Part 15

1.7K 177 48
                                    

5 tahun lalu,

Mafu baru saja kembali dari acara pemakaman. Sangat terlihat dari setelan jas hitam dan matanya yang sembab. Sebenarnya ia lelah, untuk terus menangisi kepergian orang terkasih itu. Apalagi hari kematiannya bertepatan dengan selesainya masa residen Mafu. Dimana ia seharusnya merayakan keberhasilannya di malam tersebut--dengannya, sebuah kecelakaan malah terjadi. 

Neru --orang terkasih yang pergi meninggalkannya itu, adalah seorang dokter bedah umum di rumah sakit tempatnya menjalani masa praktik residennya. Mereka mulai menjalin hubungan setelah beberapa kali dilibatkan dalam operasi bersama. Neru yang berumur lebih tua dari Mafu sangat jelas akan membawanya ke hubungan yang lebih serius. Ya, pernikahan. Entahlah, saat itu Neru memang tergila-gila pada Mafu --tak bisa menahan diri untuk sekedar membiarkan Mafu mengenalnya lebih dalam. 

Dan malam itu, saat keduanya berjanji akan makan malam bersama, badai datang. Petir menggelegar di atas langit, memberi cahaya mengkilap yang membelah langit. Mafu yang memang masih di apartemennya memutuskan untuk meminta Neru menunggu badai reda. Dan pria itu setuju. 

Ya, jika saja Mafu tidak dikejutkan dengan listrik di apartemennya yang mendadak mati berkat besarnya petir --ia takkan meminta Neru segera datang ke apartemennya. Ia tidak akan menangis di telpon dengan nada ketakutan. Ia tidak akan membuat Neru menyetir mobilnya dengan kecepatan tinggi di tengah badai. Dan mimpi buruk itu takkan terjadi. 

Jalanan licin, tentu saja jika tidak berhati-hati roda kendaraan akan sulit dikendalikan. Dan malam itu nyatanya bukan hanya Neru yang membelah badai. Sebuah truk yang mengangkut pipa baja lebih dulu kehilangan kendalinya di jalan. Terguling, menumpahkan pipa baja berukuran besar itu ke jalan. Alhasil, Neru menjadi salah satu korban yang mendapat hujaman pipa itu. Tidak, Neru tidak bisa menghindarinya. Bahkan sekedar memutar kendali mobilnya agar berbelok, ia tidak mampu. Kejadiannya terlalu cepat. 

Malam badai itu menjadi malam terkahir dimana Neru menghembuskan napas di dunianya, menyisakan cincin perak yang tadinya akan ia berikan pada Mafu malam ini. 

Mafu hanya bisa mematung di tempat saat mendapat kabar dari rumah sakit yang membawa jasad Neru. Seakan ada yang menghilang dalam dirinya, hampa yang ia rasakan. Saat baru saja ia belajar untuk mencintai seseorang dengan tulus, saat akhirnya ia mengerti bagaimana rasanya dicintai sepenuh hati oleh seseorang, saat ia akhirnya berkeinginan untuk merangkak dari kesendiriannya, ia ditinggalkan. Sendiri. Begitu saja. Terlalu mendadak. 

Dan mata sembab yang menghiasi wajahnya saat ini seakan tak cukup untuk menggambarkan luka hatinya. Ia tambah lagi luka, beberapa sayatan sengaja di pergelangan tangannya. Lagi dan lagi, tanpa meringis sama sekali. Tanpa peduli sayatan itu akan benar-benar mengenai pembuluh darahnya atau tidak. Ia hanya lelah, dan tak tahu harus melakukan apa disaat kesedihannya lebih besar dari keinginannya untuk menggapai mimpi. Ia bahkan lupa, bagaimana cara untuk tetap berpikir semuanya akan baik-baik saja setelah ini. 

Pemakaman. Bunga kematian. Raut sendu. Sepanjang mata memandang yang Mafu lihat hanyalah itu. Begitu menyedihkannya apa yang lihat, juga dari tangannya yang berlumuran darah.

"M-Mafu-kun.." 

Mafu tak menengok. Padahal dengan sadar ia bisa mendengar suara Amatsuki --dokter bedah residen yang seangkatan dengannya. Ia juga yakin Amatsuki bisa melihat dengan jelas apa dilakukan Mafu dengan benda tajam di tangannya. 

"Aku tahu kau pasti sangat sedih, tapi--"

"Hanya kehampaan yang aku rasakan.."

Love ScalpelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang