Kenyataan

101 9 0
                                    


Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, aku begitu terlelap tidur hingga tidur berjam-jam seperti ini, bahkan sudah tidak sempat untuk mencuci kemeja milik papanya Sore.

Oh iya, Sore apa kabar ya, tadi pagi aku tidak sempat berpamitan langsung padanya, pasti dia begitu kesal padaku. Lebih baik aku mengajaknya keluar, sudah lama aku tidak mengajaknya keluar, diperjalanan tadi sepertinya aku melihat ada caffe baru, mungkin pilihan yang cukup tepat mengajaknya ke caffe, gumamku dalam hati.

Dengan cepat aku segera mandi, merapikan kamar kost yang sudah seminggu ini tidak ku rapikan, terlihat seperti kapal titanic karam saja, begitu berantakan, tapi sih bagi seorang lelaki kamar yang kurang rapi bukanlah suatu masalah yang besar. Aku tidak ingin membuang-buang waktu. Setelah semuanya selesai, aku langsung menuju rumahnya Sore.

**

"Eh Sore, mau kemana? Rapi banget. Padahal aku mau ngajak kamu keluar," ucapku yang begitu kebingungan melihat Sore berdiri didepan pagar rumah dengan pakaian yang begitu rapi, terlihat seperti sedang menunggu seseorang.

"Yaudah ayuk berangkat," jawabnya singkat bergegas menaiki Vespaku.

"Maksud kamu? Aku tidak mengerti," menoleh kearah Sore yang sekarang sudah di atas Vespa.

"Saya memang sedang menunggu kamu, Sam. Saya sudah mengetahui kalau hari ini kamu akan mengajak saya keluar," mengeluarkan senyuman lembut seperti biasanya.

Aku begitu terheran kenapa dia bisa tahu kalau aku akan mengajaknya keluar, padahal aku tidak mengatakan apapun kepadanya. Gadis ini memang selalu suka meramal seenaknya saja, kadang kala aku menjadi takut padanya jika aku sampai menyembunyikan sesuatu darinya pasti jadi ketahuan.

"Sore, aku mau tanya, kamu kenapa bisa menerka kalau aku akan datang dan mengajakmu keluar?"

"Bukan menerka, tapi semesta yang mengatakannya pada saya."

"Memangnya semesta bisa bicara?"

"Bisa, tapi bicaranya cuma sama saya, kalau sama kamu semesta tidak akan bicara."

"Kenapa?"

"Karena kamu jelek," menjulurkan lidahnya mengejekku.

"Jadi kalau seandainya aku tidak datang berarti kamu akan menyalahkan semesta karena memberikan informasi yang salah?"

"Tidak. Saya akan menyalahkan kamu," sahutnya singkat sambil menatapku tajam seperti biasanya.

"Sudah ah, Sam. Kamu tidak akan mengerti tentang semestaku, begitu rumit, tidak akan terbendung oleh kapasitas pikiranmu. Lagipula ini jadi pergi atau tidak? Keburu malam tau."

"Iya gadis keras kepala yang super bawel, ayo berangkat."

**
**
Aku dan sore duduk disebuah caffé, sedikit romantis banyak candanya, memesan Caramel Frappuccino dan Macchiato. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya pesanan kami pun datang. Tegukan pertama dari Macchiato ini benar-benar memanjakan lidahku, sangat nikmat. Aku yakin caffe baru ini nantinya akan ramai pengunjungnya.

"Sam, saya pengen bicara serius, ada banyak hal yang sudah saya rahasiakan selama ini, dan ini benar-benar serius."

Tanpa sebab tanpa akibat, tiba-tiba saja Sore mengeluarkan mimik wajah yang begitu serius. Aku begitu terkejut. Suasana yang awalnya begitu klasik dengan lantunan musik jazz yang menenangkan, menjadi mencekam begitu saja seperti music horor.

"Iya, tentang apa? Bicara aja, pasti aku dengerin kok," kembali ku teguk Macchiato yang begitu nikmat.

"Tentang semuanya, tapi kamu janji tidak akan membenci saya?" mata Sore berubah menjadi berkaca-kaca seperti menyimpan sebuah beban yang teramat besar.

Senja Tanpa JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang