33

77 5 0
                                    


Aku dan Riyan mencari Sore disetiap sudut kota Semarang yang berbau Buku, dari Mall, toko buku, dan komunitas-komunitas pecandu buku, tapi Sore tidak berhasil ditemukan. Mbak Nis bilang Sore ingin menemui penulis favoritnya, tapi aku tidak mengetahui siapa penulis yang ia maksud, tidak ada tanda-tanda sedikitpun. Lagipula Sore tidak mempunyai alat komunikasi apa-apa untuk dihubungi.

Yang namanya semangat itu tidak boleh terus-terusan patah, sekali bangkit ya harus tetap bangkit, aku ingat dengan kata-kata yang pernah di ucapkan Sore padaku. Aku tidak boleh patah lagi, aku harus semangat, aku yakin aku akan menemukanmu, Sore. Aku percaya itu.

Sudah cukup lama berputar-putar mengelilingi Semarang, Sore belum juga diketemukan. Aku berpikiran ia sudah selesai menemui penulis favoritnya dan saat ini sudah kembali kerumahnya, mungkin saja. Sebab, tidak mungkin menemui penulis favorit selama ini, penulis juga tidak punya banyak waktu untuk mendengarkan cerita dari seorang Sore yang begitu cerewet.

Kadang kalau mengingat sifat Sore aku tertawa sendiri. Dia lucu tapi keras kepala.

Matahari sudah memalingkan wajahnya dari hadapan bumi, dan sekarang giliran bulan yang berganti menghiasi, benar-benar kompak. Andaiakan aku bumi, Sore adalah matahari, Fana adalah bulan, aku harus memilih siapa? Egoiskah aku membutuhkan keduanya?

**

Aku sudah berada dirumah Sore, tetapi rumah itu masih terlihat kosong, lampu-lampu rumah terlihat mati, yang hidup hanya lampu yang berada di teras rumah, jelas saja kalau begini berarti Sore belum pulang.

"Yan, sekarang kita harus gimana?" tanyaku pada Riyan, aku tidak tahu lagi harus berbuat apa.

"Pencarian hari ini sepertinya cukup sampai disini dulu aja, Sam. Jangan memaksakan sesuatu diluar porsinya, itu tidak akan baik untuk lu. Sekarang mending kita pulang aja kerumah gua dulu. Kita tenangin pikiran. Besok pagi akan kita lanjutkan pencariannya, gimana? Kalau perlu kita tunggu di bandara mulai dari penerbangan paling awal," jawab Riyan menyemangatiku.

"Yaudah deh, Yan. Seperti elu ada benarnya juga, mungkin kita harus istirahat dulu aja kali ya."

Terkadang jika dihadapkan pada suatu pilihan, seseorang cenderung lebih memilih tetap berada pada zona nyamannya dari pada mengambil resiko untuk keluar dari zona nyaman. Apakah zona nyaman yang kau rasakan hari ini sudah tentu aman di hari esok? Belum tentu. Dunia ini adalah kompetisi. Cobalah keluar dari zona nyamanmu, belajarlah mengambil tantangan. Jika kau tak pernah mengambil tantangan, maka kelak kau akan dihancurkan oleh waktu.

Aku menghela nafas sedalam-dalamnya dan meyakinkan hatiku untuk tetap semangat dan melanjutkan perjuangan esok hari. Lagipula aku tidak ingin terlalu merepotkan Riyan, ia seperti begitu kelelahan walaupun dia tidak pernah mengeluh sedikitpun.

Kami memutar arah perjalanan menuju rumah Riyan, tak ada perbincangan disepanjang perjalanan, hanya suara musik dari radio yang saat itu sedang memutarkan lagu Shawn Mendes imagination.

**

**

Dari kejauhan rumah Riyan terlihat begitu aneh, tidak sepi seperti biasanaya, kali ini terparkir sebuah mobil jeep berwarna hitam. Sepertinya mobil itu tidak asing untukku, aku pernah melihatnya.

Riyan bergegas memarkirkan mobilnya karena aku begitu penasaran apa yang sedang terjadi.

Dan ternyata di rumah riyan kami menjumpai Mamanya Riyan, Bibi, dan ada 3 orang yang begitu membuatku bingung, disana ada Bima, Fana, dan tentunya Sore.

Semesta kembali menunjukkan anugerahnya, aku sangat berterima kasih kepada semesta atas apa yang terjadi malam ini. Semesta telah mengembalikan jinggaku dengan warna yang begitu mengagumkan.

"Wah Riyan, Sam. Kalian udah pulang," ucap Mama Riyan menyambut kami berdua.

"Iya Ma, ini nemenin Sam jalan-jalan," jawab Riyan sambil menyikut bahuku.

"Hehehe.., maaf kalau pulangnya kemaleman ya Tante," sahutku yang begitu merasa tidak enakan.

"Gapapa, kok. Ini ada Bima datang jauh-jauh dari Jogja, dia bawa 2 cewek cantik-cantik nih, katanya mau ketemu sama kamu, Sam," jelas mama Riyan.

"Bu, ini lho yang namanya Mbak Sore pacarnya Nak Sam," celoteh Bibi dari dapur memotong ucapan Mama Riyan.

"Bu.., bukan Bi, Tan. Sore ini teman aku, yang pacar aku itu Fana, wanita disebelah Sore ini," tegasku.

"Wah begitu, yaudah Tante dan Bibi kebelakang dulu ya, kalian silahkan ngobrol-ngobrol dulu."

Sepertinya Mama Riyan begitu tahu apa yang terjadi saat ini sehingga dia tidak ingin mengganggu urusan anak muda, dia lebih memilih kami menyelesaikan masalah kami sendiri. Memang sangat pengertian.

Keheningan tejadi cukup lama semenjak mama riyan beranjak , seperti ada sebuah kecanggungan sebelum akhirnya aku memulai pembicaraan.

"Fan, kamu kenapa disini? Kamu kan baru sadarkan diri, kalau kamu kenapa-kenapa bagaimana?" tanyaku yang begitu khawatir melihat kondisi Fana.

"Saya sudah sembuh Sam, saya kesini karena ada sesuatu urusan yang harus diselesaikan selagi masih ada kesempatan, saya tak punya waktu lama," jawab Fana dengan senyum membingkai bibirnya.

"Maksud kamu?" tanyaku keheranan.

"Saya ingin menemui orang yang selama ini mampu merubah kamu, saya ingin melihat orang itu secara langsung."

"Dan sekarang kamu sudah melihatnya kan?" tegasku.

"Iya, saya senang bisa menemuinya, Sore memang gadis yang baik. Senjamu akan selalu jingga Sam, pancaran cahaya Sore begitu klasik membawa kehidupanmu menjadi lebih baik. Dan kalau boleh jujur, saya sudah lama mengenal Sore walaupun tidak pernah bertemu."

"Sore, jadi kamu mengenal Fana?" tanyaku yang mengalihkan pandangan kearah Sore.

"Iya, saya sangat mengenal kak Fana, tapi bukan sebagai jingga kamu Sam, tapi sebagai idola saya. Kak Fana banyak memberikan inspirasi dan motivasi melalui tulisannya, dia sangat berperan penting kedalam kehidupan saya, dia adalah penulis yang sangat saya banggakan. Dan baru kali ini saya mengetahui kalau idola saya ini adalah jingganya kamu, Sam. Sebab, kak Fana tidak pernah menyebutkan nama aslinya, menunjukkan foto juga tidak pernah, ia hanya memberikan nama pena kepada Saya, bahkan saat saya bertemu dirumah sakit dengan kak Fana saya tidak tahu kalau yang terbaring itu adalah idola saya," jawab Sore dengan detail.

"Fan, sejak kapan kamu menjadi penulis?" menoleh kearah Fana.

" Sudah lama Sam, sewaktu SMA, tapi memang tak ada satu orangpun yang mengetahuinya."

"Jadi kenapa kalian bisa bertemu dengan Sore, Bim, Fan?" tanyaku yang semakin keheranan.

"Fana bilang dia ingin bertemu dengan seorang Fans yang tinggal di Semarang, sekalian dia ingin melihat kondisi kamu, Sam. Kamu tahu sendiri kan bahwa Fana orangnya tidak bisa berdiam diri saja. Tanpa disangka-sangka ternyata orang yang ingin ditemui Fana adalah Sore, gua aja begitu terkejut, ini memang konspirasi yang diciptakan semesta begitu apik," ucap Bima sambil tertawa bahagia.

"Aku masih bingung sekaligus begitu bahagia, memang luar biasa, ternyata kalian semua saling mengenal, pantas saja Sore begitu mirip dengan Fana, ternyata Fana yang menginspirasi Sore dalam menjalani kehidupan."

"Hehehe.., bukan hanya saya memberikan inspirasi kepada Sore, Sam. Tapi Sore lah yang lebih banyak memberikan inspirasi kepada saya," ucap Fana lembut.

Suasana yang tadinya mencekam berubah menjadi gelak tawa, semuanya bahagia melepaskan kerinduan. Sore dan Fana juga sedang asyik bercerita tentang dunia kepenulisan yang kurang aku pahami. Sore, Fana, kalian memang gadis yang luar biasa, begitu sempurna, aku tidak ingin menyakiti kalian berdua, aku tidak ingin ada yang hancur diantara kita, aku membutuhkan kalian berdua untuk tetap bersama-sama melewati hari bersamaku.

"Kehidupan kerap kali berhubungan dengan pilihan, kadang kita sebagai manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit yang membuat kita sulit memilih yang mana yang terbaik. Tidak apa-apa,itu manusiawi. Tapi jangan lupa, kita punya sang Pencipta untuk menyerahkan segala sesuatunya."

Senja Tanpa JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang