brother - dua puluh enam

1.3K 114 0
                                    

"Dua hari lagi, Go!"

Prilly berteriak nyaring, menggucang bahu Digo saat mereka sedang duduk sebangku. Beberapa anak di kelas menatap mereka penasaran, dan yang lainnya hanya sibuk dengan urusan masing-masing. Digo terlihat malas menanggapi. Cowok itu menoleh pada Prilly dengan tatapan apa-sih-lo miliknya.

Prilly menghela napas. Matanya lalu berbinar penuh permohonan pada Digo, sedangkan bibirnya mengerucut sebal. "Ayolah, Go! Bantuin gue!" serunya sambil memegang ujung kemeja lengan Digo dengan manja.

Digo mendengus kesal, lalu menepis tangan Prilly di lengan kemejanya.

"Digo ...," panggil Prilly lagi dengan memohon sambil kembali memegang ujung lengan kemeja Digo, menggoyangnya pelan dengan gerakan merajuk khas Prilly. Oh ayolah! Dua hari lagi adalah hari yang sangat, sangat, sangat penting bagi Prilly. Ali ulangtahun. Kekasihnya ulangtahun pada tanggal 26 Oktober. Dan Prilly tidak memiliki kado apa-apa untuk diberikan pada Ali. Karena itulah Prilly memohon pada Digo. Permohonan yang bertujuan untuk memberikan suprise pada Ali.

"Diem!" sentak Digo saat Prilly terus saja memainkan ujung kemejanya. Digo mendesis. Ia mencekal tangan Prilly agar terlepas dari lengan kemejanya, dan dibalas dengan ringisan dari Prilly. Dan hal itu, sukses membuat Digo membeku ditempat.

Mulut Prilly terbuka setengah. Ia kemudian menggigit bibir bawahnya dengan gugup saat tatapan Digo kini berubah menjadi tatapan penuh selidik. Dan reaksi Digo dimaklumi Prilly. Pasalnya, cowok itu mencekal tangan Prilly dengan pelan, namun, karena bekas luka yang berada di balik jam yang dipakai Prilly terasa, cewek itu jadi meringis kesakitan.

"Prill ...," panggil Digo dengan penuh penekanan, seolah meminta Prilly untuk segera mengatakan alasan dibalik suara ringisan Prilly.

Prilly menunduk sambil mencoba melepaskan tangannya yang dicekal oleh Digo. "Go, sakit ..." katanya saat rasa perih kembali terasa pada bekas lukanya.

Digo tidak melepaskan cekalannya, namun memindahkan cekalannya menjadi di lengan Prilly, membuat cewek itu makin menggigit bibir bawhanya karena kini Digo sedang membuka jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan Prilly.

Mendapati bekas luka disana, rahang Digo mengeras. "Jelasin! Kenapa lo nyoba bunuh diri?"

Prilly makin menunduk karena ketakutan.

Tak mendapat jawaban, Digo berdiri dan menyeret Prilly keluar dari kelas mereka. Digo berjalan tergesa sambil menarik Prilly untuk bersamanya. Awalnya, Prilly masih bertanya-tanya dalam hati tentang kemana mereka akan pergi. Namun, melihat tempat sepi didepannya, Prilly tahu jika mereka akan berhenti di gudang belakang.

Prilly menggigit bibir saat mereka sudah berhenti tepat disana.

"Jelasin!" seru Digo dengan penuh penekanan pada Prilly, membuat nyali cewek itu menciut dan hanya dapat berdiri menunduk didepan Digo.

Ah, disaat seperti ini, Prilly selalu bertanya-tanya tentang perasaan yang melandanya jika berhadapan dengan Digo. Seolah, cewek itu tidak diperbolehkan untuk membangkang kata-kata dari Digo.

Mungkin, karena menyadari sentakannya membuat Prilly takut, Digo kini menghela napas panjang seolah menenangkan, lalu memegang bahu Prilly dengan lembut, seolah memberitahu jika Prilly harus mengatakannya pada Digo sekarang tanpa ada hari esok. "Ayo, Prill. Jelasin, gue gak akan marah kalo udah tau alesannya."

Prilly kini mengangkat wajanya, menatap tepat pada manik mata Digo, mencari kebohongan sepercik disana. Tak menemukannya, Prilly lalu melipat lengan kemejanya, menunjukan luka-luka lain yang sudah Prilly buat.

Digo memberikan reaksi kaget dan marah, namun, Prilly tahu jika disana juga terdapat luka. Didalam mata Digo. Entah terluka karena apa. Dan yang Digo tunjukan pada Prilly selanjutnya adalah sebuah senyuman. "Ada lagi?" tanya Digo.

Brother✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang