"Aku Valia Mira, tapi panggil saja aku Liam."
Satu kalimat perkenalan sederhana sungguh menyiksa bagi Liam. Setengah mati ia berusaha bicara sambil menatap lurus ke dinding di depan. Sementara, di dalam dada seperti ada drummer band metal menggebuki jantungnya.
Ia tadi sengaja datang menjadi orang terakhir yang masuk ke kelas. Ajakan Diaz untuk masuk kelas bersama ditolaknya. Apa kata orang-orang di kelas melihat dirinya sok akrab dengan mentor mereka sendiri?
Tahu-tahu, Si Somplak Diaz menodong Liam untuk memperkenalkan diri. Liam baru tahu juga, ternyata ia masuk di kelas reguler yang sudah berjalan dua minggu lebih awal.
Nasib bener jadi orang asing yang tahu-tahu nyempil. Liam terus merutuk dan ingin menghentikan waktu barang sesaat.
"Wow! Jangan-jangan kakak elo namanya Noel?" Seorang cowok berkepala plontos dan bergigi kelinci melontarkan celetukan yang menimbulkan derai tawa sepuluh orang lainnya.
Liam menghela napas perlahan. Pertanyaan itu sudah ratusan, mungkin ribuan kali ia dengar.
Noel dan Liam Gallagher, pentolan band legendaris Oasis, mirip sepasang sepatu yang selalu bersanding bersama. Siapapun yang tahu dunia musik, apalagi ranah musik rock, langsung mengasosiasikan nama Liam seperti Si Baldy Bunny tadi.
Ah, Liam teringat tadi menggertak Diaz yang sudah ancang-ancang melontarkan pertanyaan serupa.
"Hei, sudah dong. Biar Liam selesaiin dulu perkenalannya."
Walaupun menengahi sebagai mentor, sebenarnya Diaz ikut nyengir kecil mendengar kelakar Gun. Cowok yang jumlah rambut di kepalanya berbanding terbalik dengan keberaniannya bicara itu memang layak jadi cowok tervokal di kelas saat ini. Tetapi, wajah Liam yang semakin lama lebih putih dari dinding ruangan, tak urung membuat Diaz jatuh iba.
"Oke, Liam. Ceritain lagi, kamu kuliah di mana, suka musik apa, terus kenapa mau belajar di SRS?" Diaz bicara ringan.
Gadis berkuncir kuda di samping kirinya itu sudah membetulkan letak kacamatanya sebanyak tiga kali dalam satu menit terakhir. Jelas sekali ia sedang berjuang mengatasi kegugupan.
"A-a-aku kuliah di FE Unpad, Manajemen, semester lima," lanjut Liam yang sempat tergagap.
Matanya mulai melirik ke arah dua orang gadis yang memandangnya sambil bertopang dagu. Keduanya berpenampilan nyaris serupa dengan rambut ikal melewati bahu dicat ombre.
Salah satu gadis, yang memakai kalung chocker berbandul bintang, berbisik kepada gadis di sebelah kirinya. Mata mereka tak lepas memandangi ruang di samping Liam.
Ah, lagi-lagi pesona Diaz lebih mencuri perhatian daripada suara tikus terjepitku. Liam menggerutu dalam hati.
"Elo fans Oasis juga?" Seorang cowok berkacamata tebal dan berkaus Weezer bertanya pada Liam. Sebuah senyum tergambar di wajah lonjongnya yang mulus tanpa jenggot atau kumis.
Liam mengangkat bahu dan tersenyum kikuk,"Ya, begitulah. Udah takdirnya begitu."
Tiba-tiba Si Baju Weezer terbahak-bahak tanpa komando. Liam melongo. Apa tadi aku salah bicara? Benak Liam mulai merunut kembali kata-kata yang meluncur dari mulutnya.
"Baru tahu gue, band idola sama kaya jodoh. Dipertemukan takdir," seloroh Si Baju Weezer.
"Yo, bentar lagi ngompol tuh dia di depan!" Gadis berambut ombre dengan kalung bintang angkat bicara. Sebuah senyum meremehkan terbit dari wajah bersinar ala bintang Korea itu.
"Ye, sirik aja elo, Jen!" tukas Gun. "Si Rio lagi usaha itu, bentar lagi palingan keluar gombalan kampretnya." Sambil mengelus kepalanya yang berkilat terkena lampu neon ruangan, Gun tergelak puas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love Rhapsody [COMPLETED]
RomansaApa jadinya kalau dua manusia takut komitmen tiba-tiba dipertemukan takdir dalam sebuah acara radio? Liam, si cewek gloomy yang enggan percaya akan ketulusan cinta. Telepon rutinnya setiap Minggu malam ke Radio Gara membuat sang penyiar terjerat si...