State of Love and Trust

3.7K 377 17
                                    

Matahari sudah tinggi di tengah angkasa ketika Rio menggeliat menuju kesadaran. Bisa tidur nyenyak setelah nurani tak lagi terusik rasanya luar biasa. Sebentar lagi ia bisa mengalahkan koala yang tidur nyaris sepanjang hari.

Beranjak ke kamar mandi, Rio menyalakan shower dan mulai membasahi tubuhnya dengan air dingin. Segar, rasa sakit yang semalam sempat sangat mengganggu kini berangsur menghilang. Di bawah siraman air, rekaman kejadian kemarin bergerak cepat memenuhi benak Rio.

Apa ini berarti ucapan selamat tinggal untuk Liam?

Batin Rio terus bertanya. Berat sekali mengakui bahwa kehilangan Liam sama saja dengan melepaskan sebagian besar kebahagiaannya. Apalagi menyadari kalau Liam kemungkinan besar akan setia pada Diaz setelah tahu semua kebusukan masa lalu Rio.

Tadi malam, Liam kembali hadir dalam mimpinya. Mimpi panjang yang membuat Rio tak ingin terjaga. Liam terus-menerus lari, namun Rio selalu berhasil menangkapnya. Sambil tertawa-tawa, berpelukan gembira, seolah dunia milik berdua.

Rio menangkupkan tangan, mencoba meraup air yang mengalir dari pancuran. Air yang selalu bisa keluar dari sela-sela tangannya. Begitu dekat dan mudah diraih, namun sulit dipertahankan keberadaannya.

Setelah cukup lama berdiam diri di bawah siraman air, Rio menuntaskan mandinya.

Lima menit kemudian ia telah selesai berpakaian, ketika pintu kamarnya diketuk. Diaz meminta izin untuk bicara di dalam kamar.

"Masih sakit, Yo?" tanyanya hati-hati.

"Enggak terlalu. Gue balik aja ke kos abis ini," jawab Rio, mengeringkan rambut dengan handuk.

"Makan dulu di sini, ya. Sekalian bawa buat makan malam. Liam yang nyuruh," ucap Diaz menggaruk-garuk kepalanya.

"Liam?" Mata Rio berbinar.

"Heh, simpen harapan elo. Dia emang terlalu baik jadi orang," tukas Diaz, menatap tajam ke arah cowok berkacamata itu.

"Enggak heran kan kita berdua sama-sama suka?" gumam Rio.

"Gue enggak bisa maksa elo buat berhenti suka sama Liam. Yang bisa gue lakuin cuma memastikan perasaan gue ke dia dan dia ke gue itu selalu sama, berbalas. Mau fans, groupies, secret admirer, stalker, semua itu bumbu doang, bukan hidangan utama."

Saling berpandangan, Diaz kemudian memilih duduk di sisi ranjang. Ia masih ingin membicarakan beberapa hal dengan Rio, sesuai pesan Liam.

"Liam udah cerita tentang elo. Bro, gue enggak tahu dan enggak mau tahu sih sebenernya soal petualangan elo sama cewek-cewek. Tapi, makasih untuk enggak nekat menyakiti Liam dan mundur dari deal gila itu."

Rio terperanjat. Wah, langka bener Diaz ngucapin terima kasih, apalagi menyangkut Liam begini, pikir Rio.

"Bener juga kata Liam. Kita masing-masing punya luka dan masa lalu. Yang penting gimana elo enggak nyerah sama lubang hitam itu. Apalagi sampai ngelakuin hal-hal bodoh yang ngerugiin orang lain."

Satu lagi alasan Rio untuk jatuh hati pada cewek itu. Kepahitan hidup membuat Liam lebih dewasa daripada dirinya, yang malah mencari pelampiasan kesepian.

"Gue mundur aja. Lebih bagus kalau Liam enggak deket-deket gue lagi."

Diaz mengembuskan napas. Seperti ada beban terhimpit di dadanya.

"Sayangnya, elo belum bisa pergi, Yo. Liam minta elo bantuin dia beresin sisa masalah dengan Nia dan gengnya."

"Apaan lagi? Gue udah putus hubungan dengan mereka!"

Bittersweet Love Rhapsody [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang