Aku Hanya Ingin Teman (2)

526 34 26
                                    

"Den, tumben pulang sore?" tegur Bi Unah saat melihat Banzai melewati ruang makan. Langkah kakinya diseret seperti kurang tenaga. Banzai ingin sekali segera merebahkan diri diatas kasur dan menutup mata rapat-rapat.

"Den, ayo makan dulu. Sudah Bibi siapin. Masakan kesukaan Aden nih."

"Nanti aja Bi! Capek nih!" tukas Banzai sambil berlari menuju kamar dan menutup pintu keras-keras. Bi Unah terkejut. Dia pun memutuskan untuk menyusul anak majikannya itu ke kamarnya.

Bi Unah mengetuk pintu beberapa kali. Dia khawatir jika Banzai belum makan siang. "Den, sudah makan atau belum?" Tidak ada jawaban dari penghuni di dalam kamar. Bi Unah mencoba untuk mengetuk pintu kamar kembali. Lalu tiba-tiba pintu terbuka.

"Duh Den, kaget Bibi. Nanti kalau jantung Bibi tiba-tiba jatuh gimana?"

"Bibi telfon Mama Papa nggak?"

"Untuk apa Den?" Bi Unah mendadak bingung.

"Ya... Kan aku pulang telat."

"Oalaah. Ini kan masih sore. Kalau sedikit-sedikit Bi Unah telfon nanti Mama Papa jadi nggak tenang disana. Yuk Den makan siang dulu," bujuk Bi Unah.

"Mereka nggak pernah peduli sama aku!"

"Loh kok tiba-tiba bilang gitu. Kemarin kan sudah telfon Mama."

"Iya. Tapi Mama cuma bilang ya ya ya ya dan ya. Mama nggak pernah benar-benar dengerin aku!"

"Yasudah nanti Bibi temani telfon lagi ya," kata Bibi lembut, "sekarang Aden makan dulu..."

"Males!" Dan pintu pun kembali tertutup. Bi Unah mencoba membukanya dan ternyata sudah dikunci dari dalam. Kalau sudah begini Bi Unah hanya bisa bernafas panjang. Anak tuannya ini susah dibujuk kalau sudah ngambek.

Di dalam, Banzai bergelung di atas kasur. Dia ingin menangis tapi ditahan karena dia anak laki-laki. Anak laki-laki pantang menangis.

Seketika gelap. Lalu suara ketukan keras bergaung di segala penjuru ruangan kamar. Semakin lama semakin keras. Suara orang berbicara terdengar samar tapi berisik. Ada juga suara orang yang sedang membanting-banting dirinya di pintu kamar. Siapa sih ini berisik sekali, batin Banzai.

"Den, Aden, Aden..."
"Ayo bangun Den... Den Banzai..."

Banzai membuka matanya perlahan. Sebuah suara langsung menyerbu pendengarannya, "Syukurlah Aden akhirnya bangun. Bibi khawatir banget Den. Nggak biasanya Aden kayak begini..."

"Apa sih Bi?" tanya Banzai di tengah-tengah rasa kantuknya yang masih menggelayut di matanya.

"Ih Aden ini. Ayo bangun. Sudah pagi ini. Telat loh."

"Pagi?!" Kok sudah pagi saja? Banzai terkejut. Dia merasa masih tidur sebentar. Jadi dari pulang kemarin dia langsung tidur seharian?

Banzai melirik jam bekernya. Duh, 13 menit lagi jam masuk sekolah. Sudah dapat dipastikan dia telat.

"Loh pintu kamarku kenapa Bi?" Banzai heran melihat Tukang Kebun terlihat sedang mengutak-atik pintu kamarnya.

"Ooh itu tadi Bibi minta tolong Pak Bon buat dobrak pintunya Aden. Habis dipanggilin nggak bangun-bangun sih," jawab Bibi di sela-sela merapikan kasur anak tuannya ini. Sekarang Banzai sudah mau masuk kamar mandi. "Aden kenapa? Ada masalah?"

"Ah sudahlah Bi. Bi Unah nggak akan ngerti gimana rasanya jadi aku. Ini dilaporkan ke Mama Papa juga nggak papa Bi. Biar mereka tahu keadaanku," tukas Banzai. Dia pun masuk ke kamar mandi, meninggalkan Bi Unah yang sedang geleng-geleng kepala.

Tenyata benar. Saat Banzai tiba gerbang sekolah telah tutup. Hari ini dia akhirnya mau diantar ke sekolah pakai mobil. Bi Unah yang memaksa. Pakai mobil saja masih terlambat apalagi naik bis atau sepeda seperti biasanya.

"Pak..." panggil Banzai kepada satpam yang terlihat sedang menonton TV di pos dekat gerbang. Satpam itu pun bangun.

"Telat lagi kamu Banzai? Anak baru kok suka telat. Mau pulang saja atau bagaimana ini?"

Reaksi Pak Satpam mengapa berbeda dari yang waktu itu? Banzai mendadak gugup. "A... anu. Jadinya boleh masuk atau tidak Pak?"

"Pulang aja ya. Pelajaran buat kamu aja... biar besok-besok mikir-mikir kalau mau telat. Ini kan sekolah berstandar internasional. Masa muridnya tukang telat sama tukang nyontek!"

Oh, yang waktu itu dibahas lagi.

Banzai tiba-tiba ingat kalau hari ini ada ulangan. "Pak tapi... tapi aku hari ini ada ulangan."

"Bah! Itu resikomu."

Seorang guru datang dan berdeham. "Pak satpam, bukakan gerbang untuk murid ini." Yang berucap tidak lain adalah Pak Jun. Banzai terbelalak. Dia takut dimarahi lagi oleh Pak Jun. Apa lebih baik pulang saja ya? Tapi bagaimana bicaranya ini? Apa langsung kabur saja?

Gerbang pun terbuka dan Banzai melangkah pelan.

"Kamu ikut saya ke ruang BK."

Tuh kan. Ini pasti buruk. Rasanya Banzai ingin kembali Home Schooling saja daripada sekolah model seperti ini terus. Tidak ada benarnya. Begini salah. Begitu salah. Sedikit-sedikit salah.

Sesampainya di ruang BK, Banzai dipersilahkan duduk di depan guru BK. Dan Pak Jun pun pamit kepada guru BK tersebut. Sebelum pergi Pak Jun sempat mendekat ke Banzai dan berbisik. "Kamu benar-benar ya, pembuat masalah. Sampai-sampai orang luar telfon ke kita melaporkan kenakalanmu. Mencemari nama sekolah saja."

Ini pasti yang kemarin. Gara-gara Geng Juara.

Banzai mengusap wajahnya. Pak Jun telah meninggalkan ruangan ini. Guru BK yang sudah cukup berumur di hadapannya ini sedang membolak-balik kertas.

"Ah ketemu. Namamu Banzai ya, murid baru disini?"

"Iya Pak," jawab Banzai singkat. Guru ini tidak terlihat sedang kesal. Mungkin ini tidak akan menjadi seburuk yang Banzai kira.

"Kemarin satpam sebuah mall menghubungi kami dan melaporkan bahwa kamu pergi ke mall memakai seragam. Benar?" tanya Guru BK sembari membenahi letak kacamatanya yang melorot. Banzai mengangguk pelan.

"Tapi Geng Juara bilang..."

"Geng Juara? Siapa itu?" sela Guru BK.

"Ah, maksud saya Zimmy dan teman-temannya bilang itu tidak apa-apa kalau pertama kali. Mereka yang mengajakku ke mall." Banzai lupa tadi bahwa guru-guru tidak mengenal nama Geng Juara. Yang mereka tahu "Zimmy dan teman-temannya".

"Kamu bilang Zimmy? Jangan sekali-kali memfitnahnya seperti itu. Dia itu anak yang baik. Saya kenal betul dengan keluarganya. Dia itu anak yang berprestasi dan tidak pernah masuk BK. Kamu tidak suka ya dengan Zimmy? Jadi memfitnahnya seperti itu." Kini nada bicara guru BK mulai naik.

"Ti... tidak Pak. Saya teman Zimmy juga. Mereka kemarin juga ke mall."

"Buktinya, tidak ada yang melaporkan mereka. Kamu jangan ngaku-ngaku jadi teman Zimmy ya, dia tidak mungkin punya teman anak nakal sepertimu ini."

"Mereka ke mall sudah ganti baju Pak..." ujar Banzai yang tidak terima telah dikatakan sedang memfitnah Zimmy.

"Dan kamu pakai seragam. Kamu yang bersalah dan jangan bawa-bawa nama murid lain." Guru BK menandatangani sebuah kertas dan memberikannya pada Banzai. "Ini surat pelanggaranmu. Sepulang sekolah nanti kamu saya hukum mengepel lorong sepanjang lantai satu ini. Mengerti?"

Banzai terkejut mendengar hukuman itu. Lantai satu kan luas. Mana dia tidak pernah mengepel lagi sebelumnya.

"Sudah. Kembalilah ke kelasmu."

Banzai keluar ruangan dengan lesu. Rasanya ingin pulang saja. Kemudian terbit sebuah ide di kepalanya.

Ah, ini bisa dijadikan bahan pengaduan ke Mama Papa. Biar mereka pulang. Nanti aku suruh Bi Unah yang telfon biar diangkat telfonnya sama mereka.

Fake FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang