32

80 8 1
                                    


"Mungkin tak perlu ada yang menjadi kita, sebab Tuhan ingin agar tak ada yang terluka."


Riyan begitu semangat membantuku, dengan cepat ia mengendarai mobilnya menuju rumah Sore. Akan tetapi, sesampainya di rumah Sore, hasilnya tetap saja, nihil. Rumah itu masih kosong.

Riyan menggaruk kepalanya, terlihat dia begitu keras mencari solusi terbaik, tak lama kemudian dia kembali bicara, "Apa sebelumnya dia ada bilang sesuatu ke elu?" mengalihkan pandangan kearahku.

"Enggaa....," ucapku pelan sebelum akhirnya kembali bicara, "Oh iya, gua inget kalau dia pernah bilang akan pergi ke Singapure, dan itu tiba-tiba sekali setelah melihat Nabila nyium pipi gua. Yan, gua harus cepat-cepat nyari Sore, entah dia udah di Singapure atau masih di bandara, pokoknya gua harus menemukan dia secepatnya sebelum terlambat, harus!"

"Lu ada nomor telepon yg bisa dihubungi?"

"Ada, dia pernah ngasih nomor telepon rumah sama nomor telepon kakaknya," dengan cepat aku mengeluarkan ponselku.

"Yaudah coba lu hubungi."

Aku mencoba menghubungi telepon rumahnya Sore tapi sama sekali tidak diangkat, sudah berkali-kali tetap saja tidak diangkat. Riyan menyuruhku untuk menelepon kakaknya Sore, tapi aku tidak punya keberanian, aku takut Mbak Nis marah kepadaku karena mengetahui adik kesayangannya telah ku bentak-bentak. Namun Riyan memaksaku untuk tetap menelepon Mbak Nis apapun resikonya.

Setelah berpikir panjang, ternyata apa yang dikatakan Riyan memang ada benarnya, lebih baik berjuang dulu daripada menyerah sebelum mencoba. Hingga pada akhirnya aku memberanikan diri menelpon Mbak Nis.

Cukup panjang perbincangan dengan Mbak Nis, aku mengira Mbak Nis akan memarahiku, tapi ternyata tidak, sepertinya Sore tidak menceritakan apapun kepada Mbak Nis. Aku bertanya pada Mbak Nis dia sedang berada dimana, Mbak Nis bilang dia sekarang sedang dalam perjalanan menuju Solo, ada suatu keperluan yang harus di urus dan Sore ada bersamanya.

Aku lega mendengar apa yang Mbak Nis ucapkan, mereka belum berangkat menuju Singapure. Setidaknya ia hanya di Solo, bukan di negeri yang berbeda.

"Mbak Nis, boleh Sam berbicara dengan Sore?" tanyaku melalui telepon.

"Maaf Sam, Sore seperti sedang sibuk, daritadi dia memainkan laptop terus, dia tidak ingin bicara," jawab Mbak Nis.

"Yaudah gapapa Mbak. Terus balik ke Semarang kapan Mbak?"

"Besok pagi Mbak dan Sore kembali ke Semarang, soalnya pagi Mbak dan Sore akan ke Singapure. Ada perlu apa ya, Sam?"

Aku terdiam sejenak, memikirkan cara agar bisa segera bicara dengan Sore.

"Boleh Sam menyusul ke Solo Mbak? Ada hal penting yang ingin Sam bicarakan dengan Sore."

"Tidak usah, Sam. Sore ketika ingin diam seperti ini maka dia tidak akan bisa diganggu. Jika kamu ingin menemuinya datang saja ke Bandara besok, kita bertemu disana, pesawat Mbak berangkat jam delapan pagi."

Tentu saja aku tidak bisa melakukan apapun lagi setelah mendengar apa yang diucapkan mbak Nis, aku tidak mungkin memaksa untuk bertemu karena mbak Nis memang ada benarnya juga, kurasa yang dibutuhkan Sore saat ini adalah kesendirian.

"Jadi sekarang gimana nih, Sam?" tanya Riyan.

"Kayaknya pencariannya dilanjutin besok pagi ajadeh, Yan. Besok kita akan ke bandara," jawabku lesu.

"Baiklah. Lu keliatannya lelah banget. Istirahat dirumah gua aja ya, biar sekalian besok gua anter ke bandara."

Kututup perjuanganku hari ini dengan hasil yang tidak terlalu baik tetapi juga tidak terlalu buruk. Yang terpenting aku sudah mendapatkan informasi, jadi tinggal menunggu waktu saja.

Senja Tanpa JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang