Aya masih memandang Alby dengan tatapan curiga, sudut bibirnya mulai berkedut, bersiap untuk meledakkan tawa mengejek seperti sebelumnya.
"Membahagiakan?" Aya mengucapkan kembali kata yang mengadung makna kepedulian Alby pada Kania, seraya menggeleng tidak percaya. "Membahagiakan seperti apa, Pak Alby? Kamu yang selama ini menjadi momok berbahaya bagi Kania selain orang tua-nya. Kalian bagaikan penyakit mematikan yang bercokol di dalam diri Kania." Aya merubah tatapan curiga menjadi tatapan jijik. "Pergi-lah, Pak. Kamu membuang waktu kita berdua, saya tidak akan mengatak—"
"Kania bersama saya," sela Alby secara singkat jelas dan padat. Alby tahu Aya tidak percaya, dia pun masih tidak percaya kenapa Kania memilih untuk berada di sekitarnya daripada di sekitar Aya – sahabatnya.
Aya membuka matanya lebar, terlihat terkejut dengan kalimat yang pria itu ucapkan.
"Jangan mengada-ada, Alby. Kania tidak mungkin bersamamu, karena dia..." Bibir Aya bergetar kecil, Aya panik dan seketika Alby mengetahui jika Aya menyembunyikan sesuatu darinya. "Maksud saya, dia marah denganmu malam itu. Jadi tidak mungkin dia bersama denganmu." Aya meraih gelas dan meminum seluruh isinya hingga tandas, mencoba untuk tenang namun gagal. Aya benar-benar panik.
Alby menelan salivanya, memajukan tubuh kekarnyanya hingga menyentuh tepi meja kerja Aya. Alby bersiap untuk mengeluarkan pertanyaan namun tertahan oleh suara dering iPhone miliknya, Alby mengambil iPhone dari saku kemeja.
Putra calling..
Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, Alby mengangkat telepon itu. Sejak kemarin pagi, telepon Putra terasa begitu menyenangkan untuk Alby.
"Hallo, Putra. Bagaiamana?" Putra mulai menyampaikan informasi yang berhasil dia dapatkan. Selama mendengarkan penjelasan Putra, pandangan Alby tidak pernah lepas dari Aya. Memperhatikan setiap gerak-gerik Aya, membuat wanita di depannya itu terlihat tidak nyaman. "Oke."
Alby meletakkan iPhone di atas meja kerja Aya, tersenyum tipis penuh arti.
"Saya hanya butuh informasi tentang hubungan Kania dan orang tuanya yang sebenarnya, Naraya. Saya hanya ingin masalah ini segera selesai, bisa kita bekerjasama? Saya yakin kamu ingin membantu dia seperti biasanya, tapi sayangnya kamu tidak bisa. Dan hanya saya yang bisa." Alby sengaja memberikan penekanan saat mengucapkan kalimat, hanya saya yang bisa.
Aya menghela napas kasar, melepaskan kacamata dari wajahnya. Dia tidak langsung mengatakan yang ingin Alby dengar, wanita itu sengaja mengulur waktu dengan memijat tulang hidungnya. Mungkin menunggu Alby kehilangan kesabaran lalu menyerah, namun Aya harus menelan harapannya itu secara bulat-bulat. Karena Alby masih bertahan, dengan sorot mata yang sama. Menuntut.
"Kasih saya satu bukti, kalau memang Kania bersama denganmu."
"Tidak ada." Tangan kanan Alby mengangkat ke atas, mencegah Aya mengeluarkan kalimat cercaan. "Sudah cukup saya bersikap seperti orang gila selama satu hari penuh, saya hanya ingin Kania menyelesaikan yang harus dia selesaikan lalu pergi. Saya tahu apa yang kamu sebunyikan, dari semua orang termasuk orang tua Kania."
"Mereka bukan orang tua Kania," sanggah Aya dengan cepat. Alby terdiam, menunggu lanjutan dari kalimat Aya. "Kania diadopsi sejak umur satu hari, dia lahir bersamaan dengan anak kandung Pak Ryan dan Ibu Yohana. Tuhan membuat skenario lucu tentang orang tua yang kehilangan bayi dan bayi kehilangan orang tuanya, Pak Ryan tidak mau Ibu Yohana stress, dia nekat mengambil Kania tanpa diketahui orang lain termasuk Ibu Yohana. Semuanya aman, Kania hidup menyandang nama belakang Atmadja. Tapi, banyak perbedaan antara Kania dan Kian. Dari segi IQ, fisik. Hingga ada satu kecelakaan yang membuat rahasia besar ini terbongkar, Kania kehabisan banyak darah. Dan betapa terkejutnya Ibu Yohana, saat mendapati golongan darah Kania AB negatif. Berbeda dengan dirinya dan Kian yang bergolongan darah O, serta Pak Ryan yang bergolongan darah A." Aya memperhatikan reaksi wajah Alby, tidak ada yang berubah dari Alby. Terlihat tenang, tidak memunculkan reaksi berlebihan. "Sejak kejadian itu, keadaan Kania di rumah Atmadja berubah total. Jika dulu hanya Pak Ryan yang membandingkan dia dengan Kian, kini Ibu Yohana ikut bergabung. Kedua orang itu kompak menjadikan Kania serupa dengan Kian, mereka tidak mau ada orang lain yang melihat cela untuk membuka rahasia tentang Kania." Aya meletakkan tangannya di atas meja kerja, mencoba mengingat apa saja yang dia ketahui tentang Kania. "Tekanan semakin Kania rasakan sejak Kian pergi karena patah hati, Pak Ryan dan Ibu Yohana mulai mendikte setiap aspek kehidupan Kania. Mulai dari cara berpakaian, siapa saja teman dekat Kania, kegiatan apa yang harus dilakukan oleh Kania, Kania pergi ke mana saja, hingga siapa pria yang boleh bersama dengan dia. Pak Ryan dan Ibu Yohana, berusaha menjadikan Kania sama dengan Kiandra.. Kania kehilangan arti dari kata keluarga, jika seorang anak menganggap rumah megah Kania sebagai istana. Bagi Kania, rumah itu neraka. Kania dipaksa untuk menjadi orang lain." Mata Aya memerah, rasanya sakit memaksa otaknya untuk mengingat ekspresi hancur Kania menceritakan semua rahasia yang belum pernah Kania bagi kepada siapapun. "Kania merasa kebahagian bukan miliknya lagi, tapi sejak dia berhadapan denganmu. Saat pertemuan perjodohan itu, Kania merasa dia mendapatkan sedikit kesempatan untuk bahagia. Selama satu tahun dia merasa, kamu adalah jawaban dari setiap doanya. Orang yang dikirim Tuhan untuk membuatnya bahagia, ditambah dengan sikap manismu selama satu tahun kemarin. Kania merasa kamu begitu tulus, Kania..." Aya menghapus air mata yang luruh membasahi pipinya, "Kania mempercayai kamu. Tapi, ternyata kamu sama palsunya dengan Pak Ryan dan Ibu Yohana. Kania hancur berkeping-keping dan kamu tidak tahu itu."
Aya menyadarkan tubuhnya, memainkan bolpoin dengan cara ditabrakan pada sisi meja.
"Apa kamu keinginanmu untuk membahagiakan Kania semakin kuat?" Aya memberi jeda pada kalimatnya. Dia terlalu lama kenal dengan Kania, dia tahu sosok asli Kania. "Kania tidak sekuat yang kamu pikir, dia rapuh, dan malam itu akhir dari kekuatannya. Kania merasa lelah. Apa kamu mau tahu kisah yang terjadi setelah dia keluar dari hotel-mu?" Alby tidak menjawab, hanya membiarkan matanya terus menatap Aya. "Malam itu Kania berdiri di rel kereta api—"
Alby berdiri secara tiba-tiba, membuat Aya kembali tersentak kaget. Alby membuat gerakan mengunci kancing jasnya, keluar dari wilayah meja kerja Aya. Tanpa ucapan terima kasih atau hal basa basi lainnya, Alby berjalan menuju pintu keluar.
"Alby Bagaskara, kalau memang Kania ada bersama denganmu. Kenapa kamu tidak mengusir dia dan memintanya datang kepadaku? Atau biarkan dia tetap seperti ini, karena sejak awal ini pilihan dia. Kereta tidak berhasil menghancurkan tubunya, hanya menghancurkan tas yang dia bawa. Tapi Kania—" Alby keluar dari ruangan Aya begitu saja. Raut wajah pria itu berubah drastis, dari tenang menuju marah.
Alby marah, dia membuka dasi dari lehernya dengan kasar. Bahkan dia sengaja tidak menggunakan lift, memilih untuk turun dari lantai 5 menggunakan kakinya alias tangga darurat. Alby butuh untuk menyalurkan seluruh emosi dalam dirinya yang dia tahan sejak Aya mengungkapkan sisi lain dari kehidupan Kania, Alby memukul besi tangga darurat secara bertubi-tubi. Setelah puas memukul besi hingga buku-buku tangannya memerah, Alby melanjutkan niatnya keluar dari gedung kantor ini. Sepanjang perjalanan Alby berusaha mengembalikan kewarasannya, berusaha menipis banyak rasa aneh dalam dirinya. Otak Alby mulai memutar kalimat, 'ini hanya rasa simpatik, bukan yang lain.' Dan, 'ini hanya kasihan atas kondisi wanita itu, tidak lebih.' Alby terus meyakinkan dirinya sendiri, jika semua alasan mengapa dia marah tidak menyinggung masalah hati.
*****
Alby kembali ke apartemennya, mengurunkan niatnya untuk bekerja. Datang ke gedung Mega Tarinka, sama saja dengan menawarkan diri untuk diwawancari secara sukarela oleh sang Kakak. Datang ke hotel, Alby tidak yakin bisa berkonsetrasi duduk di meja kerja. Jadi di sinilah dia. Berdiri di depan pintu apartemennya selama 15 menit, tidak masuk tapi juga tidak kembali pergi meninggalkan apartemen ini. Hanya diam, berdiri dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana dan mata menatap pintu.
Alby mengambil napas dalam lalu mengembuskannya secara perlahan.
Alby menghintung 1, 2, 3, dalam hati, lalu membuka pintu apartemen secara perlahan.
Pemandangan Kania duduk di sofa ruang tamu segera menyambut Alby, ada desiran aneh kembali merasuk ke dalam dada Alby terutama saat mendapati sorot mata Kania begitu sedih dan kesakitan. Alby masuk ke dalam apartemen, setelah yakin dia berhasil menutup pintu dengan rapat. Alby segera mengambil posisi duduk di sofa, bersama dengan Kania.
"Kenapa?" Suara Kania mengalun lembut memasuki indra pendengaran Alby.
Alby menoleh ke arah Kania, wanita itu tidak membalas tatapannya. Arah pandangan Kania terus terarah pada layar hitam telivisi LED, mau tidak mau Alby ikut melihat ke layar itu.
"Sudah aku bilang jangan berpikir terlalu berat, jalani saja," jawab Alby mencoba untuk tetap tenang.
"Tapi, aku—" Alby meraih tangan Kania, membuat Kania tersentak kaget namun tidak mencoba untuk meloloskan diri. Kania menatap tangan dan mata Alby secara bergantian.
"Ayo, pergi. Aku sudah mengambil cuti untuk tujuh hari kedepan, aku bisa menemanimu ke mana pun kamu mau." Alby mencoba tersenyum walaupun berakhir dengan kaku, "Dulu kamu sering merengek untuk pergi ke SeaWorld dan tempat wisata lainnya, aku rasa kita bisa melakukan itu sekarang. Setuju?"
Tidak ada tanda-tanda Kania semangat mendengar tempat itu, "Jangan." Kania meloloskan tangannya dari genggaman tangan Alby. "Aku tidak mau orang-orang memandangmu dengan aneh, seperti Ibu yang kita temui waktu itu dan juga Putra."
Alby meraih ujung dagu Kania, memaksa Kania untuk mau melihat ke arahnya. "Jika itu bisa membuatmu merasakan kebahagian, aku rela melakukannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
perfect illusion
Romancehanya sebatas ilusi.. Kata itu selalu dilontarkan Alby setiap kali Alby ditanyai tentang cinta, karena selama 27 hidupnya.. Dia selalu menginginkan wanita hanya sebatas angan, karena setiap kali hatinya jatuh pada satu wanita. Maka dengan sadis wani...