Bencana (2)

346 29 3
                                    

Matahari pagi hari ini tidak berpihak pada Banzai. Kain bendera yang berkibar-kibar diatas sana seolah sedang mengejek murid yang kini sedang menatapnya dari bawah dengan tidak bergerak sama sekali, ini tandanya tidak ada angin yang lewat. Peluh telah jatuh dari dahi ke leher, leher ke punggung, hingga Banzai rasanya ingin menggaruk punggungnya karena keringat yang lewat membuatnya geli. Tapi tidak bisa. Tepatnya tidak dibolehi.

Tangannya tidak boleh berpindah tempat dari dahinya. Dia harus tetap pada posisi sedang hormat kepada bendera di ujung tiang selama dua jam. Beruntungnya sekarang dia tidak sedang berdiri menantang cahaya matahari, jadinya sinar yang terang itu mengenai bagian belakang dirinya. Dengar-dengar cahaya matahari di pagi hari sebelum jam sembilan itu bagus untuk kesehatan. Lumayanlah... Tapi sekarang sudah jam sembilan lewat!

Murid-murid yang gurunya belum tiba di kelas mencuri-curi kesempatan untuk keluar kelas dan melihat siapa yang sedang dihukum. Bukankah memang begitu, manusia selalu ingin tahu derita yang sedang dialami oleh orang lain. Seperti ada kesenangan tersendiri menyaksikan hal tersebut, meski terang-terangan hati kecil mengatakan bahwa itu seperti sifat setan.

Kaki Banzai mulai kesemutan setelah 45 menit berdiri. Dia sama sekali tidak peduli dengan bisikan-bisikan yang sampai ke telinganya. Pandangannya yang mengarah ke arah bendera yang ada di atas dapat melihat bahwa di lantai dua banyak murid-murid lain yang melihatnya dengan pandangan yang mencemooh. Pasalnya, di sekolah ini tidak biasa jika sampai terjadi seorang murid dihukum berdiri hormat menghadap bendera. Ini tandanya kesalahan yang dilakukan Si pelanggar cukup berat. Kuulangi lagi, hal ini tidak biasa di sekolah ini. Luar binasa.

Geng Juara telah menepati janjinya untuk membuat Banzai dikenal seantero sekolah paling bergengsi ini. Keren? Banzai tidak yakin. Dia mendengus keras. Mereka teman-teman yang baik sekali bukan? Namun Banzai tidak ingin mengakui mereka sebagai teman lagi. Hati Banzai sakit sekali sekarang rasanya. Dikhianati seperti ini. Dipermalukan seperti ini atas kesalahan yang sama sekali bukan kesalahannya. Dia ingin kembali homeschooling saja dan kalau perlu tidak pernah punya teman sama sekali, kecuali orangtuanya dan Bi Unah. Ralat. Orangtuanya tidak pernah ada di daftar orang yang berada di sisinya.

Dua jam telah usai. Tepat sebelum Banzai benar-benar pingsan. Kakinya lelah sekali dan keringatnya telah banjir hingga membasahi kemejanya. Seketika dia duduk di lapangan dengan kaki diselonjorkan. Nafasnya terengah-engah padahal dia tidak habis berlari. Menatap keatas terus-terusan juga membuat lehernya pegal bukan main. Dia memijit-mijit lehernya. Hawa di tubuhnya terasa panas. Ingin sekali langsung minum air putih dingin. Kerongkongannya kering. Parahnya lagi murid-murid yang sedang melihatnya sekarang tetap menatap dengan tatapan ultra mengejek. Bahkan ada yang tertawa di antara mereka. Pasti sekarang mereka sedang mengatakan kata-kata semacam "Rasain Lu" atau "Untung saja aku nggak pernah kayak gitu" jika saja Banzai dapat mendengar dengan lebih jelas. Lapangan ini luas sekali. Ya kalian bayangkan sendiri saja dengan murid sebanyak hampir 3000 orang, lapangan seluas apa yang dibutuhkan sekolah ini untuk menampung semuanya saat upacara.

"Minum ini." Sebuah botol menampakkan dirinya di hadapan wajah Banzai yang sedikit pucat.

Mala. Siapa lagi.

Banzai sudah menduga, kalaupun ada yang peduli padanya saat ini, satu-satunya hanya Mala. Si cewek permen karet yang kemarin sempat membuatnya takjub gara-gara fakta bahwa cewek itu menjadi kandidat Ketua OSIS yang baru. Kini Banzai menyunggingkan senyum tipis.

"Maaf."

Mata cewek itu membulat. "Untuk apa?"

"Aku bukan teman yang baik," ucap Banzai lirih ketika dia tiba-tiba mengingat bagaimana dia ikut tertawa ketika Geng Juara mengejek Mala di depan hidungnya.

Mala tersenyum dan tertawa kecil. "Minumlah dulu... Suaramu tidak enak didengar." Banzai pun menurutinya. Dia melahap ludes air di dalam botol tersebut hingga tetes terakhir.

"Ayo kita ke kelas. Kamu juga perlu istirahat dari sinar matahari," ucap Mala sambil membantu Banzai berdiri.

***

Geng Juara sama sekali tidak pernah melirik ke Banzai. Ingin sekali sebenarnya Banzai melabrak mereka dan marah dengan kata-kata yang kasar di hadapan mereka agar seisi kelas tahu siapa yang sebenarnya bersalah. Dia korban disini! Sungguh. Namun kini tenaganya sudah terkuras dan yang bisa dia lakukan hanyalah menyandarkan kepalanya di meja. Lalu bagaimana dengan teman-temannya di kelas? Terlihat jelas dari raut wajah mereka bahwa mereka malu sekelas dengan Banzai,  pemecah rekor penerima hukuman terberat selama setahun ini. Meski mereka tidak ada urusannya dengan masalah ini, bisa dipastikan bahwa mereka pun akan menjadi sasaran bahan ejekan dari murid kelas lain. Bahkan Si Ratu Gosip sudah bersiap-siap jawaban yang pedas jika sampai ada yang mengejeknya tentang masalah ini. Apa sih yang dia tidak tahu tentang gosip-gosip yang beredar di murid-murid satu sekolah? Untung saja tidak ada yang tahu dengan pasti apa kesalahan Banzai kecuali guru BK dan Pak Satpam yang menemukannya di gudang kemarin. Sekolah memang sebisa mungkin tidak mengumbar kesalahan muridnya karena tidak ingin hal itu menular ke murid lain karena memberi mereka gagasan baru dan juga tidak ingin murid lain menggunakan kesalahan ini untuk menekan murid yang bersalah tersebut.

Mala yang duduk di sebelah Banzai sedang membuka-buka buku Matematika. Sebentar lagi pelajaran Matematika dan Pak Jun jarang terlambat masuk kelas. Jadinya suasana kelas cukup hening karena murid-murid disini selalu ingin tampil yang terbaik di depan guru. Biasalah.

"Kamu masih suka nyontek nggak sekarang?" tanya Banzai dengan kepala yang masih tergeletak. Tidak berniat sama sekali mengangkat kepala sebelum Pak Jun datang.

"Aku sedang berusaha Zai sekarang," jawab Mala tanpa menoleh kearah Banzai. Sejujurnya kini dia sedang menahan malu di dekat Banzai karena takut disangka punya perasaan macam-macam oleh Banzai hanya karena dia satu-satunya yang memberikan perhatian ke Banzai. Mala tidak tahu saja bahwa Banzai tidak mungkin berpikir sampai kesana. Punya teman saja belum pernah apalagi persoalan perasaan cowok-cewek seperti ini. Mana paham dia.

Pak Jun datang. Semuanya menegakkan badan. Bukan Pak Jun namanya kalau tidak mengungkit-ungkit hukuman Banzai. Apalagi itu hukuman yang cukup heboh disini.

"Kita tahu bahwa hari ini adalah hari yang melelahkan untuk salah satu teman kita... tapi, pelajaran tetap harus dilanjutkan. Oke?"

"Oh ya, dan untukmu Banzai. Tidak ada keringanan. Jadi jika kamu ingin izin ke UKS atau pulang karena merasa sakit, oh maaf tidak bisa. Kamu harus mengikuti kelas saya dulu sampai selesai. Ditahan-tahan ya..." ucap Pak Jun kemudian diakhiri dengan cengiran yang menyebalkan di mata Banzai. Murid-murid tertawa.

Geng Juara pasti girang sekali sekarang, batin Banzai.

Mala menepuk-nepuk pelan bahu Banzai, mencoba untuk memberi sedikit kekuatan pada teman sebangkunya ini. Mala tahu persis rasanya dipermalukan di depan umum.


Fake FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang