Tarik Ulur (4)

333 21 6
                                    

Bagaimanapun suasana ruangan aula ini sekarang yang terasa canggung, Banzai dapat melihat Mala tetap berdiri di depan sana dengan penuh percaya diri. Senyumnya mengembang. Ini yang sebenarnya Banzai suka dari Mala sejak awal dulu. Mala adalah orang yang tidak mundur dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya, apapun yang terjadi. Mungkin ini juga yang membuat Mala selalu mendapatkan jawaban saat menyontek. Ah, dalam hal yang satu ini sebaiknya jangan ada yang meniru.

Mala berdiri di depan sana dengan membawa sebuah kertas di tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya memegang mic erat seakan-akan mic itu akan jatuh dari tiang penyanggahnya jika tidak dipegangi.

Cewek yang sekarang tidak sedang mengunyah permen karet itu mulai membuka mulutnya. Pandangan mencemooh terlukis di wajah murid-murid. Banzai hanya berani melihat fokus kearah Mala tanpa ekspresi. Didengarnya Zimmy sempat berdecak. Topan menahan tawanya. Sam juga memasang senyum sinis.

"Selamat Siang..." Mala berhenti sebentar dan menghela nafas. "Saya tahu kehadiran saya diatas panggung ini mengejutkan kalian. Dan mungkin diantara kalian ada yang kesal dengan ini. Tapi peraturan di sekolah ini yang harus kalian terima tetaplah semua murid, siapapun dia selagi belum kelas tiga berhak mencalonkan diri menjadi Ketua OSIS."

Manik mata Mala mengedar ke segala penjuru ruangan. Mengamati wajah-wajah yang sedang menahan muak di depannya. Dia sempat berhenti beberapa detik ketika melihat Banzai. Dan mereka pun bertemu pandang. Mala menyunggingkan senyum kecil. Banzai berusaha setidak kentara mungkin tersenyum tipis.

"Saat saya menjadi Ketua OSIS nanti, saya tidak akan menjanjikan sesuatu yang terlalu tinggi kepada kalian." Suara ejekan bergemuruh di semua sisi aula. Apakah mereka semua tidak mau mendengar hingga selesai terlebih dahulu?

"Saya hanya akan menjanjikan..." lanjut Mala tiba-tiba, memotong kegaduhan. "hilangnya praktik belah bambu di sekolah ini. Tidak akan ada lagi pihak yang terlalu dielu-elukan hingga orang-orang tidak mau mengakui kesalahan-kesalahan mereka, dengan begitu mereka pun tidak lagi sesukanya membuat rugi pihak-pihak lain. Karena... saya tidak ingin di sekolah ini terbagi menjadi dua kubu, kubu yang selalu benar dan kubu yang selalu salah. Mari kita bereskan praktik bully di sekolah ini bersama-sama. Yang tersembunyi maupun terang-terangan."

Suara beberapa tepuk tangan dari kalangan guru dan para petinggi terdengar. Sedangkan di kalangan murid-murid hanya beberapa yang bertepuk tangan. Mereka adalah yang mengerti betul apa yang dibicarakan oleh Mala, karena mengalami hal tersebut. Kini mereka mulai berani untuk memberikan apresiasi kepada Mala karena mereka merasa sedang dibela atas hak-hak mereka disini.

"Dan kertas kosong yang saya bawa ini," ucap Mala sambil menunjukkan kertasnya yang ternyata kosong ke arah para hadirin, "hanya sebagai pelengkap saja. Tidak berisi tulisan visi misi saya, tapi ini sebagai simbol bahwa sama benar-benar akan membersihkan sekolah ini dari para pambully sebersih kertas putih yang kosong ini. Sekian dan terimakasih." Lalu Mala pun turun dari panggung dengan wajah yang sumringah. Tidak tampak kesedihan di wajahnya saat suara-suara 'huu' atau 'waooo' mengiringi jalannya menuju kursi yang akan dia duduki. Wino melirik sekilas ke arah Mala. Dan Mala merespon dengan sangat terbuka, sebuah senyuman sinis dia layangkan.

Mala adalah kandidat terakhir. Sekarang waktunya setiap dari hadirin memilih kandidat di sebuah kertas lalu memasukkannya ke dalam kotak keliling. Ini bukan pemilihan sebenarnya. Karena yang hadir di aula ini pun belum seluruh warga sekolah. Hanya ini dilakukan agar para panitia yang mempersiapkan pemilihan Ketua OSIS baru dapat mempersiapkan diri calon Ketua OSIS yang mendapatkan suara terbanyak lebih matang. Hasil dari voting hari ini pun akan diumumkan beberapa saat setelah acara selesai.

Dan benar saja, seperti yang dapat kita duga. Suara terbanyak diperoleh Wino. Mengingat bagaimana euforia para hadirin tadi, ini tidak mencengangkan. Dan suara paling sedikit jatuh pada Mala. Hanya 10 suara dari 200-an orang yang ada disini yang memilihnya. Apakah Banzai juga termasuk ke dalam 10 orang itu?

Banzai duduk diapit oleh Geng Juara. Pastinya dia tidak dapat berkutik dan jelas dia harus memilih Wino. Lagipula tadi dia juga sudah berjanji pada Wino. Dan Wino pun bukan kandidat yang buruk. Wino punya kharisma seorang pemimpin. Ah, kalaupun tidak ada Geng Juara di sisi-sisinya, Banzai tetap akan memilih Wino. Saat ini dia harus bersikap objektif. Antara Mala dan Wino jelas lebih unggul Wino. Jangan hanya karena ingin berterimakasih pada Mala, lalu dia harus memilihnya. Itu bukan tanda terimakasih yang benar.

Acara usai. Wino kembali ke kelompoknya, Geng Juara.

"Wuiih. Penampilanmu tadi bagus banget," kata Onggik dan merangkul Wino sesaat.

"Iya bener-bener keren..."

"Jempol untuk wakilku ini." Kini Zimmy yang memuji.

"Kalian tadi memilihku kan?" tanya Wino dengan tersenyum jahil.

"Jelas doong."

"Kandidat lain lewat semua..."

"Apalagi yang terakhir tadi. Sebal aku dengar dia," ucap Woni sinis. Banzai dalam sedetik terbelalak kaget mendengarnya. Lalu buru-buru menetralkan wajahnya lagi.

"Kamu pilih aku kan Zai?"

Banzai terkejut tiba-tiba ditanya begini. "Ah iya iya."

Zimmy tersenyum dan melirik ke Banzai. Lalu dia melirik ke yang lainnya juga. "Bagaimana kalau kita rayakan ini?"

"Aku suka perayaan..." sorak Topan. "Pasti ada makanan..."

"Jelas ada makanannya dong," ucap Zimmy dengan senyum miring. Lalu dia membetulkan letak kacamatanya. "Tapi kita mulainya setelah orang-orang pada pulang ya..."

"Kenapa?" tanya Banzai bingung. Dengan begitu pulang Banzai akan lebih terlambat lagi dong.

"Ya nggak apa-apa. Biar lebih seru aja," jawab Zimmy sembari mengangkat bahu.

"Kamu ikut kan Zai?" tanya Onggik dengan nada perhatian seperti biasanya saat dia berbicara pada siapapun.

"Okelah."

"Nah. Begitu dooong. Yuk sekarang kita ke kantin dulu," seru Sam dan menggamit lengan Banzai, mengajaknya berlari menuju kantin.

"Makaaan..." Siapa lagi kalau bukan Topan yang berani berteriak seperti ini sambil mengangkat kedua tangannya di tengah lorong yang penuh murid-murid sedang lalu lalang hendak pulang.

Fake FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang