Hectic

3.7K 190 4
                                    



Suasana IGD Obgyn mendadak ramai pasien. Noe hampir kewalahan menangani setiap pasien yang datang, begitu pun dengan para resident yang lain.

"Riskyyy......cepetan oksigen, ini pasien darurat. Pada kemana sih!" dokter Jemmy berteriak memanggil dokter Risky.

"Iya dok." dokter Risky yang sempat terpaku pada status pasien kini beralih untuk memasang oksigen.

"Vivi mana Vivi, hey..! ini pada kemana? itu coba di kamar bersalin siapa yang nanganin. Ngaco kalian semua." ucap dokter Jemmy dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan. Keramahannya luntur jika sudah dalam keadaan seperti ini. "Itu pasien datang lagi dengan PEB." ucapnya kemudian saat seorang pasien baru masuk IGD yang dibawa oleh salah seorang perawat.

Dalam keadaan genting seperti ini dokter Jemmy berubah menjadi sangat galak. Siapa pun yang ada di tempat pasti terkena amarahnya. Noe sementara menangani pasien PEB bersama dokter Adli.

"Hei..ini mana? Gak ada apa yang di kamar bersalin? Noe cepet bantu saya." pinta dokter Ani. Noe berlari menuju ruang bersalin setelah menangani pasien darurat PEB.

"Adli, kamu juga ikut ke dalam." tegas dokter Ani.

"Aduh Noe, kamu bisa gak sih? Cepetan. Lama banget."

"Maaf dok, iya dok."

Setiap kali jadwal dokter jaga adalah dokter Ani, Noe selalu terkena imbas dari amarah beliau. Seberusaha apa pun Noe mencoba yang terbaik pasti selalu dikomentari dan dimarahi.

"Saya minta lidokain."

"Iya dok."

Tangan Noe bergetar saat hendak mematahkan ampul lido. Rasa trauma itu hadir kembali. Dalam kepala nya terlintas kenangan buruk yang pernah dialami.

"Cepetan?! bisa gak sih?"

"Iya dok, sebentar dok." Noe sudah keringat dingin, wajahnya mendadak pucat.

Dokter Adli melirik Noe. Ia hendak membantu Noe namun lagi-lagi dokter Ani memanggilnya.

"Adli, sana panggil dokter Jemmy. Cepetan, ini darah nya banyak."

"Iya dok."

"Mana Noe? Belum juga? Bisa gak sih? Matahin ampul aja gak bisa, gimana sih. Keluar kamu."

Hati Noe terasa sesak. Sangat, sangat sesak. Noe memang selalu menghindar dari tindakan mematahkan ampul itu. Biasa nya selalu Kak Risty yang membantu nya. Tapi kali ini, tak ada yang bisa membantu nya.

Noe keluar ruangan dengan air mata yang sudah menetes. Ia berpapasan dengan dokter Adli. Ia berusaha menunduk agar tak terlihat oleh dokter Adli.

Setelah selesai tindakan di dalam ruang bersalin, dokter Adli menghampiri Noe. Gadis itu sedang membereskan alat-alat medis kebidanan.

"Dokter Ani memang selalu begitu. Gak usah di ambil hati." sontak Noe menoleh dan mendapati dokter Adli yang berada di belakangnya.

"Iya dok, Noe ngerti kok." ucapnya tersenyum.

"Kalau saya boleh tahu kamu ada trauma dengan ampul?" dokter Adli mengelap tangan nya dengan handuk pribadi setelah mencuci tangan. Noe hanya diam.

"Maaf kalau saya penasaran. Tapi kalau kamu ada trauma, kamu harus lawan rasa trauma itu. Saya ada kenalan ahli psikologi untuk mengatasi rasa trauma kamu. Dulu saya juga punya trauma dengan jarum tapi sekarang sudah tidak lagi." ucap nya tersenyum.

"Terima kasih dok, mungkin lain kali saya menerima tawaran dokter."

Dokter Adli tersenyum. "Dalam mindsetmu, kamu harus tanamkan rasa yakin dan bisa. Saya yakin kamu bisa melawan nya."

"Saya sudah sering mencoba cara demikian namun hasilnya nihil, dok."

"Kamu hanya perlu terus mencoba. Percaya lah, semua hanya soal mindset dan waktu." ucapan dokter Adli benar-benar membuat Noe menghangat.

"Iya terima kasih dok." ucap Noe seraya tersenyum.

"Hmmm, mau makan bareng? Saya traktir. Ini jam istirahat." ucap dokter Adli sambil melirik jam di tangannya.

"Eh? Gak usah dok."

"Gapapa. Biasa nya kalau cewek lagi sedih harus makan yang banyak." dokter Adli terkekeh.

"Gak semua kali dok." Noe pun ikut terkekeh.

"Ya udah, ke kantin?" ucap dokter Adli.

"Sekarang?" tanya Noe bingung.

"Tahun depan, Noe."

"Ih si dokter Adli mah."

Mereka pun tertawa. Noe dan dokter Adli berjalan berdampingan menuju kantin sambil meengobrol.

"Noe usia nya berapa sekarang?"

"21 tahun dok."

"Masih muda ya."

"Alhamdulillah kalau masih dibilang muda." Noe terkekeh.

"Iya serius saya, dibanding saya sudah hampir kepala tiga." dokter Adli tertawa yang kemudian disusul oleh Noe. "Ada niatan untuk lanjut kuliah?"

"Ada dok. Udah tes kemarin tinggal menunggu hasil nya saja."

"Lulusan apa sih? D3 ya?"

"Iya dok D3."

"Hmmm gitu. Kapan niat nikah?"

"Eh? Aduh kayaknya 4 tahun lagi mungkin dok. Hehehe."

"Kenapa?"

"Belum siap aja dok. Kalau dokter sekarang anak nya udah berapa?"

"Anak?" dokter Adli kemudian tertawa.

"Iya, dokter udah nikah kan?"

"Kata siapa?"

"Ya gaktau sih dok, denger-denger aja."

"Emang muka saya kayak bapak-bapak anak satu ya? nikah aja belum gimana mau punya anak. Siapa memang nya yang berani gosipin saya begitu? Pantas saja saya gak laku-laku ya." dokter Adli tertawa kemudian.

"Oh, maaf dok." ucap Noe jadi merasa bersalah. "Bohong aja si dokter pakai acara gak laku-laku. Usia memang sudah berapa dok?"

"Belum nemu calon nya. Usia udah mateng lah 28 tahun. Kalau kamu mau jadi istri saya, dini hari ini juga langsung saya ajak ke KUA." dokter Adli terkekeh.

"Ih si dokter bercanda an mulu." ucap Noe seraya terkekeh.

"Loh, saya serius ini."

"Bodo ah dok, males ngeladenin canda-an dokter." Noe mempercepat langkah nya. dokter Adli masih tertawa di belakang Noe. Tak sengaja Noe melihat Radip yang sepertinya baru datang, pria itu sedikit berjalan cepat di sebuah lorong yang berbeda dengan Noe.

.

.

.

Aku menyukai cara mu tersenyum

Aku menyukai cara mu bicara

Aku menyukai suara dan langkah mu

Setiap kali kita berpapasan aku ingin tersenyum

Namun aku takut menatap mata mu

Aku hanya mampu menunduk dan terus berjalan dihadapanmu

Aku menyukai cara mu memakai jas putih

Aku menyukai cara mu menopang tas punggung

Aku menyukai tubuh tinggi mu

Aku menyukai punggung kokoh mu

Aku menyukai caramu menunjukkan pada dunia

Aku menyukai setiap pagi mu

Aku menyukai kerah kemeja mu dalam balutan jas snelli

We Marry (?) Mr.Doctor [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang