Sebuah Kisah (Bagian 3)

156 23 24
                                    


"Fana, kamu kemana saja selama ini? Aku selalu nyariin kamu, kenapa kamu tidak memberi kabar sedikitpun kepadaku?" tanyaku keheranan kepada Fana.

"Saya tidak kemana-mana, kamu tidak perlu mencari saya karena saya tidak pergi kemanapun. Fokuslah pada dirimu sendiri, kamu harus ingat kamu itu adalah samudera, manusia yang hampir mendekati sempurna, ada banyak hal disekitarmu yang harus kamu pertahankan, saya ingin kamu cepat berubah."

"Aku rindu kamu, Fana. Jangan pergi-pergi lagi, kamu harus tetap disisiku, tolong," kupeluk Fana begitu erat, seakan-akan aku tidak ingin melepaskannya bahkan untuk sedetikpun.

**

Kriiinngg..., kriiingg..., suara jam dering membangunkan tidurku.

"Fana.., Fana.., dimana Fana? Bukankah aku tadi memeluknya?" gumamku dalam hati.

Lalu aku tersadar, ternyata semua hal indah itu hanya mimpi, kehadirannya ternyata hanya sebuah ilusi dari konspirasi memori dan hati, bahkan untuk sebuah mimpi, ini terlalu singkat. Jika dengan tidur aku bisa bertemu dengannya, maka aku ingin tidur lagi dan lagi agar bisa melihat wajah lembutnya, bahkan aku rela tidur selamanya agar bisa memeluknya dengan erat untuk waktu yang lama.

Begitu keras jiwaku membayangkan semua mimpi yang hanya sekedar ilusi ini, perlahan-lahan air mata turun menetesi pipiku, tanpa henti, tanpa perintah, tanpa paksa.

Setetes air mata mewakili sebuah penyesalan, tidak terbayang banyaknya penyesalan yang kukeluarkan berwujudkan air mata ini. Memang bagi pria, air mata adalah tanda kelemahan, tapi bagi manusia yang memiliki hati, air mata adalah wujud ketulusan, mungkin aku memang pria lemah yang menangis begitu deras seperti seorang bayi yang belum mendapatkan asi. Tapi aku juga manusia, manusia yang memiliki hati, yang menangis dengan tulus atas perasaan kepada seorang wanita, terlebih lagi seorang wanita yang dicinta, bukankah itu wajar?

Aku kecewa sekaligus bahagia, kecewa karena tidak bisa menjadi pria kuat pada umumnya, bahagia karena menyadari perasaanku untuk Fana memang tulus adanya.

Sudah lebih dari 10 menit aku menangis dan berapa banyak tetesan penyesalan yang sudah kukeluarkan, sungguh ini hal yang paling menyedihkan bagi diriku, aku hanya bisa diam, diam, dan diam. Lagipula semua pertemuan itu hanya mimpi yang membelenggu, aku tidak tahu harus melakukan apa.

Kuambil surat yang merupakan pesan terakhir dari Fana, ku coba menghentikan air mata, kubaca kembali suratnya dengan sedikit tersedu-sedu.

Aku merasa aku harus bangkit dari semua ini, jika semua hal tadi hanya mimpi, kenapa tidak dibuat menjadi nyata saja?

Lalu kuambil sebuah pena, kutuliskan pesanku untuk Fana dibagian belakang surat itu,

"Hai, Bidadari. Apa kabar? Hari ini aku bermimpi tentangmu. Dan bodohnya aku, aku menangis, terlihat lemah bukan? Tidak apa-apa, itu terdengar pantas untukku. Aku bahagia mengetahui perasaanku untukmu, memang tulus. Semesta, diam-diam saja ya, jangan laporkan pada Fana kalau aku menangisnya begitu semangat, aku tidak ingin Fana mengejekku.

Fana, tentang mimpi tadi, aku bertemu denganmu, memelukmu begitu erat, tapi singkat, bahagia tapi berat, setelah terbangun dan tersadar semua itu mimpi, akupun menjadi pilu. Tapi kamu tenang saja, saat aku menuliskan tulisan ini, aku sudah tidak menangis, hanya sedikit tersedu-sedu.

Hmm.., jangan memarahiku ya karena surat darimu kucoret-coret dengan tulisanku yang buruk ini meskipun sebenarnya tulisanku ini tidak terlalu buruk dan tentu saja tidak ada teka-teki seperti pesanmu yang kamu tinggalkan. Tapi yang terpenting, jangan sampai mengejekku ya, Fan.

Salam, Raihan Ibnu Samudera."

**

**

Aku tidak ingin menulis pesan ini untuk dikirimkan lewat pesawat atau perahu kertas seperti yang kulakukan ketika praktek di tol pesan ini sangat berharga, ini akan kusimpan baik-baik di kotak pita merah jambu pemberian Fana dulu, hingga saat aku bertemu dengan Fana nanti ia bisa membacanya dan mengetahui tentang mimpiku tentangnya.

Senja Tanpa JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang