30

93 8 0
                                    


"Hidup bukanlah tentang siapa yang berjalan bersamamu, tetapi tentang siapa yang membantumu untuk bisa berjalan. Bukan tentang siapa yang berlari sejauh mungkin bersamamu, tetapi tentang siapa yang membantumu saat terjatuh akibat berlari yang terlalu jauh."

Malam semakin menunjukkan jati dirinya, sepertinya angin berhembus cukup kencang terlihat dari pohon-pohon yang menari-nari dijendela, tapi suasana jogja tidak berubah, tetap hangat. Dokter kembali melakukan pemeriksaan terhadap Fana, dan hasilnya sangat memuaskan, jika kondisi Fana seperti ini terus menerus maka minggu depan dia sudah bisa melakukan perawatan berkala dari rumah saja.

Kini tiba saatnya untuk Fana makan malam, makanan yang berada dirumah sakit membuatnya tidak selera makan, katanya ia ingin makan sate kambing, kalau dokter tahu pasti tidak akan dibolehkan. Dia memintaku untuk membelikan sate kambing dan menyembunyikan dari dokter. Sebenarnya aku tidak ingin menurutinya, tapi sepertinya Fana sangat ingin memakan sate kambing tersebut, dengan berat hati aku pergi keluar untuk mencari keberadaan sate kambing ter-enak di Jogja, sedangkan Bima akan menemani Fana dirumah sakit.

Kata dokter harus ada orang yang menemani Fana agar dia tidak merasa kesepian dengan suasana rumah sakit, dan beruntungnya Bima juga tidak keberatan menemani Fana.

**

**

Suasana Jogja saat malam hari selalu sama, hangat dan penuh kenyamanan, benar-benar kota yang istimewa. Tak butuh waktu lama untukku menemukan sate kambing permintaan Fana. Setelah mendapatkan sate itu langsung saja aku bergegas kerumah sakit karena saat ini pasti Fana sedang kelaparan.

Benar saja, Fana menghabiskan sate kambing tersebut begitu cepat seperti bertahun-tahun tidak memakan sate saja. Kalau aku perhatikan, Fana sangat mirip dengan Sore, aku ingat ketika membelikan Sore ice cream hingga dia memakannya begitu lahap, persis seperti yang dilakukan oleh Fana saat ini.

Lagi-lagi aku kembali terdiam, hanyut dalam keheningan, apa mereka ini ada hubungannya, ya? Hatiku bertanya-tanya. Dulunya aku sempat bertanya-tanya atas pertanyaan yang sama hingga pada akhirnya Sore mematahkan pertanyaan tersebut dengan mengatakan tidak mengenal Fana, tapi setelah melihat kesamaan antara Sore dan Fana seperti mereka memang ada hubungannya. Tak hanya sifat, namun perilakunya juga mirip.

"Sam, kamu kenapa diam lagi? Lagi mikirin apa sih?"

"Engg.. enggak kenapa-kenapa kok, Fan," menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Trus kok jawabnya gugup begitu? Kalau ada apa-apa cerita sama saya, saya kan sudah banyak ketinggalan informasi tentang kamu, Sam," menunjukkan lengkungan pelangi dibibirnya.

"Beneran gak kenapa-kenapa kok, Fan," membalas senyuman Fana.

"Sam, saya tahu bagaimana kamu. Saya sangat mengenal kamu, apapun yang kamu coba sembunyikan pasti saya tahu. Oh iya, kamu belum bercerita, siapa yang membuat kamu berubah seperti ini? Saya berhutang budi pada orang itu."

Lagi, lagi, dan lagi, aku kembali terdiam mendengar apa yang Fana ucapkan, aku tidak mengerti harus menjelaskan bagaimana. Namun tiba-tiba dengan spontan Bima memotong pembicaraan kami, "Yang membuat Sam berubah itu namanya Sore, Fan. Dia gadis yang baik, tangguh, buktinya sekarang Sam udah berubah," sahut Bima yang bersandar di dinding sambil menggerakkan kedua alisnya.

"Sore siapa? Apa saya pernah mengenalnya? Dia teman kampusnya kamu ya, Sam?" tanya Fana kepadaku.

"Bukan, dia gadis yang pernah aku bawa kesini sewaktu kamu koma," ucap Bima yang kembali memotong pembicaraan aku dengan Sore.

"Ah elu, Bim. Jangan jelasin setengah-setengah, ntar Fana nya jadi bingung," mengalihkan pandangan ke Bima dan kemudian kembali menatap Fana.

"Sam! Katanya udah berubah, tapi kok masih pake 'lu gua'. Mulai sekarang biasakan pake 'saya kamu' atau 'aku kamu' juga boleh," ucap Fana dengan begitu tegas padaku.

"iya, Fan. Hehehe."

Terkadang saat Fana marah seperti ini dia juga mirip dengan Sore. Apa jangan-jangan mereka memang kembar ya? Gumamku dalam hati.

"Ya sudah, kalau begitu ayo jelaskan, saya ingin mendengarnya, saya ingin mengetahui orang yang sudah membuat kamu jauh lebih baik seperti sekarang ini," pinta Fana yang begitu penasaran terlihat dari tangannya yang menarik-narik bajuku.

Fana sepertinya begitu antusias ingin mengetahui tentang Sore, dia mencoba memaksaku dengan menarik-narik bajuku. Aku tidak ingin dia penasaran tentang Sore, untuk itu aku jelaskan padanya tentang Sore dengan cukup detail.

"Jadi ceritanya begini bidadari Fana yang cantik, aku mengenal Sore sewaktu di Semarang, awal pertemuan kami tidak baik, aku menabraknya hingga kakinya patah. Setelah itu aku memutuskan untuk merawatnya karena dia hanya tinggal berdua dengan kakaknya sedangkan kakaknya saat itu sedang dinas diluar negeri. Awalnya aku sangat temperament kepadanya, aku kasar padanya, lama kelamaan aku terbiasa hingga akhirnya aku diluluhkan oleh keras kepalanya, setiap berdebat dengannya aku selalu kalah. Dia sangat mirip dengan kamu, Fan. Senyumnya, kebaikannya. Hanya saja dia sangat keras kepala. Dia juga yang terus menumbuhkan semangatku untuk tetap fokus merubah diri menjadi samudera sesungguhnya, dia selalu support aku, dia bilang kalau suatu saat nanti aku pasti bakalan menemukan kamu, sempat aku menyerah, tapi dia tidak mau kalah, dia terus menyemangatiku. Dan satu hal, dia itu peramal yang hebat, katanya dia berteman dengan semesta dan atas nama semesta dia selalu bisa menebak apa yang akan aku lakukan, itu sebabnya aku tidak bisa berbohong kepadanya."

"Wah sepertinya kamu sangat mengenal dia ya, Sam. Sore itu orang yang baik, saya bahagia sekali mendengarnya. Apakah bisa saya bertemu dengannya?"

"Bertemu dengan Sore?"

"Iya, Sam. Saya ingin bertemu dengannya, berterima kasih padanya."

"Aku tidak yakin, Fan," wajahku murung kembali teringat kesalahanku pada Sore.

"Kenapa?"

"Aku mengetahui keberadaan kamu disini karena Sore. Sore mengungkapkan semuanya padaku. Saat itu hatiku benar-benar terkejut mendengar semua penjelasannya. Semua kenyataan yang diungkapkannya membuatku terpukul, aku tidak percaya dia menyembunyikan rahasia yang begitu besar dariku. Aku marah besar kepadanya, aku begitu kecewa padanya. Tanpa mendengar penjelasannnya lebih rinci aku justru pergi begitu saja dari hadapannya karena pada saat itu yang terpikirkan olehku adalah bertemu denganmu, apalagi aku mengetahui kamu koma, aku begitu hancur."

"Tapi kan dia tidak salah, Sam. Niat dia baik."

"Iya aku tahu, Fan. Makanya aku begitu merasa bersalah padanya, aku telah mengambil keputusan yang salah, aku benar-benar menyesal, Fan."

Aku menundukkan kepala sebab aku merasa malu kepada Fana, tapi dengan semangat Fana mengangkat kepalaku yang tertunduk diatas kasur, "Sudah, jangan menyesali apa yang sudah terjadi. Besok kamu temui dia saja ya, kamu harus minta maaf padanya, mau?"

"Tapi aku takut, Fan."

"Takut kenapa? Enggak ada yang harus ditakutin, Sam."

"Saya takut dia tidak memaafkan saya."

"Pokoknya kamu harus mencari dia, kamu harus minta maaf sama dia. Kamu boleh kesini lagi kalau kamu sudah menemukan dia," ucap Fana dengan tegas bersamaan dengan senyum diwajahnya.

"Tapi bagaimana dengan kamu?"

"Disini ada Bima, kamu jangan khawatir."

Aku sedikit lega mendengar apa yang Fana ucapkan, dia masih saja seperti dulu, sangat dewasa. Beban pikiranku seakan berkurang mendengar ucapan Fana tersebut.

Malam semakin larut, mengharuskanku untuk istirahat sejenak, Fana sepertinya juga harus istirahat, sedangkan Bima harus kembali ke kost nya untuk merapikan kamarnya, pasti sangat berantakan. Besok pagi bima akan bergantian menjaga Fana sedangkan aku harus kembali ke Semarang menemui Sore dan meminta maaf padanya.

Senja Tanpa JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang