Hari Kebahagiaan

154 21 5
                                    


                 Tidur di pantai benar-benar membuatku nyaman, meskipun sedikit dingin karena udara laut yang terus menyelimut diam-diam kedalam badan. Suara ombak menjadi musik yang begitu klasik menemani telinga hingga mata terpejam manja.

"Sam, bangun!"

Terdengar seseorang membangunkanku dari luar tenda. Aku begitu terkejut karena ini terlalu pagi, bahkan sangat pagi untuk bangun, arlojiku saja masih menunjukkan pukul 3 pagi. Benar-benar mengganggu tidurku. Namun suara itu terus memanggilku bahkan sampai membuatku kesal. Akupun segera keluar tenda melihat siapa yang tega sepagi ini melakukan keributan, dan..,

"Happy birthday to you.., happy birthday to you.., happy birthday happy birthday.., happy birthday to Samudera."

"Selamat ulang tahun, Sam. Semoga lu sukses selalu dan terus menjadi seseorang yang lebih baik lagi, jangan lupa traktirannya. Gua minta maaf kalau gua punya salah sama lu. Lu itu sahabat terbaik gua, bro," ucap Riyan sambil memelukku.

Disambut dengan ucapan selamat dari Sore yang begitu singkat. "Selamat ulang tahun, Sam. Saya doain yang terbaik buat kamu, dan semoga kamu selalu menjadi samudera."

Sangat indah, dengan cara yang sangat sederhana sepotong lilin dan sebuah cupcake, mereka memberikan kejutan kepadaku yang bahkan menurutku ini melebihi sempurna. Aku sangat bahagia melihat apa yang telah dilakukan oleh kedua orang ini, benar-benar hal yang luar biasa, aku sendiri saja lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunku, namun mereka ingat tentangku, aku begitu terharu dengan semua ini. Lantas saja aku langsung memeluk mereka berdua. "Makasih ya, Yan, Sore."

"Iya, sama-sama. Tapi jangan lupa ditiup dulu dong lilinnya, make a wiss juga ya."

"Iya, Sore."

Akupun dengan semangat membuat sebuah doa sederhana tentang kehidupanku, perjuanganku, dan semua orang yang ada disekelilingku agar bisa bahagia karenaku, hanya itu. Lalu kutiup lilin agar doa yang kuucap bisa terkirim lewat angin kepada sang pencipta.

"Kadonya mana?" mengulurkan kedua tangan dan memasang wajah memelas.

"Kamu mau kado?" jawab Sore dengan penuh semangat.

"Iya, mau dong, yang spesial."

"Baiklah, saya dan Riyan akan memberikan kado spesial untuk kamu, kadonya ada disebelah timur sana," ucapnya sambil mengacungkan jari telunjuk ke arah bukit ditimur pantai. "Sebentar lagi akan saya bawakan jingga kepada kamu lewat mentari pagi, tidak kalah indahnya dengan jingga dikala senja."

Sore begitu serius menatap sudut bukit itu, terlihat seperti mencoba meyakinkanku. Lalu Riyan berbicara dari belakang sambil memegang pundakku, "Udah, tunggu aja, bentar lagi juga keliatan kok, sabar aja ya nunggunya, ini spesial banget soalnya."

Aku duduk diatas butiran pasir pantai yang sedikit kasar, mencoba bersabar menunggu jingga yang akan diperlihatkan oleh sang surya saat dia terbangun dari tidurnya. Dan tepat setelah beberapa lama aku menunggu, akhirnya penantianku dibayar lunas. Pemandangannya begitu indah. Memandangi sang surya terbangun dari tidurnya memang cukup membosankan, tapi hasilnya luar biasa menakjubkan, keindahan jingga yang diberikan sang surya ditambah udara dingin dari pantai mampu memberikan suasana yang begitu klasik penuh kedamaian. Ini memang hadiah sekaligus kejutan terindah yang pernah kuterima, aku benar-benar bahagia.

Tak ada kalimat apapun yang mampu menjelaskan kebahagiaanku dan tak ada ungkapan apapun untuk menerangkan apa yang aku rasakan, yang bisa kulakukan hanya bersyukur kepada sang pencipta yang telah memperlihatkan keindahan alamnya dihari ulang tahunku, dan tentunya untuk Sore dan Riyan aku ucapkan ribuan terima kasih karena telah membuat hari ulangtahunku menjadi sempurna.

Kulihat Riyan begitu asyik video call dengan seseorang, mungkin pacarnya atau mungkin temannya, aku juga tidak tahu pasti. Tapi yang pasti, Riyan terlihat ingin berbagi keindahan jingga dengan seseorang yang ia cinta, terbukti dari ponsel yang sesekali diangkat kearah cahaya jingga, dan tentu saja aku tidak akan mengganggunya. Aku bergegas kedalam tenda dan mengambil kamera lalu kembali duduk diatas pasir pantai, kucoba untuk mengabadikan moment yang begitu indah ini, jingganya begitu klasik. Lalu tiba-tiba seseorang datang dari arah belakang, mengambil kameraku secara paksa.

