34

93 4 0
                                    


Aku tidak ingin menghancurkan suasana, tapi saat ini juga aku harus meminta maaf kepada Sore, dan menurutku ini adalah waktu yang tepat. Tanpa menunggu waktu lama, aku memberanikan diri berbicara pada Sore, "Sore, aku minta maaf pernah berbicara kasar kepada kamu, aku tahu niat kamu baik, aku yang salah karena tidak mampu berpikir jernih, maafin aku ya, makasih atas perjuangan kamu udah merubah aku menjadi lebih baik hingga menjadi samudera yang diharapkan Fana."

"hehehe, tidak apa-apa Sam, saya tidak pernah marah apalagi membencimu."

Sore menjawab pertanyaanku dengan begitu lembut dan jujur, terlihat dari pancaran matanya. Aku sempat bertanya-tanya pada diriku sendiri terbuat dari apakah hati Sore ini, sepertinya ia tidak pernah membenci atau marah pada siapapun.

"Makasih, Sore," sambil tersenyum menatapnya.

"Fan, sekarang kamu udah bertemu dengan Sore, dan aku sudah meminta maaf pada Sore, jadi sekarang kita bagaimana? Kita kembali bersama kan?" memalingkan pandangan kearah Fana.

Riyan dan Bima yang daritadi asyik mengobrol kini terdiam mendengar apa yang aku ucapkan, sepertinya mereka tidak ingin mengganggu dan membiarkan Aku, Sore, dan Fana menyelesaikannya, hingga pada akhirnya mereka pergi keluar rumah.

"Saya tidak bisa menjawab itu semua Sam, kamu yakin yang paling kamu butuhkan saya? Bagaimana dengan Sore?" tanya Sore kepadaku.

"Lho, kok saya kak, saya kan gak ada perasaan apa-apa sama, Sam," tegas Sore.

"Udah, jangan berbohong, saya tahu. Sore, kamu itu gadis yang paling sempurna untuk Sam, tolong jaga Sam ya," pinta Fana lembut kepada Sore.

Sore hanya terdiam tanpa ucapan, kulihat ia begitu kebingungan, tak hanya Sore sebab aku juga begitu kebingungan mendengar apa yang Fana ucapkan.

"Tapi Fan..., aku butuh kamu," ucapku memegang tangan Fana.

"Sudahlah Sam, kamu masih ragu dengan perasaan kamu, biarkan waktu menjawabnya. Saya yakin nanti waktu akan membawamu kepada Sore. Mau saya ataupun Sore, bukankah sama saja? Yang terpenting kamu bisa berubah, jingga mu tak akan pernah hilang kok," kembali menggenggam tanganku sambil tersenyum.

Kali ini Fana terlihat lebih keras kepala dibandingkan Sore. Aku yang tak tahu harus berkata apalagi hanya mampu larut dalam keheningan. Sore juga tidak mengeluarkan suara apa-apa.

Setelah cukup lama menjelaskan, Fana menunjukkan tiket penerbangan menuju Jogja , dia ingin segera kembali ke jogja. Katanya ada hal yang harus diselesaikan.

Fana tidak ingin mengganggu Bima karena Bima terlihat tidur pulas di kursi teras rumah, begitu juga dengan Riyan.

Aku melarang Fana untuk berangkat sendiri ke Jogja, tapi dia tetap keras kepala. Bahkan ia menolak tawaranku untuk mengantarnya ke bandara. Dia menyuruhku untuk menemani Sore saja. Aku tidak mengerti kenapa dia ingin bergegas ke jogja, sebelum akhirnya ponsel berbunyi dari saku celananya. "Iya, Om. Ini urusan Fana sudah selesai, malam ini Fana sampai di Jogja."

Tidak mungkin aku melarangnya, yang meminta Fana segera ke Jogja adalah pamannya, berarti memang ada urusan keluarga yang penting, dan aku tidak ingin mencampuri.

Akhirnya aku hanya bisa memesankan taksi terbaik untuk mengantarkannya selamat sampai bandara, ia juga takut telat karena waktu penerbangan sudah semakin dekat.

Setelah Fana pergi menggunakaan taksi, aku membangunkan Riyan dan Bima yang tertidur pulas. Mereka begitu kebingungan melihat Fana yang tidak berada bersama mereka.

"Fana mana, Sam?" tanya Riyan.

"Udah pergi, katanya mau ke Jogja, ada urusan," jawabku kepada Riyan.

"Trus lu ngebiarin dia pergi sendirian gitu aja?"

"Udah aku paksa, Yan. Aku bilang padanya biarkan aku yang mengantar tapi dia menolak, ia tidak ingin merepotkan katanya," jelasku pada Riyan.

"Oh iya, benar, dia memang ada urusan dengan Om nya, urusan keluarga. Duh gua ketiduran lagi, padahal gua udah janji mau nganterin dia, kenapa sih dia gak bangunin gua," celoteh Bima kepada dirinya sendiri.

"Gua penasaran urusan apa," sahut Riyan yang begitu penasaran.

"Besok bagaimana kalau kita ke Jogja menemui kak Fana?" tanya Sore kepada kami.

"Tapi bukannya besok kamu ke Singapure?" tanyaku pada Sore.

"Ditunda dulu aja, saya masih mau ngobrol-ngobrol dengan kak Fana."

Cukup lama terhanyut dalam obrolan dan rasa penasaean, tiba-tiba telepon Bima berbunyi dan muncul tulisan "Fana" , dengan segera Bima mengangkat telepon tersebut dengan santai. Bukannya mendengar suara Fana, yang terdengar hanya suara seorang perempuan yang mengatasnamakan rumah sakit dan menjelaskan bahwa taksi yang dinaiki Fana mengalami kecelakaan, dan saat ini kondisi Fana dalam masa kritis.

Saat itu juga suasana yang tadinya bahagia penuh gelak tawa seketika menjadi pecah seperti letusan gunung api, semuanya menangis dan begitu menyesal atas apa yang terjadi.

Dengan cepat semua orang yang berada dirumah Riyan bergegas menuju rumah sakit yang berada tidak jauh dari Bandara Ahmad Yani itu. Disana Fana tidak sadarkan diri. Pendarahan hebat terjadi dikepalanya. Lagi.

Setelah menunggu cukup lama di ruang UGD, dokter belum juga keluar memberikan penjelasan. Aku, Riyan, dan Bima tak henti-hentinya berdoa kepada sang Kuasa, semoga tuhan kembali menunjukkan anugerahnya. Tak hanya aku yang terpukul, Sore juga demikian, tak henti-hentinya ia menangis, mama Riyan mencoba menenangkan Sore tetepi tidak berhasil.

14 jam kami menunggu dengan penuh harap, pamannya Fana juga telah sampai di Semarang. Akhirnya dokter keluar dari ruangan UGD. Wajah dokter itu terlihat bersedih. Aku merasakan hal yang tidak baik disin. Benar saja, dokter itu mengatakan kondisi Fana tidak tertolong lagi. Fana sudah tiada.

Setiap orang yang bernyawa pasti akan tiada, tapi ini begitu cepat bagi orang sebaik Fana, ini benar-benar tidak adil. Semesta, jangan hilangkan jingga dari langit senjaku!!

Suasana duka begitu mencekam, semua yang ada disana menangis begitu derasnya.

Pamannya Fana, terlihat begitu menyesal karena tidak berhasil menjaga Fana dengan baik. Tapi, ia tidak menyalahkan siapapun atas kejadian ini sebab ia percaya takdir sudah ditentukan oleh sang kuasa, menyalahkan diri sendiri dan orang lain bukanlah hal yang baik, lebih baik berdoa kepada sang pencipta agar Fana disediakan tempat di surga.

"Yang mana yang namanya Samudera?" tanya paman Fana.

"Saya, Om," jawabku gugup.

Tanpa basa-basi, paman Fana memelukku begitu erat, ia terlihat begitu terpukul, menangis sejadi-jadinya, sederas-derasnya.

"Om yang sabar ya," ucapku menyemangatinya.

"Om yang salah, Om yang menyuruhnya untuk segera kembali ke Jogja, Om hanya ingin operasinya cepat dilakukan agar dia cepat sembuh. Harusnya Om menyuruh dia untuk berangkat pagi saja. Ini salah Om," ucap lelaki paruh baya itu tersedu-sedu.

"Operasi apa Om?" tanyaku padanya.

"Fana itu menderita penyakit jantung, tapi tak ada satupun yang mengetahuinya selain Om. Dia tidak ingin orang lain tahu. Dia koma bukan karena pendarahan dikepala yang terlalu berat, tapi karena kondisi jantungnya melemah. Selama ini Om berusaha mencari pendonor, makanya Om meminta Bima menjaganya dirumah sakit sedangkan Om berkeliling untuk mencari pendonor."

Lelaki paruh baya itu memelukku semakin erat kemudian melanjutkan ucapannya, "Saat Om tahu dia sudah sadar dari komanya, Om sangat bahagia, tanpa patah semangat Om melanjutkan mencari donor jantung untuknya. Hingga pada akhirnya pendonornya telah ditemukan. Fana menolak melakukan operasi karena belum tentu hasilnya baik, biaya nya sangat mahal terlebih lagi dia tidak ingin merenggut kehidupan orang lain. Tapi Om terus meyakinkan dia. Akhirnya Fana menyetujuinya, tapi Fana punya permintaan bahwa ia ingin ke Semarang untuk menemuimu dan seorang teman yang mengajarkannya tentang hidup."

"Saya minta maaf, Om."

"Kamu tidak salah, Tuhan lebih menyayangi Fana sehingga ia lebih duluan dibawa kesisi-Nya," ucap paman Fana terbata-bata.

Setelah cukup lama berdiam diri menyaksikan suasana duka, dokter memberikan dua buah surat yang ditemui digenggamannya Fana sewaktu kecelakaan, mungkin surat itu pesan yang sangat penting bagi Fana. Surat itu bertuliskan dua nama yang berbeda.  

Senja Tanpa JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang