Cowok itu menelan ludahnya kembali. Matanya menatap lurus ke jalanan, tanpa memperdulikan keheningan yang tercipta didalam mobil itu sedari tadi.
"Aku ..., liat apa yang terjadi tadi." Dinda mulai bersuara, namun tidak Ali gubris sama sekali. "Kamu sama Prilly ..., ada masalah apa?"
Ali mendorong rem tangan saat ia sudah sampai didepan rumah Dinda. Ia menoleh pada Dinda. "Maksudnya?"
Ali tahu apa maksud dari perkataan Dinda. Maksudnya adalah kejadian tadi dikoridor sekolah. Memang, sebenarnya, saat Ali berjalan ke arah parkiran, Dinda sedang menunggu untuk pulang, karna Ali berjanji akan mengantar Dinda. Namun, Ali tidak menduga bahwa Dinda akan melihat kejadian tersebut.
"Aku ..., liat kamu nangis," Dinda menjawab sambil menggigit bibir bawahnya.
Ali menelan ludah. Ia menghela napas panjang, lalu menatap Dinda dengan serius. "Dinda ..., aku ..., udah gak cinta lagi sama kamu."
Dinda menatap cepat pada Ali. Binar mata yang biasa Ali lihat kini sudah meredup. "Kenapa?"
Ali memejamkan matanya sebentar, lalu menggelengkan kepalanya. "Kamu cewek baik-baik, Din. Aku gak bisa kalo bohong terus sama kamu. Kalo sebenernya ..., aku cinta sama adik aku sendiri."
"Apa?" tanya Dinda tidak percaya. "Maksud kamu, kamu cinta sama Prilly? Adik kamu sendiri?" tanyanya lagi, membuat Ali mengangguk. "Astaga, Li! Itu mungkin bukan perasaan cinta! Dia itu adik-"
"Aku yang tahu perasaanku sendiri, Din," Ali memotong dengan dingin. "Apa yang aku rasain ..., bisa aku pastiin kalo itu gak salah."
Dinda menarik napas tidak percaya. "Li, ini bukan saatnya untuk-"
"Aku gak bercanda. Sumpahnya, perasaan aku ke Prilly gak main-main!" Ali kembali memotong. Frustasi saat Dinda malah memancing dirinya untuk mengungapkan apa yang Ali rasakan.
Dinda terlihat menelan ludah. Ia memandang ke depan dengan pandangan kosong. "Aku ..., gak percaya semua ini, Li."
Ali hanya diam. Ia menghargai Dinda yang mempunyai perasaan lebih padanya. Namun, apa daya? Ali kini menyakiti 2 wanita sekaligus. Jika Ali boleh memilih, ia lebih memilih dirinya sendiri yang menanggung rasa sakitnya dari pada harus mengorbankan 2 orang yang tidak tahu menahu masalah sebenarnya.
"Tapi ...," Dinda kembali bersuara sesaat setelah terdiam cukup lama. Matanya kini memandang Ali dengan dalam, seolah berharap akan sesuatu. "... kamu gak akan ingkarin janji kamu, kan?"
Ali hanya dapat mengerjap bingung.
"Kamu ...," Dinda meneruskan perkataannya. "... bakalan bantuin aku buat terhindar dari perjodohan itu, kan?"
Ali hanya diam. Menatap dalam pada mata penuh harap yang tercipta di mata Dinda. Perlahan, kepala Ali mengangguk.
Dinda menghela napas panjang. "Syukurlah kalo gitu," ucapnya, lalu keluar dari kamar tanpa pamit pada Ali.
Ali menghela napas panjang. Tahu jika ini tidak akan berjalan seperti biasanya.
Ia kemudian menarik rem tangan, dan kembali melajukan mobilnya ke arah rumahnya. Dan ini adalah hari pertamanya ia kembali pulang dengan cepat. Ali hanya mendapat firasat, bahwa sikap Prilly juga akan berubah.
Dan seperti yang Ali perkirakan, saat sampai dirumah, ia berpapasan dengan Prilly yang menuruni tangga. Mata cewek itu dingin, dan datar. Namun, Ali dapat melihat harapan yang tersimpan didalamnya. Ali hanya menghela napas panjang dan berjalan menuju kamarnya. Biarlah keadaan menjadi seperti ini. Dan semoga, semuanya hanya sementara.
***
Prilly berdecak dengan kesal saat matanya mengarah kesal pada pintu kamar kakaknya. Didalam kamar, terdengar suara speaker yang amat kencang dan itu mengganggu Prilly.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother✔
Fanfiction[repost] "Gue memang egois. Jadi wajar kalo gue punya keinginan kuat buat miliki lo. Tapi, disaat kebahagiaan lo bukan buat gue, gue bisa apa?" -Prilly "Kalo gue boleh milih takdir, gue lebih baik jadi seseorang yang gak penting bagi lo. Karna gue y...