Alby berjalan dalam keheningan, menyusuri lorong menuju ke lobby utama hotel, pusat dari semua acara ini berlangsung. Alby berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam lalu diembuskan secara kasar. Dia ingin bersikap tidak peduli, namun sialnya Alby tidak bisa. Tanpa diberikan aba-aba, matanya terpaku pada salah satu sudut dari lobby yang berdekat dengan pintu masuk area swimming pool, persis seperti yang tertangkap oleh kamera CCTV. Mengamati cara Diaz merangkul pinggang Elora dengan mesra, memandang Elora yang bersandar pada pundak Diaz lalu membelai dada Diaz dengan penuh kasih sayang. Rasa marah memburu dalam hati Alby, tanpa dia sadari kedua tangannya telah mengepal. Kalau dia tidak ingat tujuannya di gedung ini untuk apa, mungkin Alby akan memilih pergi daripada satu ruangan dengan dengan pasangan itu.
Alby menyandarkan tubuhnya pada pilar, melipat kedua tangan di depan dada, tanpa melepaskan pandangannya dari Diaz dan Elora.
"Kenapa lo selalu dapat yang gue mau, Mas?" geram Alby.
****
Pintu lift nyaris tertutup, tapi sebuah ujung sepatu dengan cepat menahan agar pintu lift tetap terbuka. Dengan keadaan cukup kacau, sang empunya kaki masuk. Alby nyaris mengeluarkan amarah, karena dia sangat
tidak suka menunggu tanpa alasan yang jelas. Namun saat si pelaku masuk, Alby mengurungkan niatnya untuk marah.Alby tertegun, matanya bergerak mengamati keadaan si pelaku dari ujung rambut, hingga ujung kaki, lalu menatap wajah si pelaku.
Dia wanita. Pakaian tergolong rapi, kemeja pastel dengan renda dibagian dada, rok pensil hitam di atas lutut, dan sepatu berhak lima sentimeter. Walaupun dari pakaian terlihat rapi, tidak dengan wajah dan rambutnya. Rambut hitam sepundaknya tergerai asal-asalan dan sedikit basah, dan wajah tanpa make up, mengakibatkan wajah owalnya terlihat pucat. Menyadari penampilan wajahnya tidak oke, dia menoleh ke sebelah kanan, memanfaatkan lift, dia merogoh sesuatu dari dalam tas, mengambil lipstick, lalu memoleskan lipstick berwarna pigmented peach di atas bibirnya. Merasa puas dengan wajah, dia mulai mengamati penampilan bajunya, baru lah dia sadar kalau sedari tadi Alby tengah mengamatinya. Dia meringis tidak enak hati, sekaligus malu karena ulah dirinya sendiri.
"Sori... sori... saya nggak sempat minta tolong dengan kata-kata buat menghentikan liftnya, saya terlalu panik. Jadi saya menggunakan kaki." Seulas senyum terukir, "Kamu telat juga?" Alby menahan napas saat mata cokelat si wanita menatapnya, jernih, terlihat penuh dengan ketulusan. Apalagi dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya, ya—wanita di depannya terbilang cantik. "Kamu karyawan baru? Penampilan kamu terlalu rapi untuk ukuran karyawan biasa, maksudku, dengan tambahan jas seperti ini. Penampilan kamu layaknya para bos besar." Wanita itu mengalihkan pandangannya ke arah nomor yang menyala pada sisi kanan lift. "Kamu bagian keuangan juga? Wah, kita satu divisi." Masih dengan keadaan riang, dia menjulurkan tangan kanannya ke arah Alby. "Elora Wildani, kamu..?"
Alby terdiam, masih tidak mampu mengeluarkan kalimat apapun. Untuk beberapa detik, Alby sadar dirinya telah terpesona pada senyum dan keramahan Elora.
Alby menyambut uluran tangan Elora, "Alby Bagaskara, nice to meet you."
Mata Elora melebar, seketika memperhatikan genggaman tangan mereka dan wajah Alby secara bergantian.
"Saya harap kita dapat bekerja sama," ucap Alby seramah mungkin. Kalimat Alby berbarengan dengan suara ting yang nyaring, dalam hitungan detik pintu lift terbuka.
Alby menarik mundur tangannya, berjalan melewati Elora yang mematung. Alby tersenyum, entah untuh apa. Entah geli melihat, karena reaksi Elora yang terlihat bagaikan orang bodoh, atau tersenyum puas karena bawahannya cukup ramah dan kemungkinan besar mudah untuk diajak bekerja sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
perfect illusion
Romancehanya sebatas ilusi.. Kata itu selalu dilontarkan Alby setiap kali Alby ditanyai tentang cinta, karena selama 27 hidupnya.. Dia selalu menginginkan wanita hanya sebatas angan, karena setiap kali hatinya jatuh pada satu wanita. Maka dengan sadis wani...