Cowok itu berjalan gontai memasuki rumahnya. Kehilangan pacar yang sudah satu tahun berhubungan dengannya itu sangat sulit untuk di terima olehnya. Perjuangan untuk bersama sampai mempunyai status khusus itu banyak rintangannya. Begitupun kenangan yang dilalui dan dilewati bersama-sama.
Langkah Ali terhenti saat mendengar suara orang berbicara di kamar Prilly.
"... Enggak ... nenen Kakak masih kecil ... gaakan keluar nanti susu-nya ... iya... nanti udah gede jadi presiden ya ...? Iya ... Angga bobo ya ...? Eh, gak boleh ...! Kenapa ....? gatel ...? Oh ... jangan di garuk! ... uuu tayang ..."
Itu suara Prilly yang mengobrol dengan Angga. Prilly terus mengoceh, sedangkan Angga hanya be-'gagugaga' layaknya anak bayi. Prilly hanya menjawabnya asal, membuat Ali tersenyum geli dan mengintip kamar Prilly.
Ia tersenyum geli saat dilihatnya Prilly tengah tidur membelakanginya, dan pastinya Angga sedang disisinya. Prilly terus mengoceh, Ali masuk kedalam kamar Prilly dan membanting tubuhnya di kasur Prilly.
Prilly yang merasa kasurnya terguncang, menengok ke belakang. "Oh, kirain siapa." gumamnya, lalu kembali mengajak ngobrol Angga.
Ali yang merasa kehadirannya tidak dihiraukan, mendengus dan mencari perhatian dari Prilly. Mulai dari mamainkan rambut Prilly, menarik-narik kerah kaos Prilly, dan mencolek-colek bahu adiknya. Tapi, adik perempuannya itu tetap tak menghiraukan Ali.
Ali mengembuskan napas dari mulutnya dan memeluk Prilly dari belakang.
Prilly membeku seketika karena perilaku Ali yang tiba-tiba. Ia menghentikan aktivitas mengobrolnya dengan Angga.
Ali menelan ludahnya dengan susah payah. Jantungnya memompa darah lebih cepat. Lidahnya kelu. Niatnya untuk usil kepada adik perempuannya itu seketika sirna.
Hening melanda mereka. Sampai akhirnya Prilly mencubit tangan Ali yang melingkar di perutnya.
"Wadaw!" refleks, Ali melepaskan pelukannya. "Lo kok nyubit gue, sih?"
Prilly berbalik badan, dan menghadap kearah kakaknya. "Ngapain sih lo? Lagi galau ya? Lo gaada kerjaan lain apa? Ganggu, tau gak?"
Ali nyengir. "Tau aja lo, kalau gue lagi galau."
"Kenapa lo? Diputusin?"
Ali tersenyum miris, kemudian menceritakan semua hal yang membuatnya galau berat. Prilly mendengarkan dengan seksama, mereka tenggelam dalam obrolan serius itu tanpa memperdulikan adik laki-laki mereka yang mengoceh sedari tadi.
Setelah Ali selesai bercerita, Prilly mendengus dan memunggungi kakak laki-lakinya itu lagi. Alis Ali bertautan. Itu bukanlah respon yang seharusnya diberikan pada seseorang yang telah menceritakan ke galauannya secara menggebu-gebu.
Prilly tak membuka mulut. Bertanya keadaan Ali pun tidak.
"Kok lo gitu sih, responnya?" tanya Ali dengan alis yang masih bertautan dalam.
Prilly mengembuskan napas panjang. "Yang gue gak suka dari lo itu ini, bang!"
Ali makin mengerenyit. "Maksud?"
"Lo terlalu gampang buat ngelepas sesuatu. Emang sih, sifat itu bagus. Tapi, itu tuh artinya lo gampang menyerah. Gak kayak gue, lurus ke depan walaupun masalah dari masa lalu terus berputar di otak gue. Jadi intinya, kita -eh, elo harus perjuangin Kak Dinda!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Brother✔
Fanfiction[repost] "Gue memang egois. Jadi wajar kalo gue punya keinginan kuat buat miliki lo. Tapi, disaat kebahagiaan lo bukan buat gue, gue bisa apa?" -Prilly "Kalo gue boleh milih takdir, gue lebih baik jadi seseorang yang gak penting bagi lo. Karna gue y...