Ancaman (3)

335 24 0
                                    

Ternyata sakit di perut Banzai sudah lebih tidak terasa ketika Banzai bangun di keesokan harinya. Kemarin, sesampainya di rumah, Bi Unah panik dan langsung memanggil dokter. Setelah minum obat dan luka-lukanya diobati Banzai pun langsung tidur dan baru bangun di pagi hari ini. Baguslah, nanti dia ada janjian dengan Geng Juara. Dan dia tidak ingin jika dia tidak datang. Takutnya Geng Juara akan langsung mencelakakan Mala.

Tapi untuk sekolah hari ini dia izin. Lebih tepatnya Bi Unah yang menghubungi sekolahnya. Sekarang dia duduk di pinggir ranjangnya. Bi Unah sedang membuka gorden dan merapikan kamarnya.

"Kemarin itu Aden kenapa bisa sampai luka-luka gitu..." tanya Bi Unah sambil masih kembali merapikan peralatan Playstation anak majikannya ini yang masih berantakan di lantai. "Dipukuli ya Den? Ada yang jahat sama Aden?"

"Sudahlah Bi. Bibi tidak perlu ikut campur. Laporkan saja ke Mama Papa. Syukur-syukur kalau mereka mau pulang."

Banzai langsung melangkah ke kamar mandi dan lupa kalau di lututnya juga ada luka. Jalannya berhenti, dia mengaduh dan langsung memegangi lututnya. Bi Unah yang melihatnya langsung menghentikan pekerjaannya.

"Astaga Aden... Tidak usah mandi dulu... Itu luka-lukanya masih belum kering..." Bi Unah pun lekas menuntun Banzai kembali ke kasur.

"Ah, Bi masa luka kecil gini aja jadi nggak mandi. Nanti aku kecut lagi."

"Biarin kecut... yang penting kan Aden tetep cakep..." goda Bi Unah. Banzai tiba-tiba tertawa lepas. Sampai air matanya keluar sedikit. Bi Unah bingung. Memangnya ada yang lucu?

"Cakep tapi kesepian ya Bi..." ucap Banzai masih dengan ketawa. Lalu dia berhenti tertawa dan termenung. "Makasih ya Bi. Bi Unah masih mau tetep di rumah ini dari dulu sampai sekarang." Banzai memeluk Bi Unah. Dia sangat ingin memeluk seseorang sekarang agar hatinya lebih tenang.

"Sudah Aden jangan sedih ya... Bi Unah bakal kerja disini terus buat nemenin Aden," lirih Bi Unah sembari mengelus rambut Banzai. Asisten Rumah Tangga ini memang sudah menganggap Banzai seperti anak kandungnya sendiri. Bagaimana tidak, Bi Unah lah yang sudah merawat Banzai dari anak itu bayi. Mengurus segala keperluannya. Mamanya Banzai memang seorang pebisnis yang sibuk. Sama sibuknya seperti Papanya Banzai. Kedua majikannya ini adalah workaholic. Dia selalu berdoa suatu saat orangtua Banzai akan sadar dan bisa lebih dekat dengan anak semata wayang mereka ini.

"Aku mau mandi Bi... Bantuin buka baju..." rajuk Banzai. Dia berakting sedang merengek seperti anak kecil.

"Idih Aden kan sudah besar, masa nggak malu. Sudah sana buka baju sendiri di kamar mandi. Bibi ke dapur dulu siapin sarapan."

Banzai tersenyum manja sampai Bi Unah keluar kamar. Bagaimana caranya keluar rumah nanti siang ya? Bi Unah pasti tidak membolehkan keluar rumah dulu. Banzai memutar otaknya mencari ide.

Karena hari ini Banzai tidak masuk sekolah, dia hanya menghabiskan paginya dengan tidur-tiduran di kasur. Kadang menonton TV. Kadang baca komik. Kalau main game sudah bosan sekali. Sedangkan Bi Unah sedang sibuk membereskan kamar orangtua Banzai. Ternyata tadi malam Bi Unah menelepon mereka. Dan katanya mereka akan pulang dalam waktu dekat. Tapi yang sedang dipikirkan oleh Banzai sekarang adalah bagaimana caranya keluar tanpa diketahui Bi Unah atau diizinkan. Daripada berdiam diri di kamar dan merenung seperti orang yang kebanyakan hutang, Banzai memutuskan untuk beranjak ke teras rumah dan memperhatikan tukang kebun bekerja.

Bi Unah dari dalam rumah sudah memanggil tukang kebun. Lalu wanita yang sudah tidak muda lagi itu keluar dengan membawa secarik kertas dan uang. Tukang kebun langsung menghentikan pekerjaannya.

"Pak, saya minta tolong belikan ini di pasar ya... ini daftarnya."

Seketika ide turun dari langit dan masuk ke otak Banzai.

"Bi! Aku ikut Pak Salim ya."

"Buat apa Den?"

"Refreshing aja Bi."

"Di pasar bau lho... Kamu juga masih luka-luka gini."

Banzai bangkit dengan cekatan. "Aku udah sehat kok Bi. Bentar ya Pak, tunggu... aku mau ambil jaket dulu."

"Iya Den."

Bi Unah hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Anak itu kalau sudah punya kemauan susah dibantah. Mirip orangtuanya. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.

Di dalam mobil Banzai bersenandung pelan untuk meredakan jantungnya yang terus berdendang. Dia sebenarnya takut harus bertemu lagi dengan Geng Juara. Besok besok pun dia tidak ingin masuk sekolah lagi.

Dia ikut ke pasar. Tapi hanya mengikuti Pak Salim di belakangnya saja. Melihat-lihat buah, daging dan sayur mayur dengan tidak antusias. Oh, sebenarnya tadi dia sempat antusias waktu lewat di depan penjual ikan. Ada ikan-ikan yang hidup di dalam ember. Banzai sempat memainkan jemarinya di dalam ember penuh ikan hidup itu.

Saat Pak Salim sudah menyalakan mesin mobil, Banzai berseru. "Pak antarkan aku ke sekolah dulu ya..."

"Lho tadi sudah bilang Bi Unah belum Den?"

"Sudahlah Pak ayo. Sebentar aja kok..." Sepertinya. Batin Banzai dalam hati. Dia tidak tahu akan lama atau sebentar urusannya dengan Geng Juara.

"Tapi ini kan ditunggu sama Bi Unah Den..."

Banzai mengerang. "Akh... Pak Salim lama! Aku naik taksi aja deh."

"Eh eh eh. Jangan Den. Ya udah Pak Salim antar. Tapi jangan lama-lama ya..." Mobil pun melaju.

Sesampainya di sekolah, mobil diparkir di pinggir halaman sekolah. Kalau sudah jam pulang ada sedikit kelonggaran di sekolah ini soal parkir memarkir.

"Aku ke dalam dulu ya Pak... Nanti aku kembali lagi..."

"Jangan lama Den..."

Banzai berlari sampai ke belakang sekolah. Disana ada gerbang kecil yang cukup hanya untuk satu orang. Saat jam pulang sekolah pagar itu memang dibuka untuk memudahkan para siswa yang mau keluar lewat belakang. Banzai celingak celinguk warung yang dimaksud Geng Juara kemarin.

Disana sudah menunggu tujuh anak yang di mata Banzai terlihat sangat seram. Kakinya jadi bergetar sekarang.

Tenang Zai tenang....hei kaki, kalian bekerjasamalah denganku. Ah, tidak perlu takut. Di warung itu juga ada orang lain. Mereka tidak akan berani macam-macam kalau tidak mau nama mereka tercemar.

Saat sampai disana, Geng Juara menyambutnya dengan senyuman.

"Lama kali kau Zai... Tadi tidak masuk kenapa?" tanya Zimmy dengan santai. Seperti bukan dia saja yang menyebabkan Banzai sampai tidak masuk sekolah.

"Alah tidak apalah Zim. Telat sebentar doang," sergah Onggik lalu memajang senyum manisnya. Banzai mendengus pelan. Sok baik. Munafik.

"Kita nggak bakal lama-lama Zai. Nih. Di dalam amplop ini sudah kami tulis semuanya." Zimmy menyerahkan sebuah amplop. Banzai menerimanya dalam diam.

"Kita cabut dulu ya..."

"Yuk guys," ajak Zimmy ke teman-temannya.

"Yuuk..."

Mereka pun pergi meninggalkan Banzai sendiri. Saat sudah berjalan cukup jauh, Zimmy balik badan dan melihat Banzai sudah pergi.

"Sam, kira-kira rencana kita akan berhasil nggak ya..."

"Tenang saja..." kata Sam dengan penuh percaya diri. "Anak itu jelas nggak mau melihat Mala kenapa-napa. Kamu bisa lihat sendiri responnya kemarin. Dia pasti menjalani misi dengan sungguh-sungguh."

Woni menepuk tangannya. "Hah, aku tidak sabar misi ini akan selesai dengan mulus." Wajahnya berseri-seri.

Wino menyenggol lengan kembarannya ini. "Hei Won. Jangan senang dulu. Misi ini cukup susah. 80% peran keberuntungan ada disini."

Woni menekuk wajahnya. "Iya Iyaa biasa aja keleus."

Fake FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang