Metamorfosa 1

96 11 2
                                    


      Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan bagi Riyan. Ralat, bukan hanya bagi Riyan tapi bagi seluruh mahasiswa jurusan elektro karena berhasil menjuarai tournament basket se-fakultas teknik. Tentu saja ini adalah hal yang membanggakan karena ini adalah moment bersejarah kali pertamanya elektro menjuarai tournament basket ini. Aku ikut bahagia mengetahui itu semua. Riyan mempunyai peran yang besar dalam tim ini, tapi aku tidak sempat melihatnya memegang piala, bahkan bangun saja aku kesiangan. Aku benar-benar merasa tidak enakan karena tidak menonton pertandingannya dan malah mengetahui kabar juaranya dari sosial medianya Riyan, aku merasa malu dengan diriku sendiri.

Aku mencoba menelepon Riyan untuk mengucapkan congratulations, tapi tidak diangkat. Lalu kucoba untuk menyusulnya kerumahnya, siapa tau dia berada di rumah, jujur aku sangat ingin memberikan ucapan congratulations secara langsung, aku tidak ingin mengecewakannya dihari yang membanggakan bagi dirinya. Tapi saat aku tiba di rumahnya, dia malah tidak ada di rumah.

"Eh, Sam. Apa kabar? Udah lama nggak ketemu ya," sapa mama Riyan yang duduk diteras rumah.

"Siang, Tante. Alhamdulillah baik, Tante apa kabar? Riyannya ada Tante?" menyalami tangan mamanya Riyan.

"Kabar Tante selalu baik, kok. Riyan lagi keluar, Sam. Sudah kamu telepon dia?"

"Nggak diangkat, Tante. Mungkin dia lagi nggak megang HP."

"Yaudah, nanti kalau Riyan pulang Tante bilangin kamu nyariin dia."

"Iya, Tante."

Aku sedikit reunian dengan mamanya Riyan sebab sudah lama tidak bertemu, hampir 5 tahun sejak Riyan meninggalkan Bandung dulu. Mamanya bicara panjang lebar, tak hanya tentang kabarku, namun juga tentang pendapatku mengenai perbedaan Bandung dan Semarang, tak lupa Mamanya menanyakan tentang kabar orang tuaku meskipun Mamaku dan Mamanya Riyan masih sering telponan, mereka memang sahabat dekat sama seperti aku dan Riyan.

Setelah beberapa lama mengobrol asyik, Bibi datang dari dalam rumah dengan serbet dipundak kirinya sambil memegang sapu. "Eh Mas Sam, kok kesininya sendirian aja? Katanya mau bawa Mbak Sore kesini," mengangkat alis mengeluarkan mimik penuh tanya.

Mendengar apa yang Bibi ucapkan aku jadi teringat dengan Sore, sudah beberapa hari ini aku tidak mengunjunginya. Dia apa kabar ya, dia marah nggak ya karena aku nggak mengunjunginya, gumamku dalam hati. Lagipula bukan secara sengaja untuk tidak mengunjunginya, aku benar-benar sibuk dengan tugas kuliah dan jadwal kampusku.

"Mas Sam, kok diam? Bibi salah bicara ya?" mengerutkan dahinya karena begitu kebingungan.

"Hai, Bi. Iya maaf Sam lupa, lain kali Sam bawa Sore kesini ya, Bi," sapaku sambil menyalami tangan Bibi.

"Bi, Sore itu siapa?" tanya Mama Riyan kepada Bibi sambil menyeduh segelas the hangat yang keliatannya begitu nikmat.

"Pacarnya Mas Samudera," cetus bibi dengan begitu polos.

"Engg.. enggak kok Tante. Sore itu teman Sam," sanggahku dengan wajah kemerahan.

"Wah jangan malu-malu, ngakunya cinta tapi malu mengakui, ntar giliran pergi baru nangis. Anak zaman sekarang cintanya masih cinta monyet semua ya, zaman Tante dulu kalau cinta ya nggak ada malu-malu, langsung didatengin kerumah, minta restu kepada kedua orang tua, berani menumbuhkan cinta maka harus berani berjuang mati-matian jangan angin-anginan."

"Iiiyy.., iyaa tante," jawabku gugup.

"Yaudah Tante, Bi. Sam balik dulu ya, ada tugas kuliah yang harus diselesaikan."

Senja Tanpa JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang