"Tahu begitu, aku pesan sashimi lebih banyak tadi," Gintoki menggantung yukata-nya di dinding sambil menguap. "Aku kenyang sekali."
"Untuk apa kamu pesan sashimi kalau sudah merasa kenyang?" Tsuki menggelar futon untuk tidur. "Ini masih 22.00, kamu sudah mengantuk?"
"Aku tidak melakukan apa-apa hari ini. Makanya aku mengantuk," Gintoki kembali menguap dan melepas bajunya. Kini, Gintoki hanya mengenakan celana panjang saja.
"Sini bajumu," pinta Tsuki. Gintoki pun melemparkan atasannya pada Tsuki.
"Honey," Gintoki mengambil kiseru dari yukata-nya. "Menurutmu, bagaimana hubungan Toshi dengan Mitsuba?"
Tsuki meletakkan bantal di atas futon dan mengeluarkan kiseru dari saku kimono-nya. "Aku pikir, mereka akan menikah tahun ini."
Gintoki menyeringai sambil berjalan ke arah jendela. "Puji Leviathan dan Hasegawa-san. Aku juga berpikir begitu."
"Toshi butuh dorongan. Dan aku pikir, hanya kamu yang bisa melakukannya," kata Tsuki sambil duduk meluruskan kedua kakinya dan bersandar pada dinding. "Kalian sudah membicarakannya di restoran tadi, bukan?"
"Gintoki kembali menyeringai seraya duduk di samping jendela. "Kamu memang paling tahu."
Gintoki menatap langit yang berawan. Tangan kirinya bersandar pada jendela seraya menopang kepalanya.
"Toshi itu lemah pada wanita. Dan masalah kami sama," Gintoki mengisap kiseru-nya. "Kami adalah samurai."
Tsuki tidak menjawab. Dia hanya memandangi Gintoki yang wajahnya terlihat mengantuk. Pandangan Tsuki beralih pada tubuh Gintoki yang penuh luka.
"Aku tahu kamu tidak akan suka kalau aku membicarakan hal ini. Tapi, banyak orang yang mati di tangan kami. Bedanya, aku beruntung menikahi wanita paruh baya sepertimu yang tidak banyak mau," kata Gintoki.
Tangannya mendadak bergerak seperti menangkap sesuatu. Gintoki melempar kunai kecil ke sampingnya. "Aku lihat itu."
Gintoki mendengus, masih menatap langit yang berawan. "Beruntungnya, kamu sama sepertiku. Kita hidup bersimbah darah, dan kita sama-sama pernah merasakan seperti apa rasanya berada dekat dengan kematian. Sangat kamu ditahan oleh Jiraia, aku sangat sakit hati mendengar semua ucapannya tentangmu. Aku merasa, masa lalu kita sama, dan aku menyayangkan masa lalumu yang sama sepertiku."
"Paling tidak, kamu sudah tahu rasanya berada di medan perang dan bertempur untuk orang-orang yang kau cintai. Aku pernah terluka, dan tubuhmu sama sepertiku, penuh luka. Tapi, melihatmu tanpa sehelai benang tetap membuatku bergairah untuk melakukan hubungan suami-istri semalam suntuk."
Gintoki lagi-lagi menangkap kunai keci. Ia pun melempar barang itu ke sampingnya.
"Dengan latar belakang yang sama, aku dan kamu sama-sama saling memiliki. Kita saling memahami kehidupan dan perasaan satu sama lain. Dan aku berjanji pada diriku sendiri untuk melindungimu dari ketakutan yang mungkin akan terjadi. Kamu pun melakukan hal yang sama padaku."
Gintoki mengisap kiseru-nya dan menyemburkan asapnya dengan perlahan. "Tapi, Mitsuba... Dia tidak sepertimu. Dia hanyalah wanita baik-baik yang selalu berada di rumah, melakukan pekerjaan rumah, dan menikmati serial drama di televisi. Dia memang pernah belajar untuk menjadi samurai. Toh, Mitsuba dan Toshi berasal dari dojo yang sama. Tapi, dia berhenti melakukannya karena Sougo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Life After War
FanfictionUsai perang, kehidupan para pahlawan yang telah memberikan Edo kehidupan punya jalan mereka masing-masing. Hijikata dan Sougo, misalnya, yang akan menikahi orang yang mereka cintai.