brother - delapan

6.5K 706 19
                                    

Tidak perlu menunggu satu jam untuk Prilly bertemu Digo. Karna memang, Digo sedang dalam perjalanan pulang tadi.

Prilly turun ke bawah dengan tergesa dan hati-hati. Tidak ingin mengganggu kakak laki-lakinya.

Sampai di halaman rumahnya, ia melihat Digo yang masih menggunakan seragam putih abu-abu.

Prilly menghela napas lega, kemudian menghampiri Digo yang menunjukan muka malas.

"Ngapain sih, lo nguruh gue kesini sekarang?" Digo bertanya dengan kesal.

Prilly berdecak, sedikit kesal karna Digo kesal padanya padahal tadi sore cowok itu hampir mengambil keperawanan Prilly. Cewek itu menghela napas panjang, kemudian tersenyum manis pada Digo. "Go, lo tadi mau cium bibir gue, kan?"

Kerutan kesal didahi Digo menghilang, digantikan dengan kerenyitan heran. "Apa?"

Prilly nyengir, mencoba bersikap semurah mungkin. "Jujur aja. Kalo jujur, tar gue kasih, deh."

Digo menyeringai. Kepalanya miring kesatu sisi, sedangkan matanya menatap Prilly dengan penuh tantangan. "Serius? Karna apa yang lo tebak itu bener."

Prilly melebarkan senyumnya, mencoba untuk menenangkan hatinya bahwa ini takkan berarti apa-apa. Kini, bibir Prilly tak lagi suci. Jadi, untuk apa menjaganya lebih lanjut? Prilly mengangguk, menjawab pertanyaan diotaknya, sekaligus menjawab pertanyaan Digo.

Digo melebarkan seringainya. Tangannya mengambil kedua tangan Prilly, sedangkan kedua matanya terpejam rapat.

Prilly menghela napas sejenak, kemudian menutup kedua bola matanya dengan rapat. Kepala Prilly maju kedepan, menghampiri wajah Digo yang menunggu untuk menabrakan kedua bibir itu.

Prilly menelan ludahnya, merasa gugup juga takut jika bibir Digo rasanya menjijikan. Mana enak jika liur dibalas dengan liur? Itu menjijikan.

Tapi anehnya, kenapa dengan Ali terasa-

Cup

Ah, tidak terasa jika bibirnya sudah menabrak sebuah kulit. Tapi, kenapa rasanya beda?

Dengan matanya yang masih tepejam, Prilly mengerutkan alisnya dengan dalam?

"Kak Ali?!"

Prilly membuka kedua matanya dengan cepat. Dan saat itulah, ia sadar apa yang sedang diciumnya saat itu.

Pantesan bau terasi, orang Prilly mencium telapak tangan Ali.

Cewek itu membeku. Sebenarnya, Prilly ingin menjauhkan wajahnya dari telapak tangan Ali yang bau itu dan berteriak minta tolong sepuasnya.

Tapi, entah kenapa, Prilly tidak bisa.

Bibirnya tetap monyong mencium telapak tangan Ali, sedangkan matanya menatap pada wajah menyeramkan Kakaknya. Ya, rahang mengeras, mata yang menatap Prilly tajam. Itu menyeramkan bagi Prilly.

Tangan Ali bergerak, menggeplak bibir Prilly sambil berkata, "Ja-ngan le-or!" disela geplakannya dibibir Prilly.

Prilly menggerutu sambil memonyongkan bibirnya.

Ali hanya mengedik dagu dengan menantang. "Apa? Ngapain bibirnya dimonyongin gitu? Belum puas tadi sore dapet ciuman dari gue?"

"APA?!"

Dengan wajah yang menghangat, Prilly menoleh pada Digo yang berwajah menyeramkan. Sama seperti Ali barusan.

Mata Digo menatap tajam pada Ali. "Lo cium Prilly?" tanyanya dengan nada marah tertahan. Seolah menahan emosinya yang ingin memukul Ali dengan brutal.

Brother✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang