Selama ini aku hanya melakukan apa yang orang-orang pinta untuk aku melakukannya. Mama Papa, mengapa guru dan teman-temanku berbeda?
Anak nakal itu seragam wajib dimasukkan serampangan. Dasi terpasang sekenanya, kalau perlu tidak usah dipakai. Topi tidak boleh rapi menghadap ke depan. Sepatu pantang warna hitam polos. Siap. Banzai menatap pantulan dirinya di cermin. Hari ini dia memilih berangkat sekolah menggunakan sepeda daripada bis, agar terlambat. Sesampainya di depan gerbang yang telah tertutup rapat dia berteriak. Satpam sekolah dengan santai menuju gerbang sambil memicingkan mata.
"Amboi! Ternyata kamu Banzai." Lalu dia membuka pintu gerbang sambil bersiul. "Saya tahu pagi ini kamu sedang ada masalah kan?"
Banzai memandang satpam dengan wajah penuh tanya. Tapi dia malah mendapatkan dorongan untuk segera masuk ke dalam kelas. Sesampainya disana, seorang guru Matematika sedang bersemangat menulis 10 soal di papan tulis. Dan ternyata semua murid memasang wajah lesu. Guru itu menyadari kedatangan Banzai.
"Oh ternyata kamu hari ini masuk ya? Tadi saya tanyakan ke teman-temanmu tidak ada yang tahu. Langsung duduk sana. Hari ini akan saya adakan kuis. Beruntunglah kamu akhirnya masuk."
Lagi-lagi Banzai dibuat heran. Mengapa tidak ada yang menghukumnya? Dia kan terlambat datang ke sekolah. Aneh. Tunggu, ini tidak aneh. Mereka memang benar, batin Banzai.
Kelas telah terisi penuh, tersisa satu kursi kosong di bangku paling belakang sebelah kiri. Dekat tembok. Itu mungkin saja akan menjadi kursi favoritnya. Di sebelahnya adalah seorang siswi yang langganan terlambat. Cewek itu sedang mengunyah permen karet sambil menulis soal yang ada di papan tulis.
"Kamu habis kena angin topan?" tanya cewek permen karet.
Banzai menyeret kursi dan mencoba duduk dengan nyaman. Dia tidak menjawabnya. Bukan karena sombong, tapi karena dia belum latihan untuk itu. Cewek permen karet berdecak. Sedangkan Banzai mengeluarkan buku dan mulai menulis.
"Sekarang kalian bisa mulai mengerjakan. Ingat! Jangan sampai ada yang menyontek. Karena saya pasti akan tahu lalu nilai kalian tidak akan saya beri lebih tinggi dari nol. Mengerti?"
Murid-murid serentak menjawab, "Mengerti!" Lalu sang guru keluar kelas. Seperti biasa, dia akan memantau lewat CCTV. Ini lebih efektif dalam mengecek kejujuran murid-muridnya. Di kelas ini hanya ada dua orang murid yang pernah ketahuan menyontek, dan dia rasa kali ini juga begitu.
Waktu pengerjaan satu jam. Banzai melirik jam tangannya. Lalu dia melihat cowok di depannya mengggoyang-goyangkan sebuah kertas di kolong meja, tentunya agar dibaca oleh Banzai. Dirinya menjadi gelisah. Dia berpura-pura tidak pernah melihat kertas itu dan berkonsentrasi mengerjakan soal. Ini belum saatnya untuk itu. Dia sangat grogi. Tak pernah melakukannya sebelumnya. Cowok di depannya terbatuk-batuk dan menggosok-gosok lehernya seperti ingin mengeluarkan segerombolan semut di dalam lehernya, lalu bersandar ke belakang dan membisikkan sesuatu. Sangat kecil suaranya tapi Banzai yang sedang menjorokkan badannya ke depan sambil sibuk menulis dapat mendengarnya.
Cewek permen karet, dengan sambil terus mengunyah permennya yang sudah sama sekali tidak manis lagi, berusaha melirik kertas jawaban Banzai. Hari ini hari keberuntungannya pikirnya. Banzai mengangkat tangannya dari kertas dan dia tampak celingak-celinguk ke kertas-kertas di bangku depan. Sekarang cewek permen karet dapat melihat kertas milik Banzai. Disana sudah terjawab empat soal. Lebih lumayan daripada isi kertasnya yang masih tertulis nama, kelas dan nomer absen.
Dering tanda pergantian jam terdengar. Beberapa menit kemudian guru matematika telah kembali. "Zim, kumpulkan jawaban teman-temanmu dan antarkan ke ruangan saya," perintah sang guru. Yang diberi perintah mengiyakan dan menjalankan tugasnya dengan baik. Dia bangkit dan mulai mengambil kertas jawaban dari bangku paling belakang. Guru matematika itupun langsung mengakhiri kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Friends
Teen FictionSepanjang 14 tahun Banzai hidup, dia belum pernah mempunyai teman. Apakah kamu mau menjadi temannya?