"Sam, ngapain?" ucapnya dengan nada kesal.

Aku begitu terkejut, lalu berbalik kebelakang. "Kenapa diambil? Aku Cuma pengen mengabadikan moment ini doang kok," ucapku sambil mencoba mengambil kembali kamera yang telah diambil Sore.

"Mengabadikan? Jingganya?"

"Iya. Sini kembaliin kameranya."

"Sam, kamu mending fotoin saya deh, jangan fotoin jingga, saya kan lebih cantik daripada jingga," menjulurkan lidahnya dan mengacungkan 2 jari seperti sedang berpose manja.

"Pede banget," jawabku mendesis.

"Jadi, lebih cantikan saya atau jingga?"

"Jingga."

"Alasannya kenapa jingga lebih cantik?" memegang pinggang dan menatapku tajam.

Melihat tatapan itu aku tidak berani mengatakan bahwa Sore hanya gadis keras kapala yang tidak mungkin mengalahkan cantiknya cahaya jingga. Cahaya jingga memang jelas lebih cantik daripada Sore, lagipula nggak ada yang bilang Sore itu cantik, dia itu hanya singa betina yang begitu keras kepala. Namun, aku harus tetap menjawab pertanyaan Sore, jika tidak kujawab pasti ia akan mengeluarkan spekulasi-spekulasi aneh dari memorinya.

"Karena dia munculnya cuma 2 kali sehari," jawabku sambil memalingkan wajah dari tatapannya.

"Nah itu sebabnya. Mending kamu fotoin saya. Kalau suatu saat nanti jingga lebih sering muncul daripada saya gimana?"

"Maksudnya?" menoleh kearahnya dengan alis kanan yang naik keatas.

Aku begitu bingung dengan apa yang diucapkannya, ucapannya selalu saja ketinggian, membuat otakku tidak bisa mencerna dengan baik, antara dimensinya dan dimensiku memang sangat berbeda.

Sore berjalan pelan, langkah demi langkah menghampiriku. Aku pikir dia akan menertawakanku karena tidak mengerti apa yang dia ucapkan, tapi ternyata dia malah mengembalikan kameraku, tentunya bersamaan dengan spekulasi yang ia keluarkan dari memorinya.

"Saya sudah membaca beberapa buku dan semuanya sama. Jadi begini, kamu tidak perlu mengabadikan jingga lewat kamera, kamu cukup mengabadikan dengan mata, karena kalau kamu foto jingganya, terus kamu liatin setiap saat, lama kelamaan kamu akan bosan. Mengapa sang pencipta hanya memperlihatkan jingga 2 kali sehari saja? Agar orang yang melihat keindahannya bisa kagum dan tidak cepat bosan, agar orang yang melihatnya bisa rindu dengan suasana jingga itu. Bagian terindah bukanlah saat melihat jingga setiap detik, melainkan pada proses dari awal kamu menantikan jingga hadir hingga dilenyapkan oleh semesta," memasang senyum lembut seperti biasanya.

"Ya sudah, kalau begitu aku foto kamu aja," mengedipkan mata dan mengarahkan kamera kearah Sore.

"Jangan saya," menutup wajah dengan kedua tangannya.

"Kenapa? Kamu takut aku bosan sama kamu?"

"Bukan. Saya takut kalau kamu foto saya, kamu jadi jatuh cinta sama saya."

"Lho, kok beda sama jingga?"

"Ya berbeda, karena saya adalah saya, bukan jingga."

"Hmm..," spontan aku menggaruk dahiku walaupun tidak gatal.

Lagi-lagi aku kalah berdebat dengannya, kalau soal berdebat memang ia juaranya. Sore begitu ahli dalam merangkai kata-kata entah itu benar atau tidak, karena aku tidak bisa mengatakan pemikirannya salah. Dia adalah seseorang pecandu buku, jadi wajar saja jika ia selalu mudah menemukan kata-kata dan wawasan tentang berbagai hal. Mungkin aku juga harus menjadi pecandu buku agar ketika berdebat dengannya aku bisa menang.

Ditengah asik perdebatan kami, ternyata jingga sudah dilenyapkan semesta dengan cahaya pagi yang begitu terang dari sang surya.

Kamipun segera bersiap-siap mengemasi barang-barang dan membersihkan pantai dari sampah-sampah, karena pantai yang indah adalah pantai yang bersih dari sampah, dan kalau kita menjelajah alam kita jangan sampai meninggalkan jejak. Alam sudah memberikan keindahannya, jadi kita harus menghargai pemberian alam dengan menjaganya, salah satunya dari sampah.

Setuju??

Senja Tanpa JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang