19 • Bahagia atau Kecewa

99 4 0
                                    

                "Loh kenapa bisa barengan seperti ini sih?!"

Suara seorang pria yang terdengar melengking di ruang keluarga. Pria itu terlihat menggeram dan kaget setelah mendengar pernyataan dari putri sulungnya itu. Alhasil putri bungsunya yang sedang mengerjakan tugas biologi di kamar itu pun terusik. Kalya ikut menggeram, meletakkan pensilnya lalu menoleh ke pintu kamar dan menatapnya lekat-lekat.

Gadis beranjak dari tempat duduknya mendekati pintu kamar. Kebetulan kamar Kalya bersebelahan dengan ruang keluarga. Rasanya Kalya ingin keluar dan meneriaki Irha untuk berhenti berbicara keras. Namun karena beliau adalah Papanya dan dia juga masih punya sopan santun jadi dia urungkan. Kalya mengintip dari pintu kamarnya secara diam-diam. Gadis itu memang selalu bertingkah aneh, ini adalah rumahnya sendiri. Tapi kenapa dia harus bertingkah seperti maling.

Di ruang tamu terlihat, Irha sedang berdiri sambil membaca kertas yang dibalut stopmap. Sedangkan Dina dan Rika duduk di sofa. "Apa jadwal kamu ke Jakarta bisa diundur Rika?"

Irha masih membaca lagi isi surat dalam stopmap itu. "Tidak bisa Pa, Rika sudah dijadwalkan untuk ke Jakarta pada tanggal itu."

Pria itu menghela napas berat. "Bagaimana ini, acara pernikahan temen Papa juga tanggal itu. Sedangkan dia adalah teman dekat Mama dan Papa."

"Kalo kita titipkan Kalya sama Om Muklis saja gimana Pa?" tanya Rika hati-hati, menitipkan Kalya pada tetangganya itu.

"Anak itu pembuat ulah, Papa tidak enak hati dengan Muklis. Bisa-bisa dia overdosis karena kebanyakan minum obat pusing setelah mengurus Kalya."

"Papa kok jahat ya." Di balik pintu sana, Kalya merengut sambil memegang dadanya semakin mendramatisir suasana.

"Kita ajak dia ke Jogja ada gimana Pa? Kalya juga sudah lama ngga diajak ke Jogja." Dina memberi usul, dan tampaknya Irha mengangguk setuju.

"Eh gila apa? Gue ke Jogja sama Mama Papa nanti bukannya liburan malah kayak dipenjara. Lebih baik gue stay aja di Bandung." Kalya mendumel pelan agar tidak didengar oleh mereka.

"Yaudah besok kita ajak Kalya ke Jogja."

"Tapi Pa minggu depan Kalya UTS dan awal Desemeber sudah UAS. Jika Kalya ikut ke Jogja selama beberapa minggu dia akan ketinggalan banyak materi."

"Hehe kakak emang the best." Kalya nyengir.

"Sudah tidak apa Pa, kita tinggal Kalya di rumah sendiri saja. Dia sudah besar, sudah saatnya mandiri."

Irha menoleh dan menatap istrinya. "Ini bukan masalah mandiri atau tidaknya. Tapi nanti siapa yang akan mengawasi anak itu jika berbuat masalah di sekolahan atau di rumah." Irha menggeram. Dia jadi ingat perilaku Kalya saat kelas 10 yang suka membolos Pramuka sehingga orangtuanya dipanggil ke sekolah.

"Kita minta Muklis saja untuk mengawasi Kalya. Gadis itu sudah mulai dewasa Pa biarkan dia bebas."

"Iya Pa, lagipula Rika ke Jakarta cuman 10 hari." Sahut Rika.

Irha tampak berpikir, seperti menimbang antara risiko dan keuntungan meninggalkan Kalya sendirian di Bandung. "Ya sudah Kalya kita tinggal sendirian di Bandung, tapi kita tetap minta pengawasan dari Muklis dan Syifa untuk sesekali menjenguk Kalya."

Dina dan Rika tersenyum, sebenarnya mereka juga merasa kasihan dengan Kalya yang tidak diberi kebebasan. "Nanti malam Papa akan ngomong sama Kalya."

"Iyessss!!!" Kalya terlonjak. Jika ada matras mungkin dia sudah jungkir balik, jika ada trampolin dia akan melompat setinggi-tingginya. Sangking girangnya Kalya tidak sengaja menyenggol knop pintu dengan keras dan menimbulkan suara. Kalya menutup pintu lalu berlari menuju meja belajar.

Deportes✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang