Ketetapan Hati

3.8K 160 0
                                    

Radip duduk dihalaman belakang, ia menatap langit-langit. Beberapa kali menarik nafas dalam dan menghembuskannya. Fikirannya dipenuhi oleh seorang gadis yang telah membuatnya jatuh hati. Setiap perkataan yang dikatakan oleh gadis itu masih terngiang di kepala Radip.

Melihat sang putra dengan wajah tampak gelisah, laki-laki yang sudah kepala lima itu datang menghampiri. "Kamu ngapain, Dip?" tanya Papa Ega yang membuat pemilik nama tersebut mendongak.

"Eh, Pa." ucap Radip tersenyum. "Udah pulang Pa?"

Papa Ega tersenyum kemudian duduk di sebelah Radip. "Kamu kenapa wajah nya gelisah gitu?"

"Gak ada apa-apa kok Pa." jawab Radip meyakinkan.

"Dokter kok ya dibohongi, Papa bisa baca ekspresi kamu. Cerita sama Papa."

Radip menghela nafas. "Soal perempuan?" tanya Papa Ega yang mendapat anggukan dari anaknya tersebut.

Papa Ega memegang pundak Radip sambil tersenyum. "Anak Papa sudah mengenal cinta rupanya. Jadi, siapa gadis itu?"

Radip tersenyum menatap Papanya. Kemudian tatapannya beralih lurus ke depan. "Radip yakin ia sosok yang seperti Mama. Radip jatuh hati padanya saat pertama kali bertemu. Dia lucu, smart, humble dan baik hati. Dan Radip merasa tidak asing dengan dia."

Papa Ega tersenyum mendengar penuturan Radip. Ia pun menatap lurus ke depan seperti anak nya. "Kamu sama Papa gak ada beda nya kalau jatuh hati sama perempuan. Sekarang apa yang buat kamu gelisah? Dia nolak kamu?"

Radip menggeleng "Radip gak ngerti Pa. Tetapi, dia bilang bahwa jika Radip mencintai nya harusnya Radip tahu apa yang harus dilakukan sebagai laki-laki muslim."

Papa Ega menganggukkan kepala nya. "Bukan perempuan biasa." Radip menoleh ke arah Papa Ega "Maksudnya Pa?"

"Ia ingin cinta yang tulus karena Allah dan berada dalam ikatan suci yang halal? Benar begitu?"

"Iya, Pa. Radip juga berfikir demikian."

"Lalu masalahnya dimana? Karena kamu yang belum siap atau dia yang belum siap?" tanya Papa Ega.

"Dia belum siap, Pa. Tapi, sejujurnya Radip pun masih belum siap."

Papa Ega tersenyum. "Radip...Radip. kalau gitu kamu harus puasa. Perbanyak do'a dan ibadah, minta diyakinkan sama Allah. Kalau kamu serius dengan gadis itu, jangan memaksa nya. Biarkan kamu menunggu sampai dia siap, begitupun kamu."

"Iya Pa. Tapi, Radip sangat ingin tahu isi hati dia sama Radip."

"Dip, dengarkan Papa...." Papa Ega menatap anaknya. "Kalau kamu mencintai seorang gadis dengan tulus kamu tidak akan mengharapkan balasan. Biarkan gadis itu merasakan ketulusan cintamu. Kamu paham kan? Karena yang ia butuhkan adalah ketulusan dan pembuktian."

Radip masih mencerna setiap kalimat Papa nya. "Ya sudah, Papa tinggal ke dalam ya." Papa Ega menepuk pundak anaknya itu sebelum bangkit dari duduknya.

Radip terdiam kembali setelah Papa nya masuk ke dalam rumah. Mungkin benar apa yang telah diucapkan Papa nya itu.

***

Langit mulai berubah, tak lagi biru mengawan atau pun memerah senja. Kini langit telah berubah menjadi gelap. Rintik hujan membasahi bumi yang dipijak. Noe sibuk dengan buku-buku yang masih ditangan nya. Ia belum sempat memasukkan nya ke dalam tas. Jam di tangan lentik nya menunjukkan pukul 18.00 WIB sore. Suara telepon berdering, saat melihat nama yang tertera dilayar Noe menghembuskan nafas.

"Hallo, asalamu'alaikum. Iya Yah?"

Noe sudah terbiasa dengan kekhawatiran ayah nya yang begitu berlebihan.

"Iya Yah, Ezel bisa pulang sendiri kok. Bentar lagi juga hujan nya reda. Ayah gak usah khawatir, Ezel ngerti Ayah gak bisa jemput. Lagian Ezel kan bawa motor."

Noe memang dipanggil "Ezel" di keluarga, tetapi berbeda jika di sekolah ia dipanggil Noe oleh teman-teman nya. Ayah Noe tak bisa menjemput karena memang masih di luar kota. Noe duduk di bangku depan tempat les Cendikia. Noe jadi jauh lebih sibuk dan sering mengikuti les di sekolah maupun diluar karena sudah berada di tingkat akhir. Hanya menghitung hari Noe akan menghadapi Ujian Nasional.

"Dip, duduk sana yuk. Pegel gue berdiri terus." Ardi mengajak Radip menuju bangku panjang yang sedari tadi Noe sudah duduk disana.

"Ada yang duduk disana. Udah lah berdiri aja."

"Yaelah, Dip. Itu bangku panjang kali kita masih bisa duduk. Ayok, ah." Ardi menarik Radip. Ardi duduk di ujung bangku, agak berjauhan dengan Noe. Sementara Radip masih berdiri.

"Lo nggak duduk?"

"Enggak." Radip memalingkan wajah nya, ia menatap langit. Hujan nya masih belum reda. Radip sesekali menengok ke arah Noe. Gadis itu memakai headset sambil membaca buku. Wajah nya tak begitu kelihatan oleh Radip karena menunduk dan cahaya yang temaram.

Saat hujan reda Noe segera memakai masker dan berlari ke arah motor nya. Ia ingin segera pulang, takut hujan akan deras kembali. Noe tidak sadar bahwa ada yang memperhatikan nya sejak tadi. Radip masih belum begitu jelas melihat wajah Noe. Entah mengapa Radip begitu penasaran.

Tak lama sebuah mobil berhenti di depan bangunan yang bernama Cendikia tersebut.

"Lu mau bareng gua gak Di?"

"Udah di jemput?"

"Udah tuh."

Ardi melihat ke arah tatapan Radip "Ya udah lo duluan aja, soalnya Papa gue udah bilang mau jemput."

"Kalau gitu gue duluan ya."

"Iya."

Radip menghampiri mobil nya dan masuk ke dalam mobil tersebut. Sebelum mobil itu melaju Radip melambaikan tangannya pada Ardi yang dibalas dengan lambaian dan senyuman.

"Bukan Papa yang jemput Radip Pak?" tanya Radip pada supir yang sudah mengabdi selama 10 tahun di keluarganya.

"Tadi Papa nya den Radip memang mau menjemput tapi tiba-tiba dapat panggilan operasi. Jadi Tuan balik lagi ke rumah sakit."

"Oh gitu. Mama udah pulang?"

"Udah den."

Sebenarnya Radip tak begitu berminat untuk masuk kuliah kedokteran meskipun ia cerdas. Ia memang terkenal nakal dan selalu tidur di kelas tapi kemampuan dan kecerdasan nya patut diakui. Ia tak mau masuk kedokteran karena pasti akan menyita waktu seperti Papa nya. Radip lebih sering bertemu Papa nya di meja makan saat sarapan atau sesekali bercerita di taman rumah yang menjadi tempat favourite Papanya. Papa nya selalu lebih banyak menghabiskan waktu di Rumah Sakit karena seringkali mendapat operasi. Belum lagi Papa Ega adalah pemimpin sekaligus pemilik rumah sakit Morula dan Rumah Sakit Blastula. Meskipun begitu Papa Ega memang selalu meluangkan waktu sebisa nya untuk keluarga. Radip tak pernah melihat Papa dan Mama nya bertengkar justru lebih sering melihat kemesraan kedua orang tua nya itu.

Terkadang Radip heran dengan kesabaran sang Mama yang begitu memahami profesi Papa nya. Itu lah mengapa Radip tak pernah dekat dengan seorang perempuan apalagi mengajak berpacaran. Karena ia hanya akan memilih seorang perempuan seperti sang Mama yang kelak ia akan mengikuti jejak Papa Ega dan meneruskan Rumah Sakit yang telah dibangun Papa nya itu.

We Marry (?) Mr.Doctor [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang