Sadar!

86 7 0
                                    


Mencintai seseorang itu gak pernah salah, yang salah hanyalah berharap memilikinya. Merindukan seseorang itu gak pernah salah, yang salah itu berharap dirindukan kembali olehnya. Kamu bisa saja berharap apapun sesuai kapasitas hatimu. Tapi yang harus kamu ketahui, orang yang kamu harapkan itu juga mempunyai harapan sesuai kapasitas hatinya. Berpikir cerdaslah. Berharap itu boleh-boleh saja, yang salah itu berharap untuk diharapkan kembali.

**

Tak butuh waktu lama untuk sampai diruangannya Fana. Didalam ruangan tersebut terkapar lemas seorang wanita dengan alat bantu pernafasan dan infus. Fana belum juga sadar dari komanya.

Hatiku begitu bersedih melihat orang yang begitu kurindukan tak bisa bergerak, ini semua karena kesalahanku, andai saja aku bisa menjadi seperti yang dia harapkan lebih cepat, pasti tidak akan terjadi seperti ini.

Perlahan air mataku menetes begitu saja, saat itu juga aku menjadi orang yang paling cengeng sedunia. Aku tidak malu untuk mengeluarkan air mata ini, karena setiap tetesannya menyimpan butiran kerinduan dan penyesalan yang teramat berat.

Bima mencoba menenangkanku, tapi sepertinya tidak berhasil, air mataku tetap saja terus mengalir, ia keluar begitu saja tanpa kuminta. Setelah cukup lama, Bima mengajakku untuk menunggu diluar saja sebab apabila menunjukkan kesedihan yang mendalam pasti Fana juga akan bersedih. Aku pun menuruti permintaan Bima untuk menunggu diluar saja dan memantau Fana dari balik pintu kaca.

"Sam, ada yang ingin gua tanyain," perlahan Bima duduk disebelahaku dengan nada yang pelan tapi begitu tegas.

"Tentang apa, Bim?"

"Lu tahu darimana kalau Fana ada di Jogja?"

"Dari gadis yang waktu itu lu gendong di Prambanan, Bim."

"Sore?" teriak Bima yang seperti tidak percaya mendengar apa yang aku katakan.

"Iya, siapa lagi kalau bukan dia."

"Berarti lu udah berubah menjadi samudera yang sesungguhnya yang tidak mudah kasar dan lebih menghargai orang lain ya. Gadis itu pernah gua ajak kesini pas lu ninggalin dia dan lu pergi ke Bandung sendirian. Gua ajak dia kerumah sakit ini untuk menjenguk Fana. Awalnya dia begitu kebingungan siapa yang terbaring dirumah sakit ini hingga gua jelasin ke dia kalau gadis yang terbaring itu adalah gadis yang selama ini lu cari-cari. Dia gak percaya. Terus gua yakinin dia seyakin-yakinnya kalau yang terbaring beneran Fana, setelah itu malah dia marah karena gua menyembunyikan kenyataan ini dari lu. Tapi gua jelasin lagi ke dia kalau ini adalah keinginan Fana sendiri, karena yang Fana inginkan adalah ketika bertemu dengan lu Fana bisa menemukan lu sebagai seseorang yang ia harapkan seperti samudera yang diinginkannya. Akhirnya dia mengerti, pada akhirnya gadis itu berjanji ke gua, didepan Fana juga, untuk mengubah lu menjadi samudera sesungguhnya, setelah lu berubah menjadi samudera yang sesungguhnya baru dia akan mengatakan semuanya kepada lu. Dan gua sekarang udah yakin bahwa lu udah berubah menjadi samudera yang sesungguhnya makanya dia berani mengungkapkan kenyataan ini."

Duaaarrr... Hatiku seakan ingin meledak, Sore begitu tulus sepenuh hati ingin mengubahku menjadi seperti yang Fana inginkan sampai aku berhasil menjadi samudera yang sesungguhnya seperti sekarang ini. Tapi apa yang kemaren telah kulakukan padanya? Aku kemaren memarahinya, aku begitu kasar kepadanya, amarahku tidak bisa tertahankan hingga aku mengeluarkan kata-kata yang tidak patut untuk diucapkan, perasaan bersalahku semakin menjadi-jadi.

Aku begitu menyesal bahkan dengan spontan aku memukul-mukul kepalaku hingga memar.

Bima, yang melihatku begitu penuh penyesalan, hanya mampu memberikan semangat untuk menenangkanku, tapi apa daya, diriku sudah mencapai batasannya. Tangisan, amarah, penyesalan, kekecewaan, semua bercampur menjadi satu. Aku begitu terpukul memikirkan semua ini. Aku benar-benar merasa bersalah kepada Sore.

Sepertinya Bima begitu mengerti apa yang aku rasakan, kini ia hanya memandangiku, ia tidak lagi memberikan masukan kepadaku, ia hanya diam, karena dia tahu kalau hal yang aku inginkan ketika aku terpukul seperti ini adalah ketenangan untuk berpikir, ketenangan untuk melawan semua rasa bersalahkan. Bima menyuruhku untuk beristirahat, tapi aku tidak bisa melakukannnya, aku ingin menjadi orang pertama yang Fana lihat ketika bangun nanti.

**

**

Sepertinya Tuhan memberikan anugerahnya, Tuhan menyayangiku, Tuhan menyayangi Fana. Sesaat setelah aku meredakan amarah dan kekecewaanku, Fana terbangun. Aku begitu bahagia, benar-benar sangat bahagia, aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan kebahagiaan ini. Bima segera memanggil dokter untuk mengecek kondisi Fana, sedangkan aku berdiri disebelahnya menggenggam tangannya, menenangkannya.

Fana terlihat bahagia dengan kehadiranku. Tanpa mengurangi rasa syukur sedikitpun aku selalu memanjatkan doa kepada sang kuasa karena telah menyadarkan orang yang ku cinta.

Dokter datang bersamaan dengan datangnya Bima dan langsung saja melakukan pengecekan terhadap Fana. Hasilnya cukup memuaskan, kondisi Fana sudah mulai stabil, suatu anugerah dia bisa sadarkan diri dengan cepat, dokter saja bahkan hampir tidak mempercayainya.

Selepas melakukan pengecekan, dokter menyuruh aku dan Bima untuk keluar ruangan agar Fana bisa tetap beristirahat supaya kondisinya baik-baik saja, tapi Fana sepertinya tidak ingin aku pergi, dia menggenggam tanganku begitu erat, sepertinya ada yang ingin dikatakannya. Kuputuskan untuk tetap menemani Fana didalam ruangan. Tak lama kemudian ia mencoba membuka alat bantu pernafasannya, padahal dokter melarangnya, tapi karena keras kepalanya, Fana tetap melakukannya dan dokter tidak mampu berbuat apa-apa.

"Fan, kamu kenapa keras kepala? Jangan dibuka dulu alat bantu pernapasannya, kondisi kamu kan belum stabil," tegasku yang begitu khawatir dengan kondisi Fana.

"Saya tidak apa-apa kok, saya sudah sembuh," menunjukkan senyum lembut dari bibirnya, terlihat seperti Sore saja, sangat mirip.

Aku kembali terdiam, teringat kepada Sore, aku sudah melakukan kesalahan yang cukup besar karena bersikap kasar padanya, nanti aku akan meminta maaf dan mengenalkannya pada Fana.

"Sam, kenapa melamun?" tanya Fana kepadaku.

Akhir-akhir ini aku memang lebih sering melamun, entah apa sebabnya aku juga tidak mengerti. Bayangkan saja apabila kalian mengalami banyak masalah secara bersamaan, pasti kalian juga akan sering melamun.

"Tidak apa-apa. Kamu harus jaga kondisi kesehatan ya biar cepat sembuh," mengeluarkan senyuman yang begitu tulus sambil menggenggam erat tangan Fana.

"Iya, Sam. Kamu udah berubah ya sekarang, lebih gampang tersenyum. Dan sejak kapan kamu sudah tidak menggunakan 'lu gua' lagi? Sejak kapan kamu sudah berubah seperti ini?"

"Semenjak aku sadar kalau aku sangat membutuhkan kamu."

"Kalau begitu diganti saja, jangan karena kamu membutuhkan saya, tapi karena kamu membutuhkan semua orang."

"Iya, Fana," kembali aku menunjukkan senyuman pada bidadari yang kurindu.

"Oh iya, Bim. Makasih ya selama ini udah ngerawat saya, maaf kalau saya ngerepotin kamu," Fana mengalihkan pandangannya kepada Bima.

"Iya, sama-sama Fan. Udah tanggung jawabku," sahut Bima singkat.

Setelah cukup lama melepaskan rasa rindu, dokter kembali meminta Fana untuk istirahat agar kondisinya lebih membaik. Kali ini Fana tidak menolak, ia menuruti apa yang dokter perintahkan. Aku hanya mampu menjaga Fana dari kejauhan sampai dia tertidur.

Setelah melihat Fana tidur pulas, aku merasa lebih tenang. Bima permisi untuk membeli makanan untuk kami makan malam ini, sedangkan aku harus menjaga Fana. Beruntung sekali aku mempunyai sahabat seperti Bima, walaupun aku sudah lama tidak mengabarinya tapi ia tetap saja sepenuh hati membantuku.

Senja Tanpa JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang