Banzai menelan ludahnya berulang kali. Cerita yang didengarnya hari ini sangat menakutkan. Dia hampir-hampir tidak bisa percaya jika itu adalah kisah nyata. Bahkan dialami oleh teman satu kelasnya sendiri! Sekarang Banzai sedang menatap langit-langit kamarnya sambil memikirkan semuanya. Cerita-cerita itu beterbangan di dalam kepalanya. Matanya menatap nanar ke atas.
Dia mendengar tentang Ano yang ternyata seorang pembunuh. Pernah membunuh ayahnya sendiri. Dia tidak menangis sedikitpun di pemakaman kedua orangtuanya. Tidak pernah menunjukkan kesedihannya di hadapan siapapun selama bertahun-tahun ini. Jangan-jangan dia psikopat. Dan yang lebih mengagetkan bagi Banzai adalah kenyataan bahwa Ano pernah di penjara anak-anak selama tiga tahun. Sejak dia di usia Sekolah Dasar kelas akhir. Saat kejadian itu dia baru saja lulus. Miris sekali. Pantas saja jika sekarang dia terlihat seperti lebih tua dari siapapun di kelas. Ditambah lagi dengan sikapnya yang dingin itu.
Banzai menghela nafas. Bagaimana ini? Dia harus berurusan dengan seorang mantan pembunuh. Banzai bergidik ngeri. Ini sudah kesepuluh kalinya dia merasa ketakutan setiap mengingat fakta masa lalu Ano ini, lalu bergelung di balik selimut. Padahal di kamarnya ini kan jelas tidak ada Ano.
"Aaaaakh... Besok apa aku harus bertemu dengan anak itu?!"
"Tapi... Aku kan sudah janji untuk mengawasi Si serem itu..."
Ano merasa frustasi.
Suara pintu diketuk. "Den... Ada apa?"
"Oh. Tidak apa-apa Bi." Banzai meringis. Teriakannya tadi sepertinya sampai ke lantai satu. Akhirnya, Banzai memutuskan untuk tidur dulu sekarang. Urusan Ano dipikir mendadak saja besok. Barangkali keberanian Banzai muncul di pagi hari. Toh, Geng Juara juga tidak kalah menyeramkannya.
***
"Ano, terimakasih buku catatannya." Sebuah buku bersampul diletakkan diatas meja. Ano mengalihkan pandangannya dari buku yang dari tadi dibacanya. Dia harus jadi murid pandai di sekolah ini. Agar bisa mendapatkan beasiswa tambahan lagi. Kasihan kakek kalau harus kerja banting tulang di usianya yang tidak muda lagi. Namun, seingin-inginnya Ano menjalani kehidupannya dengan lurus, selalu saja ada yang mencari masalah di sekitarnya. Contohnya satu ini. Si cewek penggoda. Ano bertekad harus tetap bersikap datar tapi juga tidak jahat untuk menjaga nama baik.
Ano menghembuskan nafasnya perlahan dan tersenyum tipis secukupnya.
"Terimakasih sudah dikembalikan."
Cewek itu kini menggoyangkan tangannya dengan genit. "Ah, ya pasti kukembalikan dong Ano yang paling cakeeep..."
"Oh iya, Ano mau ke kantin istirahat ini?" Dalam sekejap tangan cewek itu sudah tersampir di bahunya. Ano belum sempat menghindar. Sebisa mungkin dia tidak mau meringis atau menunjukkan ekspresi apapun. Dengan perlahan tangan itu dia singkirkan dari pundaknya. Untungnya Si cewek penggoda sadar diri.
"Ah ya ya. Kamu tidak suka ya kalau dibegitukan?" Cewek ini pun membungkukkan badannya sedikit dan bersikap sok manis. "Maaf ya... Ano." Lalu mengerlingkan matanya.
"Yasudah. Aku ke kantin sendirian saja kalau kamu nggak mau. Daaah...."
Pergi-pergilah saja sendirian sana.
Ano bangkit dan mengambil bukunya yang belum selesai dibaca tadi. Dia hendak menuju tempat dimana tidak akan ada yang bisa mengganggunya. Lagi.
Ke danau di dekat sekolah.
Untuk kesana, Ano harus melewati pagar tembok sekolah. Tidak ada jalan lain selain memanjat gerbang belakang sekolah jika tidak ingin ada yang melihat. Salah satu kelebihan yang dimiliki Ano adalah dia dapat memanjat pagar dengan mudah dan mendarat dengan mudah.
Danau itu sepi sekali. Tidak terlalu luas. Bahkan terkesan gelap dan angker karena banyak pohon-pohon disana yang dahan-dahannya tumbuh menyamping tidak terawat. Orang-orang enggan datang kesana. Lagipula disana juga tidak ada hiburan apa-apa selain beberapa angsa yang suka berenang di tengah danau.
Itulah yang sedang dibutuhkan Ano atas tempat ini. Kesunyian.
Dia pun duduk di satu-satunya bangku yang ada disana. Sebuah keberuntungan menemukan bangku di tempat yang jarang dikunjungi seperti ini. Lalu mulai kembali membaca.
Saat konsentrasinya sedang dikerahkan sepenuhnya ke buku di depannya, dia mendengar sebuah suara.
Daun terinjak.
Saat dilihat ke belakang, tidak ada apa-apa. Ano sangat curiga. Apakah mungkin ada yang mengikutinya?
***
Sudah beberapa hari ini ada yang berbeda di kehidupan Banzai. Dia menepati janjinya pada kakek Ano untuk mengawasi cucu satu-satunya. Tidak terlalu susah sebenarnya. Ano anak yang pandai mengontrol diri. Dia tidak pernah bersikap berlebihan. Bahkan tidak berekspresi. Datar saja. Geng Juara juga belum melakukan apa-apa selama beberapa hari ini.
Apa jangan-jangan ada yang aku lewatkan? Atau memang Geng Juara sekarang sedang merencanakan sesuatu sebenarnya? Ah iya, mereka kan sedang sibuk menjadi tim sukses Wino.
Lalu, Banzai menoleh ke teman di sebelahnya. Pelajaran sedang berlangsung. Mala sedang sibuk menulis rumus-rumus di bukunya. Cewek ini memang semakin semangat belajar. Dan dia terlihat tidak terlalu sibuk di urusan pemilihan Ketua OSIS.
"Aku mendaftar bukan untuk mencari kekuasaan di sekolah ini Zai. Aku hanya ingin merubah gaya pertemanan di sekolah ini saja. Barangkali itu bisa diwujudkan."
Kata Mala waktu itu. Saat Banzai bertanya apakah cewek itu akan sedih jika tidak menjadi Ketua OSIS yang terpilih.
Gaya pertemanan ya? Memang terlalu banyak kepalsuan disini.
Banzai menceritakan juga pertemuannya dengan kakek Ano beberapa tempo lalu kepada Mala. Tanggapan cewek itu mencetuskan sebuah ide.
"Kamu bilang kalau Ano itu juara karate kan?"
Banzai mengangguk mantap. Manik Mala semakin membulat. "Waaah... Berarti dia bisa jadi tameng untuk misi kita..."
Banzai mengernyit. "Iya kalau dia mau. Lagipula aku juga pernah melihat dia tidak melakukan pembalasan apapun saat dipukuli Geng Juara."
"Dia..." Suara Banzai berubah menjadi berbisik. "...takut jika dia lepas kendali lagi seperti dulu."
"Aaah..." Mala mengangguk paham. Itu memang akan jadi berbahaya jika sampai kejadian. Mala bahkan tidak dapat membayangkan apa yang akan menimpa Geng Juara jika Ano marah besar. Bisa jadi dirinya dan Banzai juga ikut terkena imbasnya.
Mala menarik bibirnya ke belakang dan membuat desisan dengan mulutnya. "Yang terpenting pertama-tama dia harus berada di pihak kita dulu."
***
Walaupun tidak ada apapun di belakang sana. Ano tetap penasaran. Dia pun melangkahkan kakinya hingga pohon besar terdekat.
Sesosok yang memakai seragam sekolah sama dengan yang dipakai Ano muncul tiba-tiba. Ano sangat terkejut sampai bukunya terjatuh. Namun tetap saja wajahnya tanpa ekspresi.
"Aku..."
Sosok itu meringis sambil mengelus-elus tengkuknya tanda gugup telah ketahuan menguntit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Friends
Teen FictionSepanjang 14 tahun Banzai hidup, dia belum pernah mempunyai teman. Apakah kamu mau menjadi temannya?