Derap kaki ramai berdentam, memperdengarkan langkah-langkah tergesa yang tengah melaju menuju lantai dua sebuah rumah kos di kawasan Taman Sari. Seorang gadis seolah tak peduli dengan suasana sunyi di Minggu malam. Hela napas terengah-engah sang gadis yang bernama Liam itu kini tertutup oleh bantingan pintu kamar tidurnya.
BRAK!
Untung saja, kamar Liam terletak di ujung lorong. Tia, teman sebelah kamarnya, juga takkan terganggu karena sedang pulang ke Cirebon. Sementara itu jam dinding bergambar bendera Inggris di sudut kanan kamar terus berdetak, menunjukkan pukul sepuluh lebih lima belas menit.
Liam menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Dadanya terasa berat. Mungkin karena baru saja berlari tiga kilometer secepat yang ia bisa. Padahal, terakhir kali Liam berlari sejauh itu adalah ketika ospek jurusan kampusnya tiga tahun lalu.
Bisa jadi, rasa menusuk yang mendera di dadanya adalah efek menahan sekuat tenaga air mata untuk tak bergulir liar di wajah berkulit pucatnya.
Liam benci menangis. Menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Itulah prinsip hidupnya selama ini.
Bungkus semua duka dalam kantung kenangan. Lalu tenggelamkan dalam lautan tak bertepi.
Liam mengulang kalimat-kalimat itu dalam hati. Kalimat yang terketik rapi dalam font Times New Roman pada segulung kertas putih. Entah siapa yang menaruh kertas sakti itu di dalam tasnya satu tahun lalu. Sekarang, gulungan itu tersimpan rapi dalam dompet Liam dan dibukanya kala sedang down.
Liam tak ambil pusing mencari siapa pelakunya. Mungkin surat ini hanya lelucon dari salah satu cowok-cowok berisik di kelasnya? Atau kertas puisi itu menemui nasib sial dengan nyasar ke dalam tas ransel kanvas butut Liam, si Gadis Kutub jurusan Manajemen.
Pipi kiri Liam kembali berdenyut nyeri. Tamparan dari pria yang berat badannya dua kali lipat darinya membuatnya limbung. Meskipun demikian, Liam tidak berteriak. Bibirnya ikut berdarah karena tadi ia gigit menahan sakit.
Liam bangkit dan beranjak menuju meja rias. Dari dalam lemari plastik susun tiga di atas meja, ia mengambil sebuah tube merah dari laci tengah. Seoles pasta kuning dicolek dan diratakannya pada pipi yang kian memanas.
"Duh, semoga bekasnya hilang besok," gumam Liam mematut diri di depan cermin.
Sebungkus es batu dalam plastik keluar dari dalam kulkas kecil di pojok kamar bernuansa hitam putih itu. Rasa dingin ternyata cukup meredakan sakit yang ia rasakan. Hari yang berat, batin Liam sembari terpaku sejenak di tengah ruangan.
Kepala Liam sibuk mengarang segudang alasan jika Bu Euis, pemilik kosnya bertanya mengapa pipinya bengkak esok pagi. Atau lebih kacau lagi, jika besok pertanyaan itu datang dari Pak Aditya, dosen Manajemen Pemasaran Lanjutan, di depan kelas ketika Liam akan mempresentasikan tugasnya.
Sekarang pandangan Liam ikut berkunang-kunang. Kejadian gila malam ini terlalu tega menyedot seluruh energi kehidupannya.
Gadis berambut lurus itu melepas jaket bertudung hitam dan menggantungnya di balik pintu. Tubuh kurusnya beringsut kembali ke ranjang ukuran queen berseprai biru tua. Kacamata bingkai kotak yang bertengger di hidung mancungnya berpindah ke atas nakas di samping ranjang. Sebuah headphone hitam dengan logo bintang yang tergeletak di kasur berganti menghiasi telinganya.
Sejurus kemudian, sebuah lagu terdengar dari aplikasi musik di tablet Liam. Bibir tipisnya ikut bersenandung. Inilah lagu dari band favoritnya, Oasis, yang seharusnya ia request di radio jam setengah sepuluh tadi.
So what's the matter with you?
Sing me something new...don't you know
The cold and wind and rain don't know
They only seem to come and go away
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love Rhapsody [COMPLETED]
RomanceApa jadinya kalau dua manusia takut komitmen tiba-tiba dipertemukan takdir dalam sebuah acara radio? Liam, si cewek gloomy yang enggan percaya akan ketulusan cinta. Telepon rutinnya setiap Minggu malam ke Radio Gara membuat sang penyiar terjerat si...