"Ayo, semangat! Dua putaran lagi, lo!"
Diaz menurunkan kecepatan larinya. Posisi cowok berkaus olahraga putih dan celana basket merah itu kini sejajar dengan seorang cewek yang terengah-engah menggerakkan kedua kakinya di atas jalur lari.
Di dalam hati, ia mengagumi sosok yang ada di hadapannya. Dengan kaus lengan panjang biru tua, celana olahraga selutut, rambut berkuncir kuda, dan wajah tanpa riasan, semburat merah yang mewarnai kulit pucat sudah lebih dari cukup menampilkan kecantikan alaminya.
Liam berusaha untuk tetap melihat lurus ke depan. Kerongkongannya kering. Biasanya, ia masih memilih bergelung di dalam selimut setiap Sabtu pagi. Tahu-tahu Diaz meneleponnya sebelum matahari terbit dan sudah ada di depan pagar kos. Ayo lari pagi demi menambah stamina siaran, begitu ajakannya.
Namun, siapa yang bisa menolak sebuah senyum yang begitu lebar dari wajah yang nyaris tak pernah absen mewarnai hari-harinya belakangan ini. Apalagi, ia datang dengan nasi goreng hangat plus telur dadar suwir. Hidangan yang diakui cowok itu sebagai masakannya sendiri.
"Iya, bawel! Kakiku kan enggak sekuat kamu, Hercules!" seru Liam asal.
Diaz terkekeh. Ia melipir ke pinggir lapangan. Seminggu terakhir, ia merasa makin banyak melihat sisi lain Liam. Gadis itu mulai bicara lebih panjang dalam setiap kalimat.
Di depan Diaz pun, ekspresinya bertambah, tak lagi selurus meteran tukang batu. Tawa lebar Liam semakin sering terlihat dengan dekik pipi yang membuat Diaz susah tidur.
Duduk bersila di pinggir jalur lari, dua orang dengan perawakan serupa dan memakai topi bisbol sedang asyik terbahak-bahak. Masing-masing memegang sebuah bungkusan berisi gorengan, dilahap dengan penuh sukacita.
"Ehm!" Diaz berdeham. Rupanya dua sejoli ini bisa langsung akrab, walaupun baru setengah jam lalu berkenalan. Niatnya, Diaz hanya ingin berolahraga di Saraga ini dengan Liam saja. Tahu-tahu teman sebelah kamar Liam mendadak ingin ikut. Terpaksa, Diaz menghubungi Kris sebagai ban serep, anggaplah ini double date.
"Tia, ada botol Liam di situ?" tanya Diaz kepada gadis gempal bersetelan olahraga serba merah muda.
"Nih, Kang, buat Tuan Putri Es tersayang," goda Tia. Sebuah botol minum berwarna hitam disodorkannya kepada Diaz. Sedari tadi Tia menahan geli, melihat sahabatnya yang mati-matian mempertahankan citra cewek dingin di depannya. Padahal, ada cowok super hottie yang jelas-jelas tak menyerah menghangatkan hatinya.
"Enggak lari? Apa udah saling lari-lari di pikiran?" balas cowok jangkung itu. Menyaksikan Kris dan Tia bersama, sungguh serasi seperti Papa dan Mama Teddy Bear yang sedang bulan madu.
"Rangga kesiangan, maneh mah! Buruan dikejar, Cinta udah dipepet sama Dilan, tuh!"
Sekejap Diaz berbalik badan. Matanya mengikuti arah telunjuk Kris yang teracung ke jalur lari. Benar saja, Liam tidak sendirian. Seorang cowok ramping berambut poni dengan sweat shirt biru elektrik tampak berlari di sampingnya sambil mengobrol.
"Krek krek krek. Kayanya ada hati yang patah, nih!" Sebuah celetukan disambut gelak yang panjang. Kris geregetan melihat cowok atletis teman siarannya di Radio Gara ini malah terpaku. Bukannya langsung menghadapi persaingan yang jelas terpampang di depannya.
"Permisi dulu, ya. James Bond mau tembak penjahat dulu." Dengan gaya bak menarik kokang pistol khayalan, Diaz memasang muka serius dan alis terangkat.
"Jangan dimatiin, Kang, Entar dikejar emaknya pakai ulekan, lo!" Tawa kembali terdengar dari pasangan somplak yang kemudian lanjut mengobrol sambil bertukar gorengan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love Rhapsody [COMPLETED]
RomanceApa jadinya kalau dua manusia takut komitmen tiba-tiba dipertemukan takdir dalam sebuah acara radio? Liam, si cewek gloomy yang enggan percaya akan ketulusan cinta. Telepon rutinnya setiap Minggu malam ke Radio Gara membuat sang penyiar terjerat si...