Aku mau soda berry.

2K 239 85
                                    

Pemuda manis yang terbaring di tempat tidur mulai terusik gelisah, tangannya bergerak pelan. Perlahan kelopak matanya terbuka menampilkan bulan gelap yang berkilau cahaya. Ia mengerjap matanya, belum terbiasa dengan suasana remang di hadapannya.

Arthit menggerakkan tangannya ke atas kepala, pusing menyerang otaknya. Sesaat ia linglung. Remang di ruangan yang ia lihat, ada alat medis, tangannya juga tertusuk jarum.

Arthit berusaha bangun dari terbaringnya. "Kakak sudah sadar? Syukurlah..." sebuah suara yang tak asing membuatnya mengernyit heran. Arthit menoleh ke kirinya, ruangan itu remang namun masih dapat dengan jelas melihat sosok junior kampusnya yang sudah berdiri dan berjalan ke arahnya menjauh dari kursi yang ada di belakangnya sambil menenteng buku di tangan kanannya.

"0062?" ujar Arthit, dengan nada tanya. Suaranya serak, lebih mirip bisikan. "Ini di mana?" tanya pemuda yang berusaha duduk ditempat tidur tapi tidak berhasil karena badannya terasa sangat berat.

"Rumah sakit, kak... Saya panggil Beam dulu." setelah itu ia menekan tombol yang berada di tembok atas kepala Arthit. Pemuda yang berada di ranjang rumah sakit mengerutkan alis atas kalimat yang diucapkan juniornya. Bukan karena ia berada di rumah sakit tapi nama yang terucap.

Kenapa bukan memanggil dengan awalan dokter? Arthit tahu Beam, sepupunya. Kuliah di kedokteran, yang seharusnya sekarang sudah masuk masa percobaan kerja. Mungkin saja dia bekerja di sini, tapi menyebutnya hanya dengan nama saja terasa aneh, apalagi jelas Beam lebih tua.

Eh, tunggu. Kalau ia di rumah sakit dan di infus bukannya identitas gendernya sudah ketahuan? Bukannya itu gawat, tapi lebih gawat lagi kalau Beam tahu ia pingsan dan juga menyembunyikan gendernya. Bisa diomeli, sial. Kenapa ia tidak minum dua pil saja kalau begini.

"Kakak harus makan, saya akan beli bubur. Beam akan datang sebentar lagi." ujar si 0062 sambil menyalakan lampu ruangan, Arthit reflek menyipitkan matanya karena belum terbiasa. Kini ia bisa melihat tiga orang yang berserakan di ruangan rawatnya. Arthit melihat Knott tertidur di sofa tunggal, Noh di kasur lipat di sisi kanan Knott, Eijun di sofa besar yang sebelumnya diduduki juniornya tadi. Mereka tertidur dengan posisi tidak benar.

"Tidak, ini sudah malam, 'kan?" ujar pemuda berambut sebahu yang sekarang terurai berantakan. Sekarang sudah setengah dua belas, jika membeli bubur sekarang itu artinya harus pergi ke toko rumah sakit karena android sudah diistirahatkan. "Aku tidur lagi saja."

"Saya bilang harus makan, loh, Kak Arthit. Ini yang Beam katakan." Sahut Kongpope tegas. Ia berjalan ke arah pintu ruangan.

Arthit mengernyit tak suka. "Kau berani melawan senior? Aku tak mau makan sekarang." balasnya.

Kongpope memutar matanya. "Sekarang bukan waktunya ospek, kak. Posisimu sekarang pasien. Pasien tidak boleh membantah perintah dokter. Kakak harus makan sekarang."

"Kau!" Arthit ingin bicara namun Kongpope sudah membuka pintu. Bukan hanya itu., di luar ternyata ada seorang pria tinggi tampan dan berkulit seputih salju. Dia berjalan masuk melewati Kongpope yang menyapanya dengan lambaian tangan. Arthit melongo dengan seseorang yang ada di hadapannya sekarang, Beam. Sepupu bawelnya sekarang ada di depannya, berkacak pinggang, menatap tajam ke arah pemuda manis nan garang itu.

"Kenapa kau tak menolak hukuman seniormu?" sembur pria itu yang cukup bisa membangunkan ketiga orang yang tertidur di ruangan itu.

"Aku hanya menjalankan kewajiban sebagai ketua saja, dan kenapa kau disini? Bukankah ayahmu punya rumah sakit?" jawab dan tanya Arthit sekaligus.

"Dan kau pingsan? Kau tahu kau sedang haid, tambah kau tidak makan siang dan malam." Arthit mencibir omelan sepupunya. "Kau itu harus sadar punya kelemahan juga... itu untuk menjaga dirimu." Beam melanjutkan omelannya.

Weak FeminineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang