34.

15.2K 757 15
                                    

Alisha memberikan Azka handuk kecil untuk mengeringkan rambutnya yang basah oleh air hujan. Di luar hujan turun semakin deras, suasana rumah Oma yang biasa sejuk menjadi semakin dingin, suara hujan yang menghantam atap juga terdengar nyaring.

Alisha mengambil satu tangan Azka dan mengelusnya pelan. "Kamu kenapa?"

Pertanyaan Alisha membuat mata Azka terasa panas lagi.

"Bunda tumor otak."

"Hah?!" Sudah Azka duga Alisha akan ikut terkejut.

Azka mengusap wajahnya dan memegangi keningnya, menahan tangis dan pusing yang menjalar di kepalanya.

Alisha tak berniat bertanya lebih dalam, ia meninggalkan Azka ke dapur untuk membuatkannya segelas teh hangat. Tak butuh waktu lama, Alisha kembali dengan dua cangkir teh yang ia buat.

"Al."

"Ya?" jawab Alisha sembari kembali duduk di samping Azka, dan mengelus pundak lebar laki-laki itu.

Suara serak laki-laki itu terdengar bergetar. "Buat jalanin nasihat kamu, susah, Al. Aku belum rela sedikit pun sama kepergian Azila, sekarang ditambah Bunda." Azka beralih memutar posisi duduknya menghadap Alisha. "Aku harus apa Al?" tanya Azka, suaranya terdengar seperti putus asa. Alisha ikut ingin menangis mendengarnya, namun ia berusaha menahannya, karena itu hanya akan memperburuk keadaan saat ini.

"Aku tau, Kak, rela itu sulit ya?" Alisha tersenyum dengan mata yang membendung tangis juga, ia mengusap wajah Azka. "Pelan-pelan, ya, Kak."

Azka kembali memeluk Alisha. Semakin lama bersama Alisha, gadis itu semakin bermakna segalanya bagi Azka. Kata-katanya mampu menenangkannya, seperti apa yang biasa Bundanya lakukan. Aroma tubuhnya membuat rindunya akan sosok adiknya seakan terobati.

Azka pulang dari rumah Oma Alisha pukul sembilan malam, ia tak menghabiskan banyak waktu di sana, hanya untuk menumpahkan perasaannya pada gadis itu. Isn't amazing how people can feel like home? but yap! Azka bersyukur ia bisa merasakannya, Alisha adalah rumah baginya.

Azka membuka pintu kamar Rara dengan perlahan, menebak kalau wanita itu sudah tertidur, namun ia salah, saat membuka pintu ia mendapati Rara yang duduk dengan kaki di luruskan di atas kasur sambil membaca buku, wanita itu melemparkan senyumnya.

Azka menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur dan memeluk Bundanya dengan mata terpejam.

"Tadi kehujanan?" tanya Rara dengan satu tangannya mengelus punggung putranya.

Azka berdeham sebagai jawaban.

Hanya sampai situ percakapan mereka, Rara kembali fokus membaca buku dari sosok inspiratif yang baru ia beli minggu lalu. Sedangkan Azka kembali memejamkan matanya di pelukan ibunya. Rara pikir putranya sudah tertidur, namun Azka kembali mengeluarkan suaranya selang beberapa menit.

"Bun."

"Ya?"

"Sakit?"

Rara diam sejenak, matanya yang fokus pada kata-kata dalam buku beralih menatap punggung putranya. "Iya, Bang."

Azka kembali diam, ia benci mendengar jawaban itu, namun ia berusaha terbiasa untuk membahas hal seperti ini, bukan terus-terusan lari dari kenyataan pahit.

Azka mengeratkan pelukannya pada Bundanya. "Please, take care of yourself, Bun, i wanna keep you for a long time."

---

Do you ever feel like people just forget you exist? Pertanyaan tersebut belum pernah melintas di pikiran gadis dengan pandangan kosong pagi ini, namun sepertinya sekarang sudah waktunya ia harus mempertanyakan hal itu pada semesta.

OREOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang