brother - dua puluh lima

1.7K 147 0
                                    

Tonton yaa! Like dan subscribe channel aku yang namanya sf ling

"Aslian, Yang? Kamu hari ini mau jalan sama Digo?"

Pertanyaan itu dibalas dengan anggukan singkat dari orang yang ditanya, membuat Ali menghela napas tidak percaya, namun tatapan tidak percayanya mengarah ke jalanan. Mendengarnya, Prilly terkekeh pelan lalu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi mobil. "Tenang aja. Cuma dapet traktiran dari Digo, aku langsung pulang, kok."

Ali tidak menjawab. Ia hanya menatap cemberut ke arah jalanan, membuat gadis disampingnya kembali terkekeh pelan.

"Tenang aja, sayang ..., aku gak akan pulang malem, kok. Kamu gak usah khawatir, deh ...," ujar Prilly lagi.

Ali tetap diam. Tidak membalas perkataan Prilly. Jika sudah menyangkut soal Digo, Ali selalu merasa tidak senang. Digo dan Prilly bersahabat. Ali pernah dengar, jika lelaki dan perempuan bersahabat, pasti akan ada perasaan saling menyukai karena rasa nyaman. Ali selalu menganggap, jika persahabatan antara perempuan dan laki-laki selalu berujung pacaran. Contoh saja kisahnya dan Dinda. Berawal dari ikatan pertemanan, lalu berujung pada status ikatan berpacaran.

Dan karena Digo dan Prilly adalah sahabat, ada sepercik perasaan tidak rela dalam diri Ali. Ingat? Saat Prilly dalam masa galau, Digo selalu datang menghibur Prilly. Prilly juga pernah menangis karena Digo terluka. Apalagi, baru saja kemarin, Prilly dan Digo makan dengan sendok yang sama. Itu kan ciuman secara tidak langsung! Dan lagi, Prilly kemarin bercerita jika dia juga pernah satu sedotan dengan Digo.

Bagaimana Ali tidak cemburu? Oh, itu adalah sebuah ciuman secara tidak langsung. Walaupun bibir mereka tidak saling menyatu. Namun, karna mereka satu sedotan, mereka sudah bertukar saliva.

Ali menghela napas panjang. Rasanya, ia ingin menghentikan produksi sedotan di dunia. Karena Ali tahu, dengan ia cemburu saja tidak akan membuat pertukaran saliva antara Prilly dan Digo terhenti.

"Sayang, jangan bete mulu, dong," Prilly kembali bersuara. Mungkin, karena Ali tadi menghela napas panjang. Pacarnya itu kini mengatur posisi duduknya menjadi menghadap Ali. "Beneran, deh. Aku sama Digo itu cuma temenan."

"Iya, aku juga ngerti," jawab Ali sambil menghentikan mobilnya di halaman rumah mereka. Ali lalu membenarkan posisi duduknya menjadi menghadap Prilly. "Aku cuma khawatir aja."

Prilly menggeleng sambil menyibak poninya ke belakang. "Aku gak akan baper sama dia, kalo memang itu yang kamu takutin. Kita cuma temenan!"

"Yang aku bingungin, kenapa cuma kamu yang mau dia traktir?"

"Karna kita cuma punya satu sama lain. Kita gak punya sahabat yang bener-bener sahabat."

Ali kini diam. Pandangannya kini beralih, enggan menatap wajah mohon-ngertiin-aku dari Prilly.

Terdengar helaan napas panjang dari Prilly. "Li, kamu jangan gitu, dong. Kasian Digo. Dia udah semangat banget mau traktir aku. Lagian, dia udah kayak saudara aku, Li."

Ali kini menatap pada Prilly dengan sorot kecewanya. "Prill, kita juga dulu saudara ..."

Dan perkataan dari Ali, sukses membuat wajah memelas Prilly perlahan menghilang, digantikan dengan ekspresi sayunya. Seolah perdebatan yang mereka alami kini benar-benar membuat cewek itu lelah. Kembali, Prilly menghela napas panjang. "Li, perasaan seseorang gak segampang itu ..., gak se-bercanda itu ..., dan gak se-menakutkan itu."

Brother✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang