Metamorfosa 2

74 9 0
                                    


Dua orang kakak beradik berusaha mendandaniku hingga layaknya pangeran, Mbak Nis dan Sore, mereka begitu baik dan begitu aneh, dengan mudahnya merepotkan dirinya untuk membuatku terasa spesial, dengan sekejap mereka menyihirku menjadi lelaki tampan layaknya bintang iklan. Tipe dandanan mereka juga tidak norak, aku menyukainya karena begitu sederhana tapi terlihat begitu rapi dan tidak terlihat tua meskipun kemeja yang kugunakan adalah kemeja zaman dahulu ketika papanya Sore masih muda.

"Wah, Sam terlihat sangat tampan ya," ucap Mbak Nis.

"Iya kak, pasti papa mudanya juga setampan ini, eh lebih tampan lagi tentunya," sahut Sore.

"Duh, kalian terlalu memujiku. Udahan dong jangan dipuji terus bisa-bisa aku melayang-layang di udara nih," sanggahku dengan pipi yang mulai memerah menahan pujian.

Tawa demi tawa yang kami lalui dihentikan oleh ponselku yang kembali berdering, Nabila mengatakan sudah berada didepan rumah yang sudah kujelaskan. Kucoba keluar rumah dan benar mobil Nabila sudah menunggu. Kutitipkan Vespaku dirumah Sore dan bergegas menghampiri Nabila. Saat aku memasuki mobil terlihat Sore sedang mengintip dari jendela rumah. Sepertinya ia mencoba memata-mataiku.

**

Pestanya begitu ramai dipenuhi tamu undangan, sangat megah dengan tema glamour in the dark. Benar apa yang Sore katakan tentang pakaianku, jika aku memakai pakaian kotor tadi pasti akan mempermalukan diriku sendiri, untung saja Sore mau mendandaniku menjadi seperti pangeran.

"Sam, jangan lepasin gandengannya, ya," ucap Nabila menggandengku erat.

"Jangan erat-erat, aku risih," jawabku tegas.

Kami menyusuri semua tempat satu persatu dari tempat mengisi buku tamu, tempat minuman, makanan, hingga sampai ditempat mempelai, yaitu tempat dimana kakaknya Nabila duduk bersanding dengan suaminya. Tempat ini begitu luas bahkan jika dihadiri 5 ribu orang seperti masih muat, benar-benar megah sekali, tai menurutku terlalu berlebihan, sih.

"Hai, Bila, akhirnya kamu datang juga," sapa kakaknya Nabila yang memeluknya erat.

"Hehehe, iya Kak, Bila pasti datang kok sesuai permintaan kakak."

"Bagusdeh. Wah, jadi ini pacar kamu, ganteng banget ya, Bil," ujar kakaknya sambil menoleh kearahku.

"Hai Kakaknya Bila, selamat ya kak atas pernikahannya," ucapku lembut.

Aku hanya tersenyum mendengar apa yang dua orang kakak beradik ini bicarakan. Jujur aku ingin menyanggah apa yang mereka bicarakan tapi aku merasa tidak enakan jika sampai merusak suasana. Dengan menarik dada dan mengembuskan nafas dalam-dalam kucoba untuk memahami kondisi yang ada dan tentunya aku harus bersabar.

"Nama kamu Siapa?" tanya kakaknya.

"Sam, Kak. Raihan Ibnu Samudera."

"Wah nama yang indah. Sudah berapa lama pacaran sama Nabila?" tanyanya semakin mendetail.

Untuk sejenak aku terdiam, aku tidak tidak tahu harus menjawab apa. Pacaran apanya, kenalan saja baru seujung tunas. Bukannya sok jual mahal tapi aku tidak suka dengan wanita yang membuatku risih begini, meskipun terkadang dia terlihat asyik. Lagipula aku kan masih setia terhadap Fana, hatiku masih mencari dan menunggunya.

"Kami udah pacaran 2 bulan, Kak," Spontan Nabila menjawab pertanyaan yang sebenarnya ditujukan padaku.

"Kakak doakan semoga langgeng, Ya," memelukku seakan mempunyai harapan padaku.

"Hehehe.., iya Kak,makasih," ucapku sambil tersenyum.

"Iya calon adik ipar," sahutnya dibarengi mencubit pippiku.

Setelah sekian lama berkeliling dan berbincang-bincang dengan keluarganya, kamipun segera pulang. Di dalam mobil aku berdebat dengan Nabila, aku begitu marah padanya, bisa-bisanya dia mengaku sebagai pacarku, dasar orang aneh, mengambil keputusan sesuka hati tanpa bertanya dulu padaku,

"Lain kali kalau mau ngambil keputusan itu mikir dulu, jangan sebelah pihak, nanti kalau orang-orang beneran mikir kita pacaran bagaimana," ucapku tegas.

"Aku minta maaf, Sam. Aku tahu aku salah. Tapi kalau orang-orang mikir kita beneran pacaran juga gapapa kok, aku mau," spontan ia menggandeng tanganku yang sedang memegang setir mobil.

"Apaan sih kamu Bila, kita baru kenal lho, jangan gampang gandeng-gandeng tangan orang yang baru kamu kenal," nada suaraku meninggi.

"Tapi aku mulai tertarik dengan kamu," menempelkan kepalanya ke lenganku."

"Bil, tolong lepasin. Dan tolong, jangan gampang bilang tertarik pada orang baru."

Aku terus menegaskan padanya dengan berbagai cara agar dia mengerti bahwa aku tidak menyukainya, terlebih lagi dengan sikapnya, tapi dia tetap saja tidak mau melepaskan gandengannya dari tanganku. Benar-benar menyebalkan membuatku benar-benar risih, kalau tahu begini lebih baik aku tidak mendapatkan teman lain daripada harus terjebak seperti ini.

Setelah lama berdebat akhirnya sampai juga dirumahnya Sore, aku benar-benar tenang. Ketika aku keluar mobil aku melihat Sore menunggu didepan pintu rumah dengan punggung yang menempel pada pintu, sepertinya Sore menantikan kehadiranku. Aku bergegas menghampiri Sore.

"Sam!" teriak Nabila.

"Ya?" menoleh kebelakang.

Aku benar-benar terkejut, dia mencium pipiku, dihadapan Sore, sangat memalukan, aku benar-benar merasa bersalah kepada Sore, padahal aku dan Sore tidak ada hubungan apa-apa, hanya sebatas guru dan murid, tapi kenapa aku seperti takut jika Sore memarahiku dan takut Sore salah paham.

"Makasih ya, Sam," ucap Nabila kepadaku.

Aku tidak mengacuhkannya lagi, aku tidak menyukai wanita seperti Nabila, dia bukanlah wanita yang baik menurutku. Segera kuhampiri Sore didepan pintu rumah dengan waswas.

"Hai, Sore. Kok belum tidur? Nungguin aku, ya? Ciyeee," menggosok rambut Sore.

Namun respon yang kudapatkan sangat datar, Sore hanya tersenyum kearahku. Aku terus mencoba mencairkan suasana agar Sore mengeluarkan kata-kata, hingga pada akhirnya dia berbicara. "Sam, minggu depan saya akan ke Singapore," beranjak memasuki rumah.

"Singapore? Ngapain?" tanyaku keheranan.

Lagi-lagi Sore tidak menjawab pertanyaanku dan malah mengalihkan pembicaraan. "Tadi Mbak Nis bilang kamu tidur disini dulu aja, sudah malam, bahaya kalau pulang jam segini, besok pagi saja pulangnya. Kamu tidur di kamar sebelah kamar saya, jadi kalau ada apa-apa tinggal bangunkan saya," ucapnya yang bergegas memasuki kamar.

Aku begitu heran dengan sikap Sore yang begitu dingin kepadaku, jujur aku memang merasa bersalah dan takut dia marah, tapi kenapa dia sampai bersikap dingin kepadaku, perasaan dia padaku sepertinya biasa saja, apa mungkin dia merasa gagal karena bersusah payah merubahku untuk bertemu Fana tahu-tahu aku malah dekat dengan wanita lain, entahlah. Aku tidak bisa berpikir terlalu keras, itu membuat kepalaku pusing. Dan sekarang aku tidak bisa menolak tawaran dari Mbak Nis, aku harus tidur disini. Tapi jujur aku merasa nyaman disini, tidak seperti bersama Nabila tadi, keluarga ini begitu peduli denganku.

Sudah kuputuskan, aku malam ini akan menginap disini dan malam ini juga sudah kuputuskan untuk tidak terlalu dekat lagi kepada Nabila, aku hanya ingin berteman padanya, tidak lebih tidak kurang. Harusnya Nabila juga tidak mengharapkan sesuatu yang lebih dariku, bagaimanapun juga hatiku tetaplah utuh untuk Fana.

Senja Tanpa JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang