Soraru masih tampak melamun di dalam mobilnya. Baru saja ia mendapat surat pemecatan dari Itou –pemecatan sepihak yang turun langsung dari sang presiden untuknya. Padahal baru saja ia menghadiri upacara pemakaman Sou beberapa jam lalu, dan ternyata surat keputusan final atas bukti pertanggungjawabannya adalah dengan dipecat seperti ini.
Dipecat. Dan surat ijin praktiknya pun dibekukan untuk sementara. Sebuah hukuman yang cukup membuat Soraru terpukul karenanya. Karena profesi ini, tak lain hanya satu-satunya pegangan dalam hidupnya –untuk mencapai semua tujuan.
Sore ini hujan lagi. Sebagai bukti bahwa sang penguasa negara benar-benar sedang berkabung. Dengan menghitung mundur, tak ada yang akan berubah. Yang pergi pada-Nya takkan kembali. Sekencang apapun ia memanggil, sesering apapun ia berdoa, yang pergi takkan kembali menoleh ke belakang.
Soraru sudah tahu, bagaimana rasanya kehilangan seseorang. Ia sudah hatam merasakan bagaimana mengecap sebuah rasa kehilangan yang dalam. Dulu, orang tuanya yang lebih dulu pergi meninggalkannya di dunia yang kejam ini. Sampai dirinya terpuruk tak berdaya untuk sekadar menuntut pembelaan pada supir bus yang telah menabrak mobil orang tuanya malam itu.
Lalu, setelah Soraru dibangkitkan kembali oleh kedua sahabatnya –Senra dan Shima, ia kembali merasa kehilangan. Kedua orang berharganya itu kembali direbut dari sisinya, lebih cepat. Dan kali ini, harus ia akui. Bahwa dengan sadar ia telah melanggar prinsipnya sendiri –telah gagal sebagai dokter bedah untuk menyelamatkan 1 nyawa. 1 nyawa yang sudah dipercayakan padanya.
Jika saja dirinya tak memaksakan diri melakukan operasi besar itu, jika saja dirinya tidak memanfaatkan situasi untuk menjadi tim bedahnya, jika saja dirinya tak pernah datang ke rumah sakit ini untuk melancarkan balas dendam, jika saja dirinya –tak pernah terpikir untuk menjadi dokter dan berpikir naif untuk bisa menyelamatkan semua orang dari kematian.
Seketika Soraru tersenyum miris untuk dirinya sendiri. Mengejek dirinya yang telah dibutakan oleh balas dendam pada Rumah Sakit yang baru saja memecatnya.
"Aku terlalu naif ya.." gumannya seorang diri, sedikit menghibur diri dengan bermonolog tentang seberapa menyedihkannya ia.
Ditatapnya lagi surat pemecatan yang ia taruh di kursi samping kemudi. Miris, gara-gara kesalahan besarnya ini, ia otomatis tidak bisa lagi melangkah kemana pun. Entah itu mimpinya maupun ambisinya membalas dendam.
"Owari da."
Dan Soraru langsung memutar kemudinya untuk segera meninggalkan tempat parkir Rumah Sakit. Tidak mau meninggalkan kenangan lebih menyakitkan lagi dari ini. Karena sejak awal, dirinya lah yang harus berhenti melangkah. Dirinya si pendatang baru yang menghancurkan segalanya. Sang pecundang yang memakai kedok dokter bedah terbaik.
oOo
"Mafu."
"Eh? Mm? Apa?"
Seketika Amatsuki memutuskan untuk duduk di samping Mafu saat ini, di ruang kerja. Karena dengan yakin ia merasakan bahwa Mafu kehilangan sesuatu dalam dirinya. Dengan pakaian berkabung yang masih dikenakan keduanya, Amatsuki tahu jelas tentang kenyataan Mafu bukan saja kehilangan Sou –pasiennya. Namun juga kehilangan pria itu –Soraru.
Amatsuki sudah diberi tahu oleh rekan-rekannya yang lain, ditambah desas-desus tentang pemecatan Soraru dari Rumah Sakit. Dengan sangat disayangkan ia ingin menyalahkan Itou dalam masalah ini.
Bukan karena dendam, namun ia rasa pemecatan Soraru gara-gara masalah ini terbilang tidak masuk akal. Baiklah, hal ini memang turun langsung dari presiden –sebagai penguasa yang telah dikecewakan dengan janji kehidupan anaknya. Namun apakah Itou tega melepas Soraru begitu saja tanpa pembelaan sedikitpun? Setelah sebelumnya Soraru dijadikannya pion andalan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Scalpel
Fanfiction[ UTAITE FANFICTION COMPELETED ] Dokter bedah arogan yang jenius itu, Soraru. Dan dokter anestesi andalan rumah sakit tersebut, Aikawa Mafuyu. Sayangnya mereka berdua berada di tim yang berlawanan, untuk mempertahankan reputasi dan eksistensinya di...