Part 21

1.2K 158 7
                                    

Pernah mendengar tentang dongeng putri duyung yang mengorbankan suaranya untuk bisa mendapatkan kaki? Agar ia bisa berada di samping pangeran yang telah membuatnya jatuh cintaー Lalu bagaimana jika situasinya dibalik? Dimana apa yang harus dikorbankannya adalah kaki untuk mendapatkan suara?
Apa hukum pertukaran setara selalu sekejam itu?


Naruse mematikan layar ponselnya, dengan kepala pening mencoba memijit perlahan kening yang tertutupi poni itu. Baru saja dirinya membaca ulang dongeng masa kecil yang selalu ia dengar dari sang ibu, seakan nostalgia. Sekaligus meratapi sebuah takdir yang hampir menyerupai dongeng itu. Ujiannya lagi di dunia.

Sejenak ia sandarkan punggungnya yang lelah, semalam ia sama sekali tak bisa tidur ーmemikirkan banyak hal. Pekerjaannya, kehidupannya, Araki. Sebuah jalinan kompleks yang menggerogoti akal sehatnya. Untung saja dirinya masih waras untuk tidak berkhayal menemui penyihir dan memelas untuk kesembuhan kaki Araki. Terus saja seperti itu dalam doanya di depan altar setiap minggu. 

Jabatannya sebagai kepala perawat saat ini benar-benar membuatnya harus membagi pikiran dengan apik ーmeski jelas dirinya belum pandai dalam hal itu. Layaknya kembali menjadi anak muda yang tak pandai membagi waktu.

Diliriknya gelas kertas bekas kopi yang ia minum, sedikit menyesal dalam hati karena langsung menghabiskan cairan berkafein itu sekali teguk sebelum dirinya membaca dongeng tadi. Kali ini ia membutuhkannya lagi, agar tetap terjaga dalam tugasnya.

Sampai seseorang tiba-tiba duduk di sampingnya sembari menyodorkan apa yang dibutuhkan Naruse. Manik mereka bertemu. Iris merah muda dengan coklat. 

"Jam 2 nanti ada operasi kecelakaan, kau bisa ikut kan?"

"Aa kurasa bisa, Ama-chan."

Tak ada cakap lain detelahnya. Keduanya hanyut sambil sama-sama meneguk kopi di tangan mereka. Katakanlah mereka candu, sebab dengan cairan itulah mereka bisa tetap sadar meski mata mereka berubah merah berkat kurang tidur. 

Seseorang mengatakan bahwa setiap manusia memiliki bobot masalah yang sama, hanya saja bentuk masalah itu yang berbeda di setiap kepala. Seakan bermain peran dengan diri mereka sebagai peran utama; dengan sadarnya mencari suatu hal yang kian rumit. 

"Ah, sebenarnya aku ingin memberitahumu jugaー" Amatsuki kembali bersuara.

"Apa?"

"Pasien kita kali ini adalah mafia. Jadi jika salah tindak, kita yang kena getahnya."

Tak lepas lagi dari masalah. Malah bertambah.

"Pasien kita selalu penuh kejutan ya.." entahlah ungkapan itu adalah sebuah ekspresi harap atau putus asa.

"Karena rumah sakit lain pasti akan menolak pasien itu," sanggah si pemilik manik coklat.

Naruse tersenyum getir menanggapi satu fakta tersebut, tak ada pilihan lain. Lagipula saat ini dokter bedah di rumah sakit hanya tinggal 2 tim. Memang tidak masuk akal, di rumah sakit sebesar ini hanya memiliki 2 tim bedah. Tim Amatsuki dan tim profesor Eve. Ya meski sebenarnya tim profesor tersebut tidak akan turun ke meja operasi kecuali untuk para pejabat negara ーLagipula Eve sedang dalam penelitian jurnal juga jadi dirinya tak sering berada di rumah sakit.

Apa ini waktunya menyayangkan pemecatan Soraru? Mereka kewalahan karenanya.

"Semoga tidak ada masalah dalam operasi nanti."

oOo


Soraru melirik jam tangan yang ia kenakan di tangan kiri. Sebentar lagi jam 3, dan ia benar-benar harus menemui Luz sore ini. Maka dari itu kini dirinya menunggu di dalam mobil ーdi parkiran rumah sakit tepat dengan pintu masuk utama. Sesekali ia lihat pria-pria berjas hitam datang dengan tergesa-gesa ke dalam lobi rumah sakit. Boleh dirinya berasumsi? 

Love ScalpelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang