang. Senang bisa duduk bersebelahan dengan Azka, senang bisa melihat laki-laki itu memakai kacamata yang membuat wajahnya terlihat sedikit berbeda, senang bisa melihat tulisan tangan laki-laki itu. Sungguh sederhana bukan? Namun bermakna mewah bagi Alisha.

Alisha masuk ke dalam rumahnya, benar-benar tidak ada orang ternyata, bahkan lampu ruang tamu di matikan. Jujur Alisha takut tapi apa boleh buat? Dari pada ia terjatuh karena tak bisa melihat apapun, lebih baik ia berjalan hati-hati mencari saklar dan menyalakan lampu.

Alisha duduk di kursi yang berada di meja makan, mengedarkan tatapannya pada setiap sudut rumah. Rumah ini belum pernah merasakan kebahagiaan keluarga, belum pernah. Dari awal Alisha pindah hingga sekarang kedamaian belum juga ia rasakan di rumah Jakarta ini.

Alisha menidurkan kepalanya di atas meja makan dan perlahan memejamkan matanya.

---

Seorang pejabat negara tak pernah lepas dari berita. Azka tak suka pada Ayahnya namun tak bisa di pungkiri ia tak pernah sekalipun mengabaikan berita yang menyebut nama Ayahnya, walau yang ia dapat hanya sakit hati pada akhirnya.

Ayahnya adalah seorang pejabat negara dan pengusaha sukses yang sudah di kenal banyak orang tentang kesuksesannya itu. Namun dia hanyalah seorang lelaki yang gagal dalam segala hal di mata Azka.

Azka meletakkan dengan kasar tabletnya di atas meja tepat di depan Bundanya.

Rara terkejut dan langsung memandang wajah penuh amarah putranya sebelum kembali menujukan tatapannya pada layar tablet tersebut.

"Dia bilang perusahaan di Jogja itu hasil jerih payah dia dan istrinya?" ucap Azka penuh emosi.

Rara menarik tablet tersebut dan menutupnya.

"Duduk, Nak."

Azka tak mau duduk, ia terus berdiri dengan kedua tangan yang mengepal dan tatapannya yang berapi-api.

"Bunda! Itu hasil jerih payah Bunda bukan perempuan itu!"

"Azka duduk," ucap Rara lagi mencoba menenangkan putranya.

Azka menarik nafasnya dan menghembiskannya perlahan kemudian ia duduk di hadapan Bundanya. Rara menarik tangan Azka dan mengelusnya dengan lembut. Ia diam, sengaja agar putranya bisa tenang dulu untuk beberapa saat. Hingga akhirnya ia bicara dengan nada tenang dan penuh hati-hati.

"Bang... yang di perbesar itu hati, bukan kepala.

Jangan jadi orang yang mudah emosi Bang, gak baik, Bunda gak suka," ucap Rara yang masih mengelus lembut tangan Azka dan tersenyum tulus pada putranya.

Azka benci ketika Ibunya selalu berada di posisi seperti ini. Azka tak mau Rara harus terus bersabar atas segala banyaknya ketidak adilan yang dia dapatkan.

---

Tiga hari berlalu begitu cepat rasanya, sudah tiga hari Alisha mengikuti bimbingan tambahan belajar bersama Bu Rita dan esok adalah hari olimpiade di laksanakan. Alisha terus berdoa dan berlatih agar ia bisa mendapat hasil yang baik.

Memasuki perguruan tinggi menjadi alasan Alisha sangat bersemangat mengikuti olimpiade sains ini.

Saat ini Alisha tengah duduk di atas kasur bersama Ibunya yang sedang menghitung banyaknya uang di tangannya.

OREOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang