Setiap yang pernah bernafas punya cerita. Setiap cerita mempunyai nafasnya sendiri-sendiri.
Banzai tidak masuk sekolah hari ini karena mengantar orangtuanya ke bandara. Mereka akan kembali ke Australia untuk menyelesaikan pekerjaan disana. Nyonya Lucky sudah berjanji pada anaknya ini akan segera pulang ke Indonesia jika pekerjaannya disana telah selesai. Namun anaknya tetap tidak akan berharap terlalu banyak. Terserah mereka sajalah. Akhir-akhir ini isi otak anak ini dipenuhi dengan persoalan Geng Juara.
"Mama janji Zai. Habis ini kita akan berkumpul lagi sebagai satu keluarga yang utuh. Kamu sabar sedikit lagi ya."
Lalu kecupan ringan mendarat di dahi Banzai dan belaian lembut di rambutnya. Banzai hanya tersenyum kecil.
Terserah.
***
Karena hari ini Banzai izin sekolah, maka ini dimanfaatkannya untuk pergi ke rumah Ano.
Ya. Kemarin dia berhasil mengikuti anak yang berwajah lebam itu sampai ke rumahnya. Dia berjalan jauh di belakangnya. Tentu Ano akan langsung mengenalnya jika sampai anak itu menoleh. Untung saja sepanjang perjalanan Ano hanya melihat ke depan. Ano berjalan ke depan tanpa mengaduh, tanpa melakukan gerakan-gerakan yang tidak perlu. Dia memang benar-benar dingin dan seperti robot. Banzai sampai bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajah anak itu, pasti tatapannya tajam. Tanpa senyum.
Dasarnya Ano, tidak di sekolah tidak di jalan, ketika dia lewat, perempuan-perempuan di jalan minimal menyempatkan untuk melihatnya lebih lama. Padahal sekarang sedang ada lebam dan darah disana, ternyata itu tak mengurangi pesonanya. Atau mungkin hanya mengurangi sedikit. Atau mereka sebenarnya sedang heran dengan lebam lebam itu? Dia pun juga masih bocah SMP. Tapi wanita wanita dewasa di jalan juga meliriknya. Tunggu, Banzai saja lebih percaya kalau ada yang bilang Ano itu sudah lulus SMA. Dia tidak terlihat seperti bocah.
Ano berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Tanpa pagar tanpa halaman. Dia mengetuknya tiga kali. Tidak butuh waktu lama untuk pintu itu terbuka dan keluar seorang pria tua.
Inilah yang membuat Banzai heran. Ternyata Ano berasal dari keluarga yang tidak kaya, sepertinya. Dilihat dari rumahnya. Padahal yang sekolah di sekolahnya kebanyakan orang kaya, karena biayanya memang sangat mahal. Apakah beasiswa?
Maka hari ini Banzai memutuskan untuk berkunjung ke rumah Ano. Mumpung Ano-nya sendiri di sekolah. Semoga saja dia tetap berangkat ke sekolah hari ini meski dalam keadaaan masih memiliki luka-luka.
Sebelum tindakan Geng Juara lebih jauh lagi, dan Banzai mengetahui fakta yang terjadi kemarin, dia merasa punya tanggung jawab untuk melaporkan hal itu ke keluarga Ano. Takutnya Ano anak yang tertutup dan tidak menceritakan yang sebenarnya.
Tapi dugaan Banzai ini ternyata salah total.
Saat dia mengetuk pintu dua kali. Pintu tidak kunjung dibuka. Dia menunggu di depan pintu, karena takut mengganggu jika mengetuk lagi. Jangan-jangan yang di rumah ini hanya ada kakek yang kemarin.
Lalu Banzai memutuskan untuk mengetuk lagi, tiga kali. Pintu langsung terbuka. Cukup mencengangkan. Kakek tua itu menyambutnya dengan tatapan datar. Persis Ano. Dari atas ke bawah dia mengamati anak muda di depannya.
"Selamat Pagi, Kek." Sebisa mungkin Banzai tersenyum. Tampilan pertama itu penting.
Hari ini Banzai pakai pakaian casual. Kaos, celana jeans dan bomber.
Bukannya menjawab salam. Kakek itu malah membuka pintu lebih lebar. "Masuklah."
Banzai masuk sambil sedikit membungkukkan badannya saat melewati kakek tersebut. Akhir-akhir ini dia telah bertanya beberapa kebiasaan tata krama dari Bi Unah. Dia merasa ini perlu diketahuinya semenjak Pak Jun memarahinya dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Friends
Roman pour AdolescentsSepanjang 14 tahun Banzai hidup, dia belum pernah mempunyai teman. Apakah kamu mau menjadi temannya?