"Aduh! Pelan-pelan, Om!"
Rio meringis. Nyeri di wajahnya terasa menyengat ketika cairan antiseptik tertotol pada lukanya. Padahal ia baru saja menenggak satu butir painkiller. Tetap saja, obat itu tak langsung bereaksi, sehingga ia harus menanggung rasa sakit menjalari wajah dan perutnya.
"Kenapa enggak Teteh cantik tadi atau Si Liam aja sih yang ngobatin?" yang sekarang di mata Diaz terlihat seperti balita manja menyebalkan.
Ia kini telah berganti pakaian dengan kaus dan celana training yang dipinjamkan Diaz. Celana lama tepatnya, karena ukuran Diaz sekarang tentu lebih besar dari tubuh Rio yang lebih ramping. Sementara di atas nakas, dua mug, berisi kopi hitam dan teh manis panas masih mengepul, belum tersentuh.
"Ini pelan, Yo. Belum pernah berantem apa seumur idup? Segini mah belum ada apa-apanya kali," seloroh Kang Prast. Papa Liam itu cuek saja mengoleskan salep anti lebam ke luka-luka Rio dengan gerakan cukup bertenaga.
"Ouch! Ampun, Om!"
Diaz yang duduk di kursi, memerhatikan sepasang pria di atas ranjang kamar tamu, tak melepaskan pandangannya dari Rio. Trik apa lagi yang elo sembunyiin, Kampret!
Masih diliputi rasa curiga, Diaz punya firasat bahwa Rio memutuskan untuk lari dari "pekerjaannya" demi agenda lain. Sesuatu yang bisa merusak hubungan Diaz dan Liam yang baru naik pangkat.
"Udah pas lah kamu jadi jones abadi. Kalo pacar kamu digangguin preman, badan letoy begini bisa apa?" sindir Kang Prast.
Membandingkan dengan pengalaman dirinya yang tak pernah gentar meladeni cowok-cowok pesaing para pacarnya, generasi milenial seperti Rio mirip gorengan masuk angin yang suram harapannya.
"Liam enggak balik lagi?" Rio celingukan, menatap penuh harap ke pintu kamar.
Diaz mulai gemas. Namun, wajah cool berusaha tak dilepaskan dari rautnya. Padahal, rasanya ingin menimpuk Rio dengan setumpuk bantal. Tentu saja lebih bagus kalau ada batu bata di dalamnya sekalian.
"Yo, gue mau ngomong sekarang boleh?" Diaz duduk di sisi ranjang. Rio ganti menatapnya. Dari balik kacamata, tak ada sorot takut. Hati kecil Diaz sempat berdesir. Saingannya ini antara pedenya luar biasa atau tololnya enggak ketulungan.
"Kenapa elo mau nerima kerjaan jahat itu? Selain karena bayarannya?"
Rio menjilat bibirnya yang kering. Diaz mengulurkan mug teh manis, membiarkan Rio meneguk isinya. Ia tahu, cowok di hadapannya ini pasti sedang mengatur jawaban. Pembicaraan ini sebenarnya seperti strategi menyerang halus antara satu sama lain. Satu tetap mencari celah untuk merebut, sementara satu lagi bertahan dengan teguh.
"Karena gue suka Liam? Cukup kan alasan itu?" jawab Rio.
Diaz berjengit. Positif, cowok ini otaknya lebih rusak dari yang ia duga. Terang-terangan menyatakan perang di area yang jelas ia tak punya keuntungan.
"Suka yang seperti apa? Pakai hati atau selangkangan?" Nada suara Diaz mulai meninggi.
"Kalau pun nanti kita khilaf, gue mau kok tanggung jawab. Level bajingan gue masih bisa dikondisikan."
Buru-buru Diaz berdiri kemudian menjauh dari Rio. Baru saja ada keinginan untuk kembali meninju wajah cowok yang lebih muda beberapa tahun darinya itu. Diaz melirik ke arah Kang Prast. Pria itu hanya diam, tak mengeluarkan reaksi apa pun. Hening, menjadi seorang pendengar.
Meletakkan telapak tangannya di dahi, Diaz merasa ia lebih butuh obat sakit kepala ketimbang Rio. Perlahan mengatur napas, Diaz memutuskan untuk duduk dengan jarak lebih jauh, kembali ke kursi di seberang ranjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love Rhapsody [COMPLETED]
RomanceApa jadinya kalau dua manusia takut komitmen tiba-tiba dipertemukan takdir dalam sebuah acara radio? Liam, si cewek gloomy yang enggan percaya akan ketulusan cinta. Telepon rutinnya setiap Minggu malam ke Radio Gara membuat sang penyiar terjerat si...