brother - tujuh belas

3.5K 407 29
                                    

Ada yang mau beli BROTHER VERSI TAMAT?

E-book/pdf transfer 👉 30.000
Pulsa👉35.000
Minat? DM wattpad saya dulu, baru transfer
Versi cetak 👉 69.000
Minat? Ke bukalapak atau tokopedia.
Cara searchnya: Novel Brother
Covernya yang ada di mumed

Tiga anggota keluarga Asgar sedang sarapan diruang makan saat terdengar suara derap langkah kaki menuruni tangga rumah terdengar.

Ali berdiri diujung tangga sambil menatap anggota keluarganya satu persatu, dan mendapati wajah marah dari adik perempuannya. Ali menghela napas pelan.

"Ali, sini sarapan dulu!" Mami menyambut. Tersenyum saat mengedikan dagunya, menunjuk sebuah kursi yang berada dihadapan Mami, tepat disamping Prilly.

Ali menatap kursi yang tadi ditujuk oleh Maminya. Matanya lalu menatap pada Prilly yang hanya duduk tenang sambil menikmati makanan. Kepala Ali menggeleng pelan. "Ali mau jemput Dinda dulu."

Ali menangkap pergerakan Prilly yang terhenti sekilas sebelum adik perempuannya itu kembali melanjutkan makan.

"Lah? Trus, Nona Kecil ini mau di kemanain?" Papi bertanya dengan sedikit nada humor, membuat Prilly mengacungkan sendoknya seolah mengancam, dan dibalas oleh Papi dengan menjulurkan lidah.

"Dia ada yang jemput," Ali menjawab pertanyaan Papi, membuat ketiga orang disana menatap Ali dengan heran. "Atau Papi aja yang anter dia."

"Siapa?" tanya Papi.

"Cowok yang kemarin," jawab Ali singkat. Ia kemudian mengangkat tangannya, menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ali kemudian kembali menatap ketiga orang disana. "Ali duluan. Kasian Dinda nungguin."

"Gak mau makan aja dikit?" Mami kembali bertanya, mengerenyit khawatir saat mengatakannya.

Ali kembali menggeleng sambil tersenyum menenangkan. "Ali mau pergi sekarang aja. Kasian Dinda kalo nunggu lama."

Mami mengangguk pelan, namun masih ada sedikit raut khawatir diwajahnya.

Ali kembali tersenyum. "Ali gak papa," ujarnya, lalu melangkah keluar dari rumah sambil mengucapkan salam saat keluar rumah, dan mendapat balasan dari kedua orangtuanya. Kecuali Prilly. Ya, tadi Ali dapat melihat raut wajah kecewa dari adiknya.

Ali sedang mengendarai mobilnya saat ia teringat akan kejadian dimana orangtua Prilly meninggal karena Ali. Jujur, Ali tidak berniat untuk menjadi dingin. Ia hanya ingin menjauh. Demi kebaikannya sendiri. Katakanlah jika Ali egois. Namun, cinta Ali dan Prilly kini takkan berjalan lancar.

Ali terlalu hina untuk dicintai Prilly. Jika kemarin Ali berniat untuk mempertahankan Prilly hingga umur adik perempuannya itu 17 tahun, kini Ali berniat untuk membuat Prilly membencinya. Lebih baik begitu, bukan?

Membenci diawal lebih baik daripada membenci diakhir. Ali akui, perasaan yang dimiliki Ali kini memang murni untuk Prilly. Sebagai seorang wanita, bukan sebagai seorang adik.

Maka dari itu, Ali lebih memilih menjauh daripada perasaan mereka terlalu jauh. Prilly akan tersakiti, begitu pula dengan Ali.

Membenci orang yang kita cintai lebih menyakitkan. Disaat rasa kecewa menumpuk, dan hanya sebuah amarah lah yang menguasai hati.

Mereka masih remaja. Masih banyak waktu untuk menemukan orang yang benar-benar mereka cintai. Mungkin, Ali akan mencoba mencintai orang lain lagi. Seperti Dinda, contohnya.

Cewek itu kini sedang berlari sambil melambaikan tangannya dengan riang pada Ali. Senyum memenuhi pipi Dinda seiring dengan langkahnya mendekati mobil Ali.

Ali tersenyum kecil saat Dinda sudah duduk disampingnya.

"Nunggu lama?" Dinda bertanya, dan dijawab gelengan oleh Ali walaupun sebenarnya Ali tidak tahu kapan ia sampai disana.

Ali terlalu banyak melamun tadi.

"Udah sarapan?" Dinda bertanya kembali saat Ali sudah menjalankan mobilnya kembali
Ali menggeleng pelan dengan mata yang terfokus kejalanan. Pandangan Ali lalu beralih saat sebuah kotak makan berada didepan wajahnya. Ia menatap kotak itu sebentar, lalu menoleh pada Dinda yang menjulurkan kotak makan itu kearahnya.

"Nih! Aku bikinin buat kamu," ujar Dinda sambil tersenyum lebar. "Nepi dulu ke samping. Aku gak mau kamu sakit."

Ali menurut. Ia menghentikan mobilnya disamping trotoar, lalu menoleh pada Dinda yang sibuk membuka kotak makan yang tadi diacungkan pada Ali.

"Nih," Dinda berujar sambil menjulurkan potongan roti ke arah Ali. "Aaaaa."

Ali terkekeh kecil. Ia kemudian menerima roti yang disuapkan Dinda dan mengunyahnya pelan.

"Enak?" tanya Dinda sambil tersenyum lebar, membuat Ali mengangguk pelan. Dinda tersenyum kecil. Ia lalu kembali pada aktifitas merobek rotinya. "Kamu kenapa sih, Li? Dari tadi kamu diem aja, tau gak?"

Ali menelan roti dengan susah payah. Ia kemudian menelan ludahnya. Gugup melanda Ali, membuat ia hanya dapat mengulum bibirnya.

"Dari tadi, yang bikin obrolan pasti aku. Apa kamu udah bosen sama aku?"

Apa Ali sudah bosan dengan Dinda?

Tidak juga. Rasa nyaman itu masih ada. Namun, sebuah perasaan hampa kini melanda. Ali, merasa kosong tanpa mengganggu Prilly. Ali, merasa hampa tanpa tawa Prilly. Ali, merasa tersakiti karna harus menjauhi Prilly.

Ali kini hampa, dingin tanpa adanya kehangatan dalam dirinya.

Ali menjilat bibirnya dengan gugup. Ia kembali berpikir, sebenarnya, apa yang membuat perasaannya kini terasa terombang ambing? Sejak kapan Ali mencintai Prilly sampai seperti ini?

Apa karna ..., ciuman pertamanya?

Ali mengerjap bingung. Kalau begitu ..., apa Ali harus mengulangnya pada orang lain?

Tatapan Ali kini menatap lurus pada Dinda yang menjulurkan kembali sebuah sobekan roti. Mata Ali menatap setiap inci wajah Dinda, dan jatuh pada bibir merah muda milik pacarnya. Jika memang begitu ..., apakah cara menghilangkannya sama?

Ali menelan ludahnya sekali. Tangannya kemudian terulur, mendorong tengkuk Dinda dan mendorong bibirnya pada milik Dinda. Semula hanya menempel, namun karena tidak ada perlawanan, Ali menggantinya menjadi lumatan pelan. Hanya merasakan sebuah kulit, lalu, apa yang spesial dari ini?

Mata Ali yang tadinya tertutup kini terbuka. Ia dapat melihat mata Dinda yang juga tertutup, seolah menikmati bibir Ali pada bibir cewek itu. Lalu, gambaran Dinda seolah menjadi samar dan menunjukan mata tertutup milik seseorang yang sangat Ali kenal.

Adik perempuannya. Prilly.

Dengan cepat, Ali melepasakan ciumannya dengan Dinda. Tanpa sadar, mata Ali melotot kaget saat menatap Dinda.

"A-Ali? K-kenapa?"

Pertanyaan Dinda seolah menyadarkan Ali. Cowok itu mengucek matanya, dan wajah Prilly perlahan kembali menjadi wajah Dinda.

Ali menghela napas dengan gusar. Kenapa wajah Prilly kini menghantuinya? Tidak mungkin kan jika Ali merindukan bibir Prilly? Ali menelan ludah dengan susah payah saat memikirkannya.

"Li? Kamu kenapa, sih?"

Tatapan Ali terarah pada Dinda. Ali menggeleng pelan, menjawab pertanyaan Dinda barusan. Dengan tangan bergetar, Ali mulai menyalakan mobilnya dan melajukan mobilnya dengan pelan.

instagram ⬇️
first: nrshfm.ratu.s
second: hihi.shif

Brother✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang