31

95 6 0
                                    


Mentari pagi ini terlihat bersinar cerah, cahayanya masuk ke sudut jendela dikamar Fana berada. Aku terbangun dari tidur lelapku yang sepertinya cukup panjang. Aku begitu malu, ternyata Fana sudah duluan bangun dan menunjukkan senyuman lembut dari bibirnya yang selalu menyejukkan hatiku.

"Selamat pagi Samudera, sepertinya kamu kelelahan sekali ya sampai bangun kesiangan."

"Pagi, Fan. Maaf aku bangun telat."

"Iya tidak apa-apa, saya mengerti kok."

Tak lama kemudian dokter masuk keruangannya Fana, sepertinya akan melakukan pengecekan. Tiba-tiba Fana kembali mengingatkanku untuk menemui Sore, dan tanpa menunda-nunda waktu, aku berpamitan kepada Fana untuk berangkat ke Semarang menemui Sore dan meminta maaf pada Sore, dengan senyuman lembutnya Fana melepaskan kepergianku bersamaan dengan doa keselamatan untukku.

Saat aku keluar ruangan kamar Fana, ternyata Bima sudah menungguku, katanya baru saja sampai. Aku mengatakan pada Bima bahwa aku akan segera ke Semarang, belum sempat aku menyelesaikan pembicaraanku tiba-tiba Bima mengeluarkan tiket dari saku celananya, ternyata tiket keberangkatan ke Semarang sudah duluan dipesankan oleh Bima karena teman Bima bekerja di bandara, jadi aku tidak perlu repot-repot mencari tiket. Bima memang sangat peka atas apa yang aku butuhkan. Aku bahagia mempunyia sahabat sepertinya. Apa aku yang baru menyadari atau selama ini semua orang benar-benar memperdulikanku? Ah, entahlah.

**

**

Semarang, kota yang indah, kota yang memberikan banyak pelajaran kepadaku, kota yang berhasil sedikit demi sedikit merubahku menjadi lebih baik, dan tentu saja disini aku akan mencari Sore dan meminta maaf padanya.

Waktu adalah emas, jadi jangan pernah disia-siakan, kini itulah motoku. Segera saja aku bergegas kerumah Sore. Vespa yang kuparkirkan di bandara semenjak aku berangkat ke Jogja dua hari lalu ternyata tidak lecet sedikitpun, pasti si Biru antik ini sangat kedinginan 48 jam berada diparkiran luar yang begitu dingin. Untung saja vespa ini masih bisa menyala sehingga aku lebih mudah untuk menemui Sore tanpa harus memesan taksi. Soalnya uangku tidak akan cukup, hehehe.

Ku nyalakan vespa dan menarik tali gas dengan kekuatan penuh agar secepatnya sampai kerumah Sore. Karena semangatku yang begitu menggebu-gebu, perjalanan terasa lebih cepat.

Tapi ada yang aneh, rumah Sore terlihat sepi, aku memencet bell berkali-kali tapi tidak ada seorangpun yang keluar.

Apa Sore dan Mbak Nis sedang pergi keluar ya? Tapi memangnya kemana ya mereka. Tidak biasa-biasanya mereka pergi berdua membiarkan rumah kosong seperti ini, gumamku dalam hati.

Aku tidak boleh membuang-buang waktu, daripada penuh spekulasi seperti ini lebih baik aku berkeliling Semarang mencari Sore entah ke toko buku, atau ketempat yang biasa dikunjungi oleh Sore dan Mbak Nis. Waktuku sangatlah berharga, aku harus segera menemui Sore dan meminta maaf padanya.

Baru saja aku akan menyalakan Vespa, tiba-tiba aku teringat dengan Riyan, mungkin saja Sore berkunjung kerumah Riyan. Dengan cepat ku putar arah vespaku dan segera menuju kerumah Riyan.

Suasana Semarang kali ini jauh terasa berbeda, lebih dingin dari biasanya, lebih sepi, sepertinya semesta sedang ingin memberi pertanda.

Dirumah Riyan tak kutemui jejak Sore. Rumah itu juga kosong. Aku harus mencari jejak kemana lagi, apa Sore dan Riyan sedang pergi ya? Lalu bibi dan mamanya Riyan kemana? Kenapa rumahnya harus terkunci seperti ini.

Tak patah semangat, aku memilih untuk menunggu kedatangan Riyan, siapa tahu Riyan mempunyai informasi.

Terlarut dalam lamunanku tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara mobil semakin mendekat. Benar saja, itu adalah mobilnya riyan.

Senja Tanpa JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang