Menghidupkan Rasa, Mematikan Prasangka

104 10 0
                                    


Pagi yang indah, sinar mentari merambat masuk ke jendela di tempat dimana aku tidur, udaranya begitu segar. Ku awali pagi dengan sarapan bersama Mbak Nis dan Sore, suasananya begitu hangat penuh dengan kebersamaan, menu sarapannya adalah bubur ayam buatan Mbak Nis, benar-benar enak, aku tidak bohong. Silahkan coba sendiri kalau tidak percaya!

Aku sedikit canggung dirumah ini, selain aku hanya orang baru, aku juga merasa begitu merepotkan mereka meskipun mereka mengatakan bahwa aku harus menganggap rumah ini seperti rumah sendiri, tapi ya tetap saja pasti canggung, lagipula memang tidak baik merepotkan orang lain terlalu lama. Benar?

**

**
Selesai sarapan aku meminta izin untuk kembali ke kostan, tapi Mbak Nis tidak mengizinkan. Mbak Nis memintaku menemani Sore terlebih dahulu sementara Mbak Nis akan pergi keluar untuk mengerjakan suatu pekerjaan, katanya tidak lama, kalau ia sudah kembali baru aku boleh pergi, dan aku menerima permintaan Mbak Nis, lagipula aku juga tidak ada aktivitas yang penting hari ini. Tidak terlalu buruk jika harus menemani gadis keras kepala ini, semakin lama aku juga semakin terbiasa dengan Sore, dan tentunya aku ingin menjelaskan tentang kejadian tadi malam padanya agar ia tidak salah paham.

Setelah Mbak Nis pergi, aku langsung menghampiri Sore untuk mengajaknya bicara, aku melihat wajahnya tidak seperti biasanya, kali ini cenderung murung. Mungkin perasaannya sedang tidak baik, tapi aku tetap harus menjelaskan semuanya padanya.

"Sore, kamu baik-baik aja? Wajah kamu terlihat murung."

"Saya baik-baik saja. Sam, saya ingin bicara," menatapku dengan begitu serius.

"Lhooooo, aku juga ingin bicara," sahutku pelan.

"Saya duluan saja ya yang bicara. Perihal tadi malam, gadis yang mencium kamu tadi malam itu pacar baru kamu ya? Perasaan kamu ke dia bagaimana? Entah kenapa saat saya melihat dia menerobos pipimu hati saya jadi aneh, seperti dihantam badai," menundukkan kepala kearah lantai berjalan menuju taman belakang.

"Oh iya, dia bukan pacarku, kami cuma berteman, perasaanku padanya juga biasa-biasa saja. Kamu cemburu ya? Ciyeee, jangan cemburu dong apalagi sampai cemberut gitu," tertawa terbahak-bahak.

"Sam, saya sedang serius, saya sedang tidak ingin bercanda," mengangkat wajah dan kembali menatapku tajam.

"Kamu kenapa, Sore? Kan kamu pernah bilang hidup jangan terlalu dibawa serius," tanyaku yang kebingungan mengangkat alis kanan.

"Saya tidak apa-apa. Sam, ada kalanya harus bercanda dan ada pula kalanya kita harus serius. Saya ingin bertanya, perjuangan kamu mencari Fana bagaimana? Kenapa nggak dilanjutin? Kamu udah melupakan dia?"

Kali ini aku yang terdiam menunduk kebingunan, pertanyaan yang diberikan Sore begitu mengenai hatiku, begitu tajam hingga membuatku tak mampu berkata-kata. Kalau boleh jujur aku tidak pernah melupakan Fana, aku selalu mencari dan memikirkannya kapanpun dan dimanapun, hanya saja beberapa hari ini aku sedang sibuk sehingga tidak bisa melanjutkan pencariannya.

"Kamu kenapa bertanya seperti itu, Sore?" tanyaku pada gadis keras kepala itu.

"Apa pertanyaan saya salah?"

"Bukan pertanyaannya yang salah, waktunya yang tidak tepat."

"Tapi menurut saya inilah waktu yang tepat. Maaf kalau saya lancang," kembali menundukkan wajahnya.

"Kamu tidak lancang, kamu juga tidak salah, maafin aku ya, Sore. Kamu jangan ragu kepadaku. Kalau kamu berpikiran gara-gara aku kenal dengan wanita lain yang bahkan lebih cantik sekalipun, aku tidak akan mungkin melupakan tujuan utamaku untuk mencari Fana, aku percaya bersama denganmu aku akan menemukannya. Kamu jangan bersedih gitu dong," mengangkat dagu Sore.

Senja Tanpa JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang