Mafu menekan bel rumah Soraru. Iya, setelah memberanikan diri menanyakan alamatnya pada staf aset akhirnya Mafu memutuskan untuk menginjakkan kaki di rumah yang cukup besar itu.
Tak perlu ditanya seberapa khawatir dirinya terhadap pria kelam tersebut sekarang, ditambah semua pesan dan panggilan yang ia lakukan tak membuahkan hasil apapun. Maka inilah pilihan terakhir yang bisa ia lakukan.
Tiga kali dentingan bel tak menunjukkan respon apapun. Jika seharusnya Mafu sudah menyerah dan memilih pulang, ia ternyata mulai melakukan pengecekan lain dengan mendorong gagang pintu di hadapannya. Sebuah kenaifan jika mengharapkan pintu itu terbuka dengan mudah. Namun -
"Terbuka?"
Pintu itu terbuka.
Sebuah firasat mulai memenuhi benaknya. Hipotesa terburuk pun ia gambarkan di kepalanya yang mulai terasa pening berkat dipaksa berpikir. Dirinya masuk, dengan rasa penasaran yang terburu-buru -mendapati sepasang sepatu yang tergeletak sembarangan di foyer rumah itu.
Gelap, namun dirinya bisa merasakan sebuah hawa kehidupan tak jauh dari sana. Dengan langkah yang hati-hati pun Mafu menyusuri foyer menuju ruangan paling dekat. Lancang memang, namun ia tak ingin membuat hipotesa buruknya benar-benar terjadi.
"Soraru-san?" ia memanggil, berharap ada yang menyahutnya.
Dan saat kakinya membawa Mafu ke sebuah ruangan besar dengan rak buku yang menempel di dinding, tenggorokannya terasa tercekat. Apa yang ia cari berhasil ditemukan. Duduk termangu sambil memijit keningnya, beberapa kaleng bir berserakan di atas meja. Kemudian obat? Hey, obat apa yang ada disana?
"Soraru-san,"
Soraru menoleh sebentar sebelum kembali dalam posisinya. Wajahnya kusut bukan main. Mafu perlahan menghampirinya, namun langkahnya langsung terhenti saat suara serak Soraru memberinya interupsi.
"Berhenti di sana,"
Sontak Mafu benar-benar berhenti melangkah, untungnya dalam posisi ini Mafu sudah bisa menyadari obat apa yang berserakan disana. Itu.. obat penenang?
"Jangan dekati aku atau kau akan menyesal." Ucapnya lagi.
"Kau.. minum obat penenang?"
Soraru mengubah posisinya, ia bersandar pada punggung sofa yang ia duduki. Tatapannya yang sayu tertuju pada Mafu. Sungguh, ia sangat tidak ingin menunjukkan sisinya ini pada pemuda itu.
"Bir saja tidak membuatku lebih baik."
Mafu menyusuri sekitar, mencari hal lain yang bisa menambah diagnosanya pada tingkat stres yang dialami Soraru.
"Kau juga minum anggur?"
Bingo.
Sudah ia duga, kelas Soraru memang bisa sampai membeli berbotol-botol anggur untuk disimpan di rumah. Dan pria itu masih merasa belum cukup dengan semua alkohol yang ia minum itu?
"Apa aku menyedihkan di matamu sekarang?"
Mafu menggeleng. Meskipun apa yang ia lihat memang terasa menyedihkan, namun dirinya tetap menguatkan diri pada sugesti baik bahwa keadaan Soraru tak seburuk yang terlihat. Langkahnya kembali mendekat, atmosfer di sekitarnya mulai terasa berat saat Soraru melemparkan senyuman miris padanya.
"Kenapa kau datang padaku,"
"Aku khawatir."
"Hm.. sebuah kehormatan bagiku bisa dikhawatirkan olehmu."
Kini Mafu tepat berada di hadapan Soraru. Sudah ia pastikan dengan sudut matanya barusan bahwa obat penenang yang Soraru pakai berdosis tinggi. Apa itu yang menyebabkan lingkaran hitam di bawah mata Soraru semakin jelas terlihat? Penuh dengan tekanan. Dengan sengaja Mafu meraih pipi pucat di hadapannya, dingin yang ia rasa. Manik mereka bertemu, seakan dengan hal sederhana itu mereka bisa berbagi cerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Scalpel
Fanfiction[ UTAITE FANFICTION COMPELETED ] Dokter bedah arogan yang jenius itu, Soraru. Dan dokter anestesi andalan rumah sakit tersebut, Aikawa Mafuyu. Sayangnya mereka berdua berada di tim yang berlawanan, untuk mempertahankan reputasi dan eksistensinya di...