Sahabat Lama. Jawaban yang Mengecewakan

201 25 6
                                    


Hari ini adalah hari kedua pencarian seorang bidadari yang bernama Fana, dengan semangat yang tak pernah melebur aku terus bersikeras kalau aku akan menemukan Fana, Sore juga tak pernah melunturkan semangatnya membantuku, entah kenapa dia terlihat sangat yakin bahwa aku akan kembali menemukan senjaku.

Pencarian kali ini bingung harus melanjutkan kemana lagi, karena menurutku semua sudut kota Jogja telat kami telusuri, Jogja terasa kecil untuk dijamah namun terasa begitu besar untuk mencari sebuah titik keberadaan Fana. Di sela-sela kebingunganku, Sore justru mengajukan tempat untuk dikunjungi yang begitu jauh dari kota Jogja, kalian tahu? dia mengajakku untuk mengunjungi Prambanan dan Gunung Merapi, tentu saja ini pilhan konyol yang jika tidak mungkin untuk ditolak karena dia pasti akan bersikeras untuk tetap pergi kedaerah itu, mau atau tidak tetap saja aku harus 'mau'.

Baiklah, kami memulai dengan Candi Prambanan, entah kenapa dia sangat bersikeras ingin ke Prambanan. Menurutnya Prambanan itu sangat luar biasa karena begitu indah untuk dibangun dalam satu malam, tapi menurutku itu biasa saja dan aku tidak akan berdebat untuk itu karena nantinya pasti aku yang akan kalah.

Setelah sampai di Candi Prambanan, Sore langsung bergegas ingin berkeliling candi untuk melihat detail relief-relief yang mengagumkan dari candi itu, aku tidak sesemangat itu untuk mengelilingi tempat yang menurutku biasa saja, aku duduk di sebuah kantin dan membiarkan Sore berkeliling sesuka hatinya, karena tidak akan mungkin dia akan hilang disini, aku memberinya waktu 2 jam paling lama untuk berkeliling candi, itu adalah waktu yang cukup lama untuk menikmati Candi Prambanan ini.

Dengan secangkir kopi dan sepotong roti, menemaniku menunggu gadis keras kepala yang bernama Sore.

Namun, sudah lebih dari 2 jam dia tidak kembali, ini sudah melanggar perjanjian kami, entah apa yang dilakukannya!

Aku mulai khawatir dengannya, kalau dia hilang atau diculik kan aku yang harus bertanggung jawab. Dan aku memutuskan untuk mencarinya.

**

Aku berhasil menemukannya di sebuah tempat yang cukup indah, orang-orang menamainya Syiwa Mandala. Tapi ada yang aneh, dia terlihat mengobrol dengan seorang lelaki, entah apa yang aku rasakan, rasanya sangat kesal melihat dia mengobrol dengan seorang lelaki sedangkan aku menunggu lebih dari 2 jam sendirian, aku bergegas menghampirinya sambil berteriak, "Woi, ini udah lebih dari perjanjian kita, lu masih enak-enakan ngobrol disini."

"Eh sam, kenalin teman baruku ini," tersenyum seperti tidak bersalah sambil menunjuk lelaki itu.

Tak kusangka saat lelaki itu berbalik badan ternyata dia adalah orang yang sangat kukenal, coba tebak dia siapa? Ya, benar, dia adalah sahabat lamaku di SMA, dia adalah Bima orang yang selalu memberikan saran agar aku tidak kasar pada Fana.

"Wah ini elu Bim? Apa kabar? Gua kangen sama lu bego."

"Eh Sam, gua baik, Lu apa kabar? Lu sombong banget ya Sam, udah beberapa hari ini di Jogja tapi gak ngabarin gua."

"Gua gak baik Bim, hidup gua penuh beban. Sorry Bim, gua baru inget kalo elu kuliah di Jogja, gua juga udah gak ada kontak lu Bim, maaf banget ya Bim."

"Santai aja Sam, lain kali kalau berhubungan dengan Jogja kasih tau ke gua, gua kan ahlinya di Jogja, hehehe. Eh Sam, maksudnya hidup lu penuh beban gimana? Fana ya?" tanyanya yang seakan-akan mengetahui isi pikiranku.

Sore pun langsung memotong pembicaraan kami, "Ehem ehem, sepertinya kalian melupakan seorang gadis imut ditengah-tengah kalian," sambil menggerutu, terlihat dari mimik wajahnya.

"Hehehe, jangan marah-marah dong, yaudah kita cari tempat ngobrol-ngobrol yuk sambil ngopi kan seru," sahut Bima kepada Sore.

Kamipun langsung mencari kedai kopi untuk mengobrol sekalian reuni udah hampir 3 tahun gak ketemu. Dan sepertinya ada yang aneh, Bima terlihat menggandeng Sore untuk berjalan, ternyata kaki Sore kembali mengalami nyeri untuk berjalan, mungkin karena belum terlalu sembuh dan terlalu kelelahan.

Kamipun sampai di sebuah kedai kopi di area Prambanan, langsung saja memesan kopi susu panas yang begitu nikmat.

"Makanya jangan keliaran kelamaan, kambuh kan sakit lu," ucapku yang memarahi Sore, karena menurutku memang dia yang salah.

"Tapi kan saya mau keliling-keling, percuma duduk-duduk tanpa melihat sekitar, itu namanya sia-sia." 

"Ya tapi kan gak harus selama itu juga, lu susah dibilangin sih."

"Maaaaaaaaaffff, iya saya salah," sambil menunjukkan wajah polosnya yang bisa meluluhkan hati siapapun.

"Udah-udah kalian berdua jangan bertengkar. Sore, Sam itu begitu artinya dia peduli sama kamu, emang pembawaannya aja yang kasar, kan setiap orang bebas mengungkapkan rasa kepeduliannya apapun bentuknya, bener gak Sam?" tanya Bima kepadaku.

"Bodo ah, bahas yang lain aja," jawabku dengan sedikit mendesis.

"Oh ya Sam, gua udah dengar semuanya dari Sore tentang cerita lu, lu nyari Fana kan? Gua minta maaf banget Sam, lu datang kesini terlalu lama."

"Maksud lu apa Bim?"

"Sam, dia udah gak di Jogja lagi, dia udah pergi ke tempat lain, percuma lu cari dia kesini, dia gak ada disini."

"Trus dia kemana Bim? Dia pergi kemana? Keadaannya baik-baik aja kan?"

"Gua juga gak tau dia kemana, dia cuma bilang dia pengen menelusuri setiap garis waktu. Lu tenang aja Sam, dia baik-baik aja kok, dia cerita banyak tentang lu, dan yang pastinya dia masih menunggu lu sampai menjadi samudera yang sesungguhnya."

"Gua pengen nemuin dia Bim, gua pengen bilang ke dia kalau gua udah menjadi samudera yang sesungguhnya seperti permintaannya. Tolong, Bim, bantuin gua, gua kangen Fana."

"Iya Sam, gua ngerti, tapi gua gak bisa berbuat apa-apa Sam. Fana bilang kalau lu beneran udah menjadi samudera yang sesungguhnya maka lu akan ketemu Fana dengan sendirinya tanpa dicari."

"Bim, gua harus nemuin Fana! Lu tau dimana dia kuliah?"

"Fana gak kuliah Sam, dia bilang dia sekarang hanya menelusuri garis waktu, mencari sesuatu yang indah dari alam semesta, sampai...,"

"Sampai apa?" aku langsung memotong ucapan Bima.

"Sampai lu benar-benar menjadi Samudera sesungguhnya seperti yang dia inginkan."

Saat itu juga mataku berkaca-kaca, seakan ingin menangis tapi sulit, ingin marah tapi pada siapa harus kulemparkan amarah ini, penyesalanku semakin memuncak mengalahkan tingginya Himalaya, diamku membisu menjadi titik-titik kegelapan. Berapa lama lagi senjaku tanpa jingganya? Atau mungkin tidak akan pernah ada jingga lagi? Aku merasa aku sudah berubah menjadi Samudera sesungguhnya, tapi ternyata belum menurut Fana. Oh semesta, kisah ini begitu berat untukku, pencarianku menghasilkan kekecewaan, jiwaku seperti dihantam derasnya ombak setinggi 19 meter.

"Sam, kamu baik-baik aja kan? Saya akan bantuin kamu menjadi Samudera seperti yang Fana harapkan, saya janji," ucap Sore yang entah kenapa gadis ini begitu yakin untuk mengatakan hal hal itu.

"Tapi...,"

"Udah , jangan ada kata 'tapi' , saya bakalan bantuin kamu , kamu harus bangkit ya!"

"Gua mau balik aja ke Bandung, gua kangen suasana Bandung, lu mau tetap disini atau mau balik ke Semarang?" tanyaku kepada Sore.

"Kamu kok gak ada semangat gini Sam, gini aja udah nyerah, cupu. Beraninya lari dari masalah, kapan kamu mau keluar dari zona nyaman dan mau menghadapi masalah, kalau gini kamu gak bakalan bisa menjadi Samudera yang sesungguhnya," ucapnya sambil mencemoohku.

"Bodo amat, pokoknya sekarang juga gua mau ke Bandung, lu mau disini terserah, mau balik ke Semarang terserah. Bim, titip cewek ini ya, gua mau langsung balik ke Bandung, kalau dia mau balik ke Semarang anterin dia kerumah Riyan teman SMP kita dulu ya."

"Tunggu dulu sam...," sahut Bima, terlihat sepertinya bima ingin mengatakan sesuatu.

Tanpa mendengar apa yang akan Bima katakan aku langsung pergi dari kedai kopi itu, langsung menuju penginapan, mengemasi barang-barang, membeli tiket dan langsung menuju Bandung, aku tidak peduli dengan gadis keras kepala itu, yang terpikir dalam otakku hanyalah bagaimana agar hatiku bisa tenang dan penyesalan ini tidak semakin membesar.

Senja Tanpa JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang