Suara perahu kertasku

227 37 9
                                    


Hari ini hari pertama praktekku di Tol semarang-solo, rasanya begitu canggung dan sangat menegangkan, dan bukan hanya aku yang merasakan hal itu, ke-enam temanku juga merasakan hal yang sama, disini kami merasakan menjadi engineer yang sesungguhnya, terik matahari, debu dan hembusan angin, semuanya harus kami hadapi, karena kami yakin dari sinilah tolak ukur kesuksesan kami nanti.

Selama kami praktek lapangan kami akan dibimbing oleh pak Marlan, ia adalah Mandor lapangan di proyek tersebut. Hari pertama saja Mandor langsung memberikan wejangan pada kami, Mandor bilang kalau kami harus bisa menjadi orang yang membanggakan keluarga, karena laki-laki sejati adalah orang yang bisa membanggakan keluarganya tanpa  harus merepotkan siapapun. Memang sih dia agak galak tapi menurutku dibalik galaknya tersimpan sejuta kebaikan dihatinya, dia adalah orang yang begitu perhatian pada siapapun.

Kalian ingin tahu? Hari pertama kami tidak hanya mendapatkan wejangan, tapi kami juga dijadikan sebagai pembantu, tentu saja aku mengatakan demikian sebab dihari pertama saja kami disuruh untuk mencuci semua piring kotor dan baju-baju kotornya Mandor. Begitu menyebalkan! 

Tapi lumayan seru sih, karena mandor tidak hanya menyuruh semata, melihat kami yang semangat menyuci, ia juga ikutan membantu, walaupun sebenarnya itu memang tugasnya sendiri. 

Hari kedua, kami dihadapkan pada panas terik area Tol, membantu apa yang bisa kami bantu, mengamati apa yang bisa kami amati, pekerjaannya memang berat tapi terlihat semua pekerja disana melakukan pekerjaannya dengan semangat dan sepenuh hati, safety selalu dijaga sehingga pekerjaan bisa aman dan berjalan dengan lancar.

Hari demi hari disini kami lalui dengan penuh semangat, kami sangat menikmati dan merasa nyaman disini, ternyata tidak serumit yang dibayangkan. Meskipun hari pertama begitu rumit, ternyata hari-hari berikutnya justru sangat menyenangkan. Keakraban terjalin secara nyata tanpa adanya kepalsuan, sungguh ini sangat menyenangkan.

***

Tidak terasa ini adalah malam terakhirku di proyek ini, dan setelah ini akan ada laporan yang bakalan menantiku di kampus, semangatttttt!!

Aku menelpon Riyan dan mengabarinya bahwa besok aku akan kembali kerumahnya, tidak lupa aku menanyakan kabar gadis super keras kepala yang dirawatnya, karena sebenarnya gadis itu adalah tanggung jawabku.

**

Malam ini begitu indah, sangat berbeda dengan suasana perkotaan, taburan bintang di langit semarang sangat memukau setiap pasang mata yang melihatnya, ada ribuan bintang , namun ada satu bintang yang bersinar terang namun dia sendirian. Eh tunggu dulu, ini terlihat seperti yang dikatakan Sore waktu itu, sebenarnya apasih maksud dari teka-teki yang ditinggalkannya, besok aku harus menanyakan padanya tentang teka-teki itu, ini sangat rumit seperti Fana saja.

Tersentak dalam tanyaku, aku teringat lagi kepada Fana, teka-teki yang diberikan Fana saja belum mampu kupecahkan apalagi teka-teki Sore, oh semesta sebenarnya apa maksud yang engkau tanamkan dalam langitmu.

Terdengar lantunan lagu kesukaan Fana  yang dinyanyikan oleh mandor lapangan,

"When the tears come streaming down your face

When you lose something you can't replace

When you love someone but it goes to waste

Could it be worse?"

**

**

Aku langsung mengambil barang pemberian Fana, itu selalu kubawa kemanapun kupergi, karena hanya ini kenangan terakhir yang diberikan Fana. Aku kembali membaca surat dari Fana, ini sungguh merobek hati dan gunung-gunung penyesalan yang selalu datang kepadaku. Fana, dimana kamu sekarang? Senjaku tidak lagi jingga tanpamu, haruskah langitku selalu kelabu? Aku tidak ingin kelabu, aku ingin biru atau merah jambu, hanya itu.

Aku mengambil secarik kertas dan kutuliskan segala keresahanku pada bidadari yang kutunggu,

"Kamu tahu, malam ini, aku berbicara hebat kepada bulan, tapi sayang, berbicara kepada bulan sama seperti membelah lautan, itu tidak akan mungkin.

Lalu aku harus berbicara kepada siapa lagi? Menceritakan semua kisah pahit membutuhkan kekuatan yang hebat bukan? Dan aku tidak memiliki itu, mungkin dulunya punya, namun sekarang tidak.

Kamu adalah senjaku, jinggamu membuat kelengkapan dilangitku yang mulai gelap kelabu, aku harus mencarimu kemana? Jujur, duniaku membutuhkanmu, semestaku mengharapkanmu kembali, Fana.

Aku tau penyesalan datang selalu diakhir, aku bersyukur atas pelajaran yang engkau berikan, atas kasih sayang yang tulus engkau titipkan lewat angin yang mengintip dijendela kamarku. Betapa menyesalnya aku karena telah menyia-nyiakanmu, dan betapa berharapnya aku untuk engkau kembali, atau setidaknya untuk kembali disini duduk bersamaku memandang langit dengan jawaban atas teka-teki yang engkau tinggalkan di surat terakhirmu itu.

Salam cinta dariku, lautan yang kehilangan birunya, senja yang kehilangan jingganya, aku selalu menunggumu, Fana.

Cepat kembali ...."

Kutarik kertas itu dan kukirimkan lewat perahu kertas di aliran sungai, semoga akan sampai kepada Fana. Keadaan ini adalah keadaan yang paling kubenci karena aku hanya berdiam disini tanpa mencari dimana keberadaannya, aku seperti seorang lelaki yang kehilangan sasaran untuk menancapkan anak panahku, atau mungkin bukan sasarannya saja yang hilang melainkan anak panah dan busurnya juga entah berada dimana.

Senja Tanpa JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang