Mirna Winarka menghampiri Irha Winarka yang sedang duduk di ruang keluarga sambil membaca hasil nilai UTS putra bungsunya itu. Wanita itu meletakkan secangkir teh di meja yang terbuat dari kayu itu. Melirik ke suami yang sibuk mengamati kertas malapetaka bagi anak sekolah yang malas belajar.
Karena Ilham sedang berada di rumah, jadi nilai Arendo yang mengambil dia. Bibir pria itu berbentuk sabit.
"Banyak yang A Ma, nilai Arendo."
Setelah meletakkan secangkir teh, wanita itu duduk di samping Sang suami. "Bagus dong Pa."
Ilham tersenyum kecut. "Kurang menantang yah."
"Maksud Papa apa?"
"Dulu nilai harian Rivaldi jelek banget. Papa sering marahin dia, bahkan Papa daftarin dia bimbel segala, sampe-sampe kalo Papa lagi di rumah, Papa yang memprivat dia terutama pelajaran saintek." Rivaldi adalah Kakak kedua Arendo yang sekarang tengah bekerja sambil melanjutkan S2 Teknik Geodesi. "Rivaldi benar-benar menyadari kesalahannya dalam belajar lalu ia bersungguh-sungguh untuk memperbaikinya, hingga pada akhirnya dia diterima di universitas ternama di Jogja."
"Terus apa hubungannya sama Arendo?"
"Kalo sama Arendo, belum Papa ajarin materinya dia udah bisa dulu. Apalagi sekarang Arendo udah jadi Anak Organisasi yang jarang menghabiskan waktunya di rumah."
Mirna menatap suaminya aneh. "Harusnya Papa seneng dong, punya anak pinter kayak Arendo. Banyak lo Pa di luar sana yang pengen punya anak seperti Arendo."
Ilham menghela napas, menatap intens Mirna. "Apa yang terjadi pada Rivaldi membuat Papa sadar. Pintar itu bukan hanya pelajaran, belajar itu bukan nilai yang dikejar. Nilai itu hanya bonus Ma, hasil yang perlu kita banggakan adalah proses belajarnya. Mama tau kan, setelah pengumuman sbmptn Rivaldi masih rajin belajar, padahal sebelumnya di malas belajar. Ituh Ma, hasil yang perlu kita banggakan."
"Tapi Pa, dimana-mana yang dicari itu nilainya."
"Kalau ujian yang dicari nilainya, gampang dong. Tinggal bawa hp ke ruang ujian buat nyari jawaban, atau si guru bisa manipulasi nilai biar para muridnya lolos snmptn." Ucapnya greget, pria itu merasa heran dengan pendidikan di era sekarang yang selalu dipandang salah atau sebelah mata.
"Mama tau? Kalo di dunia industri itu yang dicari apa aja?" tanya Ilham pada istrinya.
Mirna berucap. "Kemampuan, kepinteran, dan nilai waktu masih sekolah."
Ilham menghela napas panjang. "Bukan itu saja, tetapi juga softskill—berani berbicara di depan umum untuk mengutarakan pendapat, mau berbaur, dan kejujuran. Misal ya Ma, ada orang yang pinter banget, tapi dia ngga berani ngutarain ide-nya? Ya udah ide itu terpendam di pikirannya dan ngga akan terealisasikan."
"Sekarang dunia telah dikuasai oleh teknologi, banyak pegawai yang di-PHK karena tenaga mereka digantikan oleh mesin dan robot. Jadi tenaga kerja bisa digantikan robot, softskill hanya bisa dilakukan manusia."
"Nilai memang perlu Ma, tapi jangan sampai karena nilai kita jadi terbutakan. Bahkan hingga melakukan hal yang menjerumus dosa. Nilai yang haram itu ngga berkah, bikin susah nyari kerjaan, universitas, dan jodoh."
Mirna menggigit bibir bawahnya. "Yah Pa. Dulu waktu Mama belum kenal sama Papa, Mama suka nyontek."
"Mama bangga ngga, pernah nyontek?" sambil melihat istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deportes✓
Teen FictionBersekolah di sekolahan bertaraf internasional, dengan disandingkan oleh siswa-siswi intelektual. Membuat Arendo semakin dewasa dan mengubah persepsinya. Arendo menyadari bakat para temannya dalam bidang olahraga. Berbagai kejuaran telah...