"Selamat, ya!"
Kuulurkan tangan, memasang senyum yang sudah lama tak kutampakkan. Sebuah seringai jahil, ekspresi andalanku untuk menggodanya.
Namun, sekarang, ia bukan lagi gadis yang membalasnya dengan dingin. Dinding es itu sudah luruh dari hatinya. Ia jadi jauh lebih lembut dan hangat. Ironis, bukan aku yang mengubahnya.
"Hei! Apa kabar, Yo?"
Manik hitam pekat itu berbinar. Kulihat ia tak memakai kacamata bingkai tebalnya hari ini. Mungkin lensa kontak sudah jadi kawan baiknya sekarang.
Lengan langsingnya menyambut jabat tanganku. Menggenggamnya mantap, menularkan kehangatan unik ke sekujur tubuhku. Getaran yang sama, seperti belasan purnama lalu. Cinta yang tak pernah hilang.
"Lulus, tunangan, habis ini apa? Keliling dunia?"
Aku duduk di hadapannya. Tanganku gesit mencomot kentang goreng yang tersaji di piring.
"Ada angin apa tahu-tahu kita bisa kebetulan ketemu di sini?" tanyanya, memicingkan mata kucing menggemaskan itu.
"Aku lagi liburan ke sini sama keluarga Mama. Mereka lagi belanja di Lavie situ. Aku males ikut, Niatnya mau duduk-duduk baca komik aja sambil nunggu," jawabku.
Separuh berbohong, sebenarnya. Aku tahu, kafe yang merangkap penyewaan buku di Jalan Pager Gunung ini adalah pelarian favoritnya. Mengetahui ia hanya sesekali datang ke kampus setelah lulus sidang minggu lalu, aku meminta salah satu temanku jadi stalker dadakan. Sengaja aku booking hotel di daerah Dago dan tak jauh dari kampusnya.
Benar saja, begitu kabar dari temanku tiba, aku langsung menyusulnya ke sini. Demi menciptakan "pertemuan tidak sengaja" yang telah kususun rapi.
Memang, aku sedang main ke Bandung bersama keluarga Mama. Setelah peristiwa menyakitkan dua tahun lalu, aku memutuskan untuk memindahkan raga dan jiwaku dari kota ini. Berkumpul kembali bersama keluarga yang kutinggalkan.
Kuakui, tak mudah untuk masuk lagi ke dalam kehidupan Papa dan Mama. Dengan keluarga baru mereka masing-masing, kedatangan satu kepingan masa lalu, tentu ada kecanggungan. Apalagi luka yang mereka torehkan sudah menganga terlalu lebar dan terlalu lama.
Namun, jika aku tak bisa memenangkan hatinya, paling tidak aku harus bisa menaklukkan hantu masa laluku sendiri. Seperti halnya dia, sosok yang bikin tidurku sampai sekarang tak nyenyak juga.
"Gimana kuliah di Jakarta? Kamu siaran juga di sana, ya?"
Kedua tangannya bertopang di dagunya. Membentuk wajah tirus berkulit putih susu seperti boneka porselen yang ingin selalu kupeluk erat.
Mataku menelusuri kedua jari manisnya.
"Cincin tunangan kamu enggak dipake?" Aku terbelalak. Seperti ada yang salah terjadi di sini. Tawanya kemudian berderai indah. Seperti rintik hujan yang mendadak turun dengan syahdu di luar.
"Aku titip aja sama Mamahnya Diaz. Takut ilang. Lagian, enggak perlu bikin jari berkilau kan buat ingetin kita selalu setia?"
Aku hanya mengangguk kecil. Ah, pikiran dewasa itu. Ingin rasanya kutumpahkan isi hati padanya. Hanya dirinya yang mampu membuatku merasa senyaman di awan.
"Kamu belum jawab pertanyaanku, Yo. Gimana Jakarta? Are you happy?"
Bibir mungil merah muda itu kembali terkatup. Menantiku bercerita, mengungkapkan apa saja yang sudah terjadi.
Apakah ia sadar? Bahwa kepergianku dari Bandung bukan hanya untuk menata hidup yang berantakan? Tetapi juga memunguti hatiku yang berserakan?
"Alhamdulillah, berkat doa kamu." Aku hanya bisa menjawab pendek. Setelah ribuan kata sesungguhnya berteriak dalam benak. Belum saatnya kalian keluar dari mulutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love Rhapsody [COMPLETED]
RomansaApa jadinya kalau dua manusia takut komitmen tiba-tiba dipertemukan takdir dalam sebuah acara radio? Liam, si cewek gloomy yang enggan percaya akan ketulusan cinta. Telepon rutinnya setiap Minggu malam ke Radio Gara membuat sang penyiar terjerat si...