Kenyataan (bagian 2)

95 9 2
                                    


Sayangnya aku harus menunggu sedikit lama karena penerbangan dari Semarang menuju Jogja hanya ada di pagi hari, aku tidak ingin kembali menuju kost, aku tidak ingin membuang waktu. Kuputuskan untuk menunggu di bandara saja sampai fajar menunjukkan dirinya.

**

"Selamat datang di Jogja, terima kasih telah menggunakan jasa penerbangan kami, sampai bertemu lagi."

Ucapan salam dari maskapai penerbangan menandakan aku telah sampai di Jogja. Namun, aku sedikit kebingungan harus kemana, aku bahkan tidak tahu dimana rumah sakitnya, dan bahkan tidak tahu dimana rumah Bima. Tetapi aku tidak bisa menunggu sampai ada seseorang seperti malaikat yang menawarkan informasi kepadaku seperti didunia sinetron, itu tidak mungkin. Kuputuskan untuk menuju kampus UGM, menunggu didepan gerbang dan menanyakan kepada setiap orang yang lewat apakah mengenal Bima tetapi hasilnya nihil. Bima tidak ditemukan dikampusnya, dia sepertinya kurang popular dikampus.

Haripun sepertinya mulai gelap pertanda akan datangnya hujan, tanpa patah semangat kulanjutkan pencarian, tapi bukan di kampus UGM melainkan disetiap sudut rumah sakit yang berada di kota Jogja, baik dari rumah sakit di bagian paling utara, timur, selatan, bahkan barat. Hampir semuanya sudah kukunjungi tapi tak satupun tempat yang memberikan informasi tentang keberadaan Fana, bahkan hampir saja aku menyerah, tapi hatiku terus berkata bahwa aku harus menemukan keberadaan Fana hari itu juga.

Hingga pada akhirnya aku mengunjungi sebuah rumah sakit yang berada di pusat kota Jogja, bisa dibilang ini rumah sakit ke-12 yang aku kunjungi. Ternyata disini pencarianku membuahkan hasil, aku menemukan Bima sedang duduk di lobby rumah sakit, saat itu dia sedang termenung . Aku yang sedang dikendali amarahku melakukan pertengkaran yang cukup hebat dengan Bima. Tanpa bertanya apa-apa aku langsung menghampirinya dan memukulinya sampai kami berdua diusir oleh pihak keamanan karena membuat keributan, aku benar-benar emosi atas apa yang telah dilakukannya padaku.

"Udah Sam? Kalau mau pukulin gua lagi ya pukulin aja, gapapa gua terima kok," ucap Bima dengan nada kesal.

"Mau gua pukulin lu sampai matipun lu ngga akan bisa ngerasain rasa sakit yang gua alami selama lebih dari dua tahun ini Bim, lu ngerti nggak sih perasaan gua, sahabat macam apa yang tega nyembunyiin sesuatu dari sahabatnya sendiri. Lu tau kan gua itu selalu nyariin Fana, tapi kenapa lu tega nyembunyiin Fana dari gua," teriakku pada Bima.

"Tapi ini bukan keinginan gua Sam."

"Lalu keinginan siapa?"

"Fana."

"Kalau gitu jelasin semuanya ke gua dari awal sampai akhir secara detail, gua pengen denger penjelasan lu."

"Gua akan jelasin ke elu Sam, tapi tolong tenangin diri lu dulu, ini rumah sakit, gak baik rebut disini," Bima memegang kedua pundakku seakan meyakinkanku bahwa aku akan menemukan jawaban atas pertanyaanku.

"Baik. Sekarang ayo bicara," tegasku pada Bima sambil meredakan emosi.

Setelah cukup lama bertengkar hebat dengan Bima, akhirnya suasana mulai sedikit tenang meskipun hatiku masih menyimpan kekecewaan yang teramat dalam, emosiku juga sudah mulai turun dari ambang batasnya. Bima mengajakku kesebuah warung kopi yang tidak jauh dari rumah sakit agar bisa menjelaskan letak permasalahannya dengan detail dan dalam suasana yang tenang. Mungkin menurut Bima dengan meminum secangkir kopi bisa menenangkan pikiran yang dibalut rasa amarah.

"Sam, gua tau lu marah sama gua, gua tahu lu kecewa sama gua, tapi dengerin penjelasan gua yang sejujur-jujurnya mengenai Fana. Lu jangan pernah menuduh gua menyembunyikan Fana dari lu, ini semua keinginannya Fana, Sam. Setelah kelulusan SMA, Fana senang mendengar kabar kalau lu lulus di Semarang dengan jurusan yang lu sukai, namun dia juga sedih enggak bisa menjaga lu lagi karena dia lulus di Universitas luar negeri, apalagi saat melihat lu belum bisa menjadi samudera yang sesungguhnya. Dia pengen lu berubah Sam. Hingga pada akhirnya dia memutuskan komunikasi dari lu agar lu sadar betapa pentingnya menghargai orang-orang yang sayang sama lu. Dia tulus banget sama lu, Sam."

Aku begitu tersentak, ada sakit yang tak bisa dijelaskan dari dalam hatiku mendengar apa yang Bima katakan, aku benar-benar kecewa dengan diriku sendiri. Betapa bodohnya aku, tega menyia-nyiakan seseorang yang begitu menyayangiku. Benar apa kata orang-orang, penyesalan memang selalu datang di akhir.

Aku yang barusan mendengar penjelasan Bima, tidak pernah berhenti menyalahkan diriku sendiri atas kebodohanku yang tak mampu melihat Fana sebagai sesuatu yang istimewa. Lagi-lagi aku hanya terdiam, tak tahu lagi harus bagaimana, yang ada hanya penyesalan, penyesalan dan penyesalan.

"Sam, lu gapapa?"

"Iya, gapapa Bim, lanjutin penjelasannya, gua pengen nuntasin semuanya."

"Baik, Sam. Tahun pertama dia diluar negeri dia selalu keingat sama lu, dia merasa punya tanggung jawab penuh untuk merubah lu menjadi samudera yang sesungguhnya. Tepat pada tahun kedua ia memutuskan untuk balik ke Indonesia, ada beberapa urusan yang ingin diselesaikannya, dan salah satunya adalah ingin memantau lu secara langsung."

"Trus kuliahnya bagaimana?"

"Dia ngambil cuti. Setelah sampai di Indonesia dia bingung harus kemana, dia ingin memantau lu langsung ke Semarang, tapi disana dia tidak punya siapa-siapa, lalu dia memutuskan untuk menetap di Jogja sebab disini dia punya Paman, dan dia juga mengetahui kalau gua berada disini, jadi akan lebih mudah untuknya memantau lu dengan gua perantaranya."

Suasana kembali menjadi hening, Bima terdiam sejenak kemudian kembali melanjutkan ucapannya.

"Tapi setelah dia mengetahui kalau lu putus kontak sama gua, dia jadi gelisah, dan dia berusaha mencari cara untuk memantau lu, atau setidaknya mengetahui kalau lu sudah bisa berubah. Tepat saat dia mengendarai motor di daerah Sleman, dia mengalami kecelakaan dan kepalanya mengalami benturan yang cukup keras hingga dia tidak sadarkan diri," ucap Bima dengan nada pelan yang tersedu-sedu.

"Fana sudah cukup lama tidak sadarkan diri. Sempat dia sadarkan diri seminggu setelah kecelakaan. Dia menitip pesan sama gua untuk tidak memberitahu siapapun atas kecelakaan yang dialaminya, dia tidak ingin merepotkan siapapun. Dia juga bilang kepada pamannya untuk tidak memberitahu Ayah dan Ibunya. Setelah menyampaikan pesan itu, kondisinya kembali memburuk, ia kembali tak sadarkan diri. Pamannya yang seorang pebisnis harus mengurus bisnisnya sehingga gak bisa menjaga Fana dengan intens, dan saat itulah gua yang bertanggung jawab menjaga Fana hingga pada saat ini."

Fana selalu mempunyai caranya sendiri untuk menyelesaikan masalah, dia tidak ingin merepotkan siapapun atas apa yang menimpanya, itulah Fanaku, orang yang selama ini menjadi jingga dibalutan senjaku.

"Bim, gua pengen ketemu Fana, Bim. Ayo bawa gua ke ruangannya, ayo Bim," pintaku lembut pada Bima.

Aku begitu tidak sabar untuk segera bertemu Fana, tentu saja demikian, sebab aku sangat merindukannya, aku ingin melihat wajah lembutnya, aku tidak suka ia meninggalkan teka-teki lagi.

Sambil berdiri Bima memejamkan matanya seperti mencoba menguatkan dirinya sendiri. Lalu segera membawaku menuju ruangannya Fana. Aku yang daritadi bersikap kasar pada Bima, merasa begitu bersalah karena memukulinya tanpa mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu, dia sangat berperan penting dalam hidup Fana, merawat Fana, bertanggung jawab menjaga Fana, harusnya tugas itu adalah tugasku.

Senja Tanpa JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang