13

84.8K 13.1K 2K
                                    

Seharusnya Alby menghabiskan waktu lebih lama di Pulau Pantara, tapi belum genap dua hari. Putra menghubunginya, memberikan informasi yang memaksa Alby untuk segera berkemas dan membiarkan uang untuk paket tour hangus begitu saja.

Sepanjang perjalanan dengan boat dua jam, hingga dijemput oleh Putra. Alby lebih memilih diam, bagaikan orang bisu. Hanya memperhatikan jalanan yang dia lewati, sesekali menghitung berapa pohon yang tetanam di jalan ibu kota. Setiap kali Putra mengajak Alby bicara, Alby akan mejawab satu kata atau berupa suara gumam.

Saat mobil yang dikendarai Putra memasuki wilayah salah satu rumah sakit ternama di Jakarta, wajah Alby menegang, dia menelan salivanya secara kasar beberapa kali. Alby gelisah.

"Pak, mau saya temani ke atas atau..."

"Sendiri," jawab Alby sebelum Putra menyelesaikan pertanyaannya. "Kamu tunggu di lobby saja."

"Baik, Pak Alby." Mobil berhenti tepat di depan lobby rumah sakit, Alby turun. Dia tidak langsung masuk ke dalam sana, untuk beberapa saat Alby hanya menatap orang yang mondar mandir di depan sana.

Alby mengambil napas dalam-dalam lalu dihembuskannya secara perlahan, sejurus kemudian kaki panjangnya sudah melangkah menuju pintu masuk rumah sakit. Alby berjalan masuk ke dalam lift, awalnya berisi 6 orang lalu berkurang hingga tersisa dirinya dan Kania. Iya, sepanjang perjalanan dari Pulau Pantara hingga ke rumah sakit ini. Kania setia menemani keheningan Alby, seakan tahu, Alby butuh keheningan untuk meredakan monster di dalam otaknya.

Sebuah genggaman lembut terasa pada tangan kanan Alby, Alby menoleh mendapati Kania tersenyum padanya.

"Everything gonna be alright, Alby. Tenang.." Kania mengusap lengan kanan Alby dengan satu tangannya yang lain.

Alby tidak menjawab, matanya memandang nanar angka yang berubah dalam hitungan detik. Menunjukkan lantai mana saja yang berhasil di lewati lift ini dan entah kenapa Alby berharap lift berjalan lambat, karena ini terlalu cepat.

"Alby..."

"Hmmm.."

"Apa kamu nggak pernah merasa aneh? Dari sekian banyak anak pengusaha, kenapa aku yang dijodohkan dengan kamu?" Alby menoleh ke arah Kania untuk kedua kalinya,sekaligus mengangkat kedua bahunya bersamaan. "Kalau aku pikir, mungkin Tuhan tahu kita akan jadi pasangan yang sempurna. Saling mengisi, itu yang aku rasakan selama beberapa hari ini. Menurutmu, apa alasannya?" Kania masih bertahan dengan senyumnya, Alby sudah siap untuk menanggapi perkataan Kania. Tapi lift terbuka begitu saja, membuat Alby kembali terdiam.

Alby berjalan gagah seperti biasanya, beberapa suster kehilangan konsetrasinya dalam bekerja.

"Sepertinya hari ini Tuhan sedang berbaik hati membawa banyak pria tampan ke lantai ini," celetuk salah satu suster. Diamini dengan anggukan empat suster lainnya, mata kelimanya tidak lepas memperhatikan punggung kokoh Alby melenggang hingga menghilang di ujung lorong.

Kaki Alby berhenti di depan sebuah kamar ICU VIP, sepertinya penghuni kamar itu sedang kedatangan tamu. Tiga orang pria berdiri di depan kaca yang sengaja dipasang pihak rumah sakit sebagai akses untuk keluarga melihat keadaan pasien dari luar, Alby menghela napa sebelum akhirnya bergabung dengan tiga pria itu.

Menyadari kehadiran Alby tidak membuat tiga pria itu menoleh ke arah Alby, ketiganya sibuk memperhatikan adegan langka. Sepasang orang dewasa tengah menangis terisak-isak di dalam sana, yang wanita menyandarkan kepalanya pada pundak si pasien, terlihat membisikkan sesuatu. Yang pria, terlihat berdiri dengan wajah pias seraya menggenggam tangan kiri pasien.

"Dokter Imran, mengatakan pihak keluarga harus siap dengan kemungkina terburuk. Karena kondisi Kania tidak ada peningkatan, cenderung menurun. Reaksi otaknya..." Pria dengan sneli mengambil jeda dan mengalihkan pandangannya pada Alby, seakan ingin memastikan reaksi Alby. "Om Ryan ingin membawa Kania pengobatan ke Jerman."

perfect illusionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang