Sebuah Misi

342 21 4
                                    

Aku yakin dengan pasti ini termasuk tindakan kriminal. Apa yang harus kulakukan?


Pakai jaket bertudung, pakai kacamata. Hari ini Banzai masih izin tidak masuk sekolah karena sakit, namun dia sekarang sedang berada di depan sekolah. Memakai seragam sekolah.

Dia melihat ada beberapa mobil mewah dan bis yang berbaris di halaman sekolah. Murid-murid yang akan menjadi pesorak cerdas cermat internasional yang akan diikuti oleh tiga siswa dari sekolah ini di Jerman sudah ramai memenuhi area di sekitar bis. Tugas Banzai sekarang adalah mencari salah satu peserta cerdas cermat itu. Dia menarik nafas dalam, meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Mulai.

Saat Banzai berjalan di sekitar gerombolan murid-murid itu, dia berharap bahwa mereka tidak mengenalinya. Untung saja ternyata diantara mereka tidak ada teman sekelasnya. Dan mereka juga murid-murid kelas satu, dilihat dari bet seragam mereka. Dia kembali mengedarkan pandangannya. Mencari kelompok peserta olimpiade.

Oh itu. Bingo. Tiga murid tersebut, dua laki-laki dan satu perempuan sedang asyik ngobrol di sebuah sofa lobi sekolah. Ngobrol ala anak pintar bukan kepalang. Mereka sepertinya sedang membicarakan soal-soal yang ada di buku olmpiade yang ketebalannya mengalahkan ketebalan kamus Indonesia-Inggris. Tas-tas mereka bertumpukan di sisi-sisi mereka. Banzai fokus melihat ke tas-tas yang ada di sisi satu-satunya siswi disana. Ada koper besar, tas selempang kecil, tas ransel. Banzai menimbang-nimbang kira-kira tas yang mana yang berisi barang-barang berharga. Seperti dokumen misalnya? Yang dapat membuat anak itu terpaksa membatalkan keberangkatannya.

Akh, ini sangat jahat. Banzai frustasi sekali sekarang. Ini dilakukannya hanya demi agar Geng Juara tidak menyakiti Mala. Tapi sekarang dia bahkan hendak menyakiti cewek yang sedang tersenyum cerah disana itu. Harus ada yang dikorbankan.

Banzai mengendap-endap di belakang mereka. Lalu, dalam satu hentakan gerakan cepat dia menyahut tas ransel kecil berwarna biru muda dan menyembunyikannya di dalam jaketnya. Keadaan lobi cukup sepi. Ini keberuntungannya di hari ini. Keberuntungan lainnya, di dekat sini ada toilet. Dia langsung masuk ke dalam toilet. Lalu bingung mencari tempat persembunyian. Aha, disini ada tempat sampah berukuran sedang. Tas kecil ini pasti cukup jika disembunyikan disana. Sebentar. Banzai harus lebih teliti lagi. Bisa gawat kalau di dalam tas ini ada handphone. Kalau dihubungi bisa berbunyi. Banzai membukanya dan merogoh ke dalam isi tas. Benar sekali. Semua dokumen penting ada disini. Termasuk paspor, visa, ID peserta Olimpiade. Handphone juga ada. Handphone itu bergetar, ada yang menelepon. Ternyata silent mode. Segera Banzai matikan dan shutdown HP itu. Sebelum ada yang masuk ke kamar mandi ini, dia langsung memasukkan tas tersebut ke tempat sampah.

Nanti setelah Woni berhasil berangkat. Aku berjanji akan mengembalikannya. Maaf.

Banzai membuka pintu perlahan. Aman. Dia berjalan menghindari loby sejauh-jauhnya dan bergerak ke gerbang belakang. Oke ini baru yang namanya kurang beruntung. Gerbang itu digembok.

"Hei."

Banzai terlonjak terkejut.

Orang itu pun terkekeh. "Ini aku." Oh ternyata Woni. "Kerja bagus. Di depan sana mereka sedang kebingungan mencari tas itu. Ada kemungkinan mereka akan melihat ke CCTV. Kamu sebaiknya segera pergi," desis Woni. Pandangan mata Woni yang tajam menusuk manik Banzai.

"Iya ini aku sudah mau pergi. Tapi gerbang ini digembok."

Woni mengerang. "Lewat atas tembok aja kan bisa."

Banzai mengedikkan bahunya. Seolah dia berkata, masalahnya naiknya itu bagaimana.

"Oke oke sini aku bantu." Woni melihat ke sekitar, mencari apakah ada CCTV atau tidak disini. Lalu dia berjalan mendekat ke tembok di sebelah gerbang. "Ayo kamu naik ke pundakku."

Banzai dengan cekata langsung menuruti perintah Woni, hingga dia bisa sampai diatas tembok. Kalau untuk turunnya dia harus lompat. Tidak ada jalan lain. Hup!

Banzai mendarat dengan mulus, tapi luka di lututnya jadi terasa perih. Dia langsung bergegas pergi sebelum ada yang melihatnya. Dia memilih berjalan senormal mungkin daripada berlari agar tidak ada yang heran melihatnya. Sesampainya di Indomaret terdekat sekolah, dia masuk ke dalam mobil.

"Ayo Pak pulang."

"Lama sekali Den pipisnya."

"Iya. Tadi sama pup juga."

"Ih Aden. Bisa-bisanya ya ke sekolah cuma numpang pup. Sampai ramennya adem itu lho Den". Pak Salim menunjuk beberapa bungkusan ramen yang tergeletak di kursi belakang.

"Nggak apa-apa Pak. Nanti dipanaskan lagi di rumah."

"Pak Salim juga heran kenapa Aden pakai celana sekolah? Hayoo Aden habis ngapain tadi..."

Banzai terkejut. Pak Salim bisa berpikir sampai sejauh ini. "Ini soalnya biar nggak banyak cucian Pak. Ternyata celanaku masih menggantung di kamar. Nanti aja sekalian nyucinya. udah ah Pak, jangan banyak tanya. Laper nih..."

Pak Salim berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jorok juga ya Aden nih."

Sedangkan di halaman sekolah terjadi keributan yang cukup gempar. Satu-satunya cewek yang rencananya akan diberangkatkan olimpiade ke Jerman pagi ini menangis tersedu-sedu, masih di sofa lobi.

"Kenapa sih ini terjadi? Padahal tinggal berangkat aja. Disana itu yang terpenting hiks hiks... ada paspor... visa... ATM... Huaaaa..." tangis cewek ini. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. "Siapa sih yang jahat banget ngambil... huaaaa..."

Para guru tak kalah sibuk ikut membantu mencari. Temna-teman yang lain juga.

"Duh bisa terlambat pesawat nih kalau begini terus," keluh salah seorang guru yang akan mendampingi siswa-siswa olimpiade ini.

"Bagaimana Pak? Apa sudah ketemu?"

"Semuanya! Apa sudah ada yang menemukan?"

Orang-orang mengatakan dengan lesu bahwa belum ada yang menemukannya. Mereka menduga kuat bahwa tas kecil berwarna biru muda itu ada yang mengambil. Tiba-tiba seorang cewek yang berasal dari kelas satu menghampiri guru yang mengomando pencarian ini.

"Pak tadi saya sebenarnya sempat heran saat melihat seorang siswa membawa tas cewek."

Pak guru itu pun terkejut. "Oh, astaga! Kenapa kamu tidak bilang dari tadi?! Tas itu pasti diambil. Dan pencurinya... siswa sini." Guru ini mengatakan kalimat terakhir dengan menggidik ngeri. Siswa di sekolah ini ada yang bertindak kriminal disaat tim olimpiade mau berangkat. Ini parah sekali. Tas cewek pula yang diambilnya. Apa dia semiskin itu sampai tega seperti ini!

"Ayo kita cari anak sial itu!"

Cewek kelas satu ini pun menceritakan ciri-ciri siswa tersebut seingatnya. Yang dia lihat anak itu memakai jaket hoodie hijau tua, tudungnya dipakai jadi wajahnya kurang kelihatan dan dia berjalan keluar lobi dan belok kiri.

"Semuanya! Cari anak dengan ciri-ciri seperti ini di semua penjuru sekolah!"

Semuanya panik sehingga tidak ada yang kepikiran untuk mengecek CCTV. Waktu terus berjalan, tas itu belum ditemukan dan mereka tidak ingin ketinggalan pesawat. Akhirnya guru yang mengomando keberangkatan itu pun memutuskan untuk meninggalkan saja siswi yang kehilangan tas nya ini. Cewek itu meraung-raung sedih. Tapi sebenarnya dia butuh pengganti. Dalam waktu yang tepat Woni berjalan di depannya.

"Ah kamu Woni. Kamu kan berangkat ke Jerman tahun kemarin kan?"

Woni mengerutkan kening. Pura-pura bingung. "Iya Pak?"

"Kamu masih punya paspor dan visa yang berlaku kan?"

"Iya Pak."

"Ah, kamu saja ya yang berangkat menggantikan temanmu yang sedang kehilangan itu. Kamu bisa kan langsung siap-siap sekarang?"

"Ooh gampang Pak. Tinggal suruh para pembantu saya di rumah untuk menyiapkan dan membawakannya kesini."

Guru itu pun cukup lega sekarang dan menepuk-nepuk bahu Woni. "Baguslah. Baguslah. Enaknya jadi orang kaya banget itu gitu ya. Serba cepat. Sekolah ini beruntung punya kamu Woni."

"Iya Pak terimakasih," Woni tersenyum tulus. Dia memang senang sekarang. Rencananya berhasil dengan sukses.

Fake FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